Jumat, 23 Maret 2012

Jalan Sunyi Prof Sajogyo


Jalan Sunyi Prof Sajogyo
Eko Cahyono, Pengurus Badan Eksekutif Sajogyo Institute (SAINS),
Lulusan Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB,
Asisten Staf Pengajar di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) IPB
SUMBER : SINDO, 23 Maret 2012



Tepat saat azan subuh berkumandang, Sabtu, 17 Maret 2012, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB Prof Dr Ir Sajogyo berpulang ke rahmatullah. Dalam rasa kehilangan, beragam ulasan dan pandangan dari kolega, sahabat, murid, dan pengagum beliau dituliskan.

Tentu saja beragam pandangan itu sangat bergantung pada bentuk dan hubungan masing-masing dengan almarhum. Dalam kesempatan dan ruang terbatas ini, saya pribadi ingin ikut bersuara sebagai bagian dari generasi “cicit” yang bukan saja jauh secara usia, melainkan juga tidak pernah mendapat “didikan akademik” secara langsung di perguruan tinggi.

Namun, kami kebetulan mendapat kemewahan untuk bisa “nyantri” dengan Eyang Sajogyo (panggilan akrab kami di lingkaran penggiat Sajogyo Institute). Kami semua berkumpul di “padepokan Sajogyo Institute”yang didirikan oleh para kolega, sahabat, dan para murid beliau untuk meneruskan cita-cita dan idealisme Eyang Sajogyo serta istri beliau, Prof Pudjiwati Sajogyo, pada 2005.

Pada 22 Desember 2011 di kediaman beliau, Jalan Malabar 22, Bogor, dalam suasana yang sederhana namun hikmat telah ditandatangani surat pewakafan lahan dan bangunan beserta isinya (termasuk di dalamnya ribuan pustaka pribadi Prof Sajogyo) kepada badan pengelola wakaf di lingkungan keluarga besar Sajogyo Institute.

Seolah-olah sudah menangkap tanda-tanda alam, Eyang Sajogyo ingin menyelesaikan “tanggung jawab keduniawiannya” secara tuntas. Beliau tampaknya tak ingin ada beban “materialistik” duniawi, yang baginya hanya “titipan” semata. Sekaligus dapat terbaca dengan jelas sebagai sebuah penegasan dari apa yang sering beliau sampaikan dalam banyak kesempatan, “Biarlah apa yang sudah saya lakukan, diambil alih oleh generasi selanjutnya.”

Tentu saja makna “wakaf” material itu belum seberapa dibandingkan “wakaf nilai keteladanan, sikap hidup, buah pemikiran, dan beragam tapak idealisme keilmuannya”. Meski demikian, tapak panjang karya dan dedikasi Prof Sajogyo yang telah diakui oleh beragam kalangan tak pernah membuatnya menjadi sosok intelektual menara gading. Sebab baginya, “Ngelmu iku kelakone kanthi laku..”

Artinya, ilmu itu terbangun-laksanakan oleh karena praktik perbuatan. Sulit bagi Eyang Sajogyo memahami makna “ilmu yang bebas nilai” atau “ilmu untuk ilmu”, beserta turunan watak keilmuan-keintektualan yang ignorance atas realitas ketidakadilan sosial-ekonomi. Dengan dasar ruh semacam ini, bagi beliau, berilmu berarti berpihak. Kepada siapa? Kepada mereka yang tertindas dan termarginalkan, khususnya petani gurem, buruh tani, petani kecil, dan mereka yang miskin dan termiskinkan baik secara kultural maupun struktural.

Karena itulah, banyak kalangan melihat bahwa keprihatinan dan fokus keilmuan Prof Sajogyo berangkat dari persolan “dinamika kelompok miskin pedesaan”. Bagi Prof Sajogyo, persoalan kemiskinan struktural yang multidimensional masyarakat pedesaan harus dilihat pada akar persoalan yang sebenarnya yaitu ketimpangan penguasaan sarana-sarana produksi keagrariaan.

Bagaimanapun positifnya intervensi negara dalam penaganan kemiskinan dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, ketika ketimpangan penguasaan sarana produksi keagrariaan di atas masih timpang, itu tidak membawa penyelesaian sejati, bahkan bisa memperparah ketidakadilan sosial. (Wahono, 2011).

Untuk itu, Prof Sajogyo bersama Dr Gunawan Wiradi dan Prof Tjondronegoro dan para penerus “Mazhab Bogor” lainnya meyakini dan terus mengumandangkan penegakan Reforma Agraria sebagaimana dimandatkan Undang-Undang No 5 mengenai Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA 1960).

Di tengah rezim Orba yang menabukan persolan Reforma Agraria, Prof Sajogyo (1976) menulis,“...Jika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh tani (kepala keluarga) sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan land reform!’ Idenya adalah, pemerintah membeli tanah-tanah pertanian yang kecil-kecil itu untuk kemudian disatukan menjadi satu unit produksi yang dikelola oleh apa yang ia namakan Badan Usaha Buruh Tani (BUBT), yang pengelolaannya ada di tangan petani gurem tersebut”.

Pemikiran Prof Sajogyo yang berwatak Sosialisme Kerakyatan (Wahono, 2011) menempatkannya pada barisan kelompok intelektual sosial kritis Indonesia yang “sepi” dari ingar-bingar selebritas intelektual yang pada zamannya dulu banyak berada di seputar kekuasaan negara (Orba). Sikap ‘emoh’ selebritas itu sangat kuat memancar dalam kesederhanaan dan kebijakan sikap hidup yang ditunjukkannya dalam keseharian.

Tak hanya soal penampilan, sikap, laku tindak, dan ucapnya adalah manifestasi dari integritas dan otoritas keilmuannya. Kini pilihan “jalan sunyi” Prof Sajogyo berhadapan dengan zaman “dol-dolan” (komersialisasi) segala hal demi dan atas nama liberalisasi pasar. Sumber-sumber agraria nasional (tanah, air, hutan, laut, keanekaragaman hayati, dan sebagainya) telah dikapling-kapling oleh kekuatan pemilik modal (national dan trans national corporation).

Belum lagi masalah ketergantungan bahan pangan impor, terancamnya sumber energi, serta sumber daya air. Seiring dengan itu juga terjadi bentuk-bentuk ”komersialisasi intelektualitas” yang bekerja demi legitimasi dan justifikasi ilmiah atas ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam demi akumulasi modal yang mengingkari semangat UUD 1945, khususnya Pasal 33.

Akhirnya, jika kami generasi “cicit” diminta membuat rangkaian kata mengenang kepergian Eyang Sajogyo, beliau adalah “teladan hidup dan sosok intelektual penjaga kewarasan berpikir, bersikap, dan bertindak untuk keadilan sosial-ekologis”. Selamat jalan Eyang, kami akan meneruskan cita-citamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar