Gerakan
Buruh Menyikapi BBM
Muhammad
Iqbal,
Pengurus Federasi Asosiasi Serikat
Pekerja (Aspek) Indonesia
SUMBER : REPUBLIKA, 24
Maret 2012
Pemerintah
tidak lama lagi akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan berbagai
alasan pertimbangan ekonomi. Pemerintah berencana untuk memberikan kompensasi
dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), mirip Bantuan
Langsung Tunai (BLT) seperti yang sudah dilakukan pemerintah sebelumnya ketika
menaikkan harga BBM.
Salah
satu komponen masyarakat yang merasakan langsung kenaikan BBM adalah buruh yang
jumlahnya diperkirakan mencapai 30 juta orang. Padahal, beberapa bulan lalu
baru saja mereka memperjuangan kenaikan upah dengan metode penghitungan
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) melalui penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Dengan
adanya kenaikan BBM, tentu saja kebutuhan hidup layak yang dihitung sebelum
kenaikan BBM berbeda dengan KHL setelah kenaikan BBM.
Bahkan, ketika isu BBM naik saja biaya hidup yang dirasakan buruh sudah tidak
terjangkau. Buruh pun menjerit akibat tingginya biaya hidup yang tidak sesuai
dengan upah yang mereka terima.
Komponen
penghitungan KHL dilakukan pemerintah melalui survei yang melibatkan unsur
tripartit dalam dewan pengupahan, yakni pemerintah, Apindo, serta perwakilan
serikat buruh melalui dewan pengupahan. Sering sekali hasilnya tidak sesuai
dengan kebutuhan hidup layak karena KHL yang ditetapkan adalah standar minimal
kebutuhan hidup pekerja lajang. Padahal, sebagian besar buruh juga memiliki
keluarga yang memerlukan kualitas hidup yang lebih baik.
Menurut
Kemenakertrans No 17 Tahun 2005, ada 45 komponen dalam perhitungan Kebutuhan
Hidup Layak bagi pekerja lajang dalam sebulan. Tak hanya persoalan pangan dan
kebutuhan rumah tangga, komponen itu juga mengakomodasi kebutuhan rekresai,
tabungan, dan sebagainya. Komponen-komponen itu diperhitungkan kualitas, jumlah
kebutuhan, serta harga satuannya, kemudian diperhitungkan nilainya dalam sebulan.
Dari
45 komponen kebutuhan hidup layak yang dipakai untuk menghitung upah minimum,
hampir 70 persennya sangat potensial berdampak langsung kenaikan harga BBM.
Cuma, buruh tidak bisa berbuat banyak karena mereka tidak mungkin mengubah lagi
penghitungan KHL dan penetapan UMP yang hanya dilakukan sekali dalam setahun.
Seandainya
rencana kenaikan BBM terjadi sebelum penghitungan KHL dan penetapan UMP tentu
saja buruh juga akan memintah upah yang layak dan sesuai dengan KHL saat ini.
Tentunya, kebijakan untuk menaikkan BBM menjadi tidak adil bagi buruh. Untuk
itu, pemerintah perlu memberikan program yang mampu meningkatkan kesejahteraan
buruh.
Soliditas Buruh
Melihat
fenomena ini, wajar akhirnya aksi-aksi yang dilakukan oleh buruh menjadi
semakin gencar. Buruh adalah elemen masyarakat yang paling merasakan langsung
kesulitan ekonomi dari rencana kenaikan harga BBM. Apabila pemerintah
menganggap remeh gerakan buruh, dikhawatirkan gerakan buruh semakin solid.
Kasus penutupan Tol Cikampek dan rencana penutupan Tol Bandara Soekarno Hatta
merupakan murni gerakan soliditas buruh dalam memperjuangkan harkat dan
martabatnya.
Apabila
aspirasi kaum buruh diabaikan dan dengan isu ini gerakan buruh menjadi bersatu
maka bukan tidak mungkin pemerintah menjadi sasaran amarah rakyat yang diwakili
kaum buruh dalam memperjuangan hidup layak yang didambakan setiap manusia.
Pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan, slogan
sekolah gratis hanyalah iklan pencitraan dan sangat sulit ditemui dalam kenyataan
hidup.
Untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, rakyat harus berjuang melawan sulitnya
menembus birokrasi dan berbagai persyaratannya. Saat ini, rakyat seperti hidup
tanpa pemerintah, padahal rakyat juga termasuk buruh membayar pajak. Pelayanan
yang diberikan pemerintah sangat jauh dari hidup layak. Kasus-kasus korupsi
menjadi tontonan sehari-hari rakyat miskin. Sementara, mereka masih berjuang
untuk bertahan hidup. Program-program prorakyat pemerintah terhambat oleh
perilaku korupsi para pemangku kekuasaan dan birokrasi.
Kepedulian
pemerintah terhadap buruh saat ini sangat jauh dari harapan.
Bahkan, Menteri Tenaga Kerja yang seharusnya mampu mengendalikan gerakan buruh menjadi bulan-bulanan dalam berbagai kasus demonstrasi buruh.
Secara tidak langsung, beberapa kali buruh menginginkan menteri lain karena yang bersangkutan tidak memahami permasalahan perburuhan dan tidak mampu meredam gerakan buruh yang semakin hari semakin solid.
Bahkan, Menteri Tenaga Kerja yang seharusnya mampu mengendalikan gerakan buruh menjadi bulan-bulanan dalam berbagai kasus demonstrasi buruh.
Secara tidak langsung, beberapa kali buruh menginginkan menteri lain karena yang bersangkutan tidak memahami permasalahan perburuhan dan tidak mampu meredam gerakan buruh yang semakin hari semakin solid.
Disahkannya
Undang-Undang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) beberapa bulan lalu
merupakan sebuah prestasi gerakan buruh dalam memperjuangkan hak rakyat yang
sudah lama terabaikan. Sangat disayangkan pemerintah SBY-Budiono tidak bisa
mengambil momentum disahkannya BPJS sebagai bagian dari kepedulian pemerintah.
Selama
pembahasan undang-undang tersebut, justru terkesan pemerintah enggan
membahasnya. Akibatnya, harus dengan gerakan massa untuk menekan pemerintah dan
DPR meloloskan Undang-Undang BPJS. Pemerintah sudah seharusnya mendengar suara
rakyat. Saat ini yang terjadi bukan mengurangi beban rakyat, tetapi menambah
beban ekonomi yang bisa mengarah kepada kemarahan yang tak terkendali. Tidak
menaikkan harga BBM dan mencari alternatif kebijakan selain itu adalah
keputusan bijaksana. Wallahua'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar