Fikih
Revolusi
Hasibullah Satrawi, SARJANA HUKUM ISLAM AL-AZHAR, KAIRO, MESIR; PENGAMAT POLITIK TIMUR
TENGAH DAN DUNIA ISLAM PADA MODERATE MUSLIM SOCIETY JAKARTA
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET
2012
Ada satu bagian dari Musim Semi Arab yang
acap terlewatkan dari ulasan para pengamat: bahwa revolusi terjadi di
negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya mengikuti aliran Ahlussunnah
(bukan Syi’ah), seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.
Revolusi di negara-negara Ahlussunnah menarik
diperhatikan karena masuk kategori peristiwa tak lazim. Bahkan, pada tahap
tertentu dapat dikatakan, revolusi ini telah melabrak tradisi keagamaan yang
termanifestasi dalam bentuk produk hukum (fikih) yang antirevolusi.
Pada awalnya, lembaga-lembaga keagamaan
terkemuka di Arab mempertahankan pandangan fikih yang antirevolusi. Hal ini
terlihat jelas dari sikap lembaga keagamaan selevel Al-Azhar yang memilih diam
saat terjadi revolusi di Mesir.
Al-Azhar baru bersikap tegas setelah kekuatan
revolusi Mesir berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Itu pun tidak dalam bentuk
sikap tegas mendukung kelompok revolusi sekaligus menghujat rezim Mubarak,
tetapi dalam bentuk sikap mengayomi semua kekuatan berpengaruh di Mesir demi
terwujudnya masa depan yang lebih cerah bagi negeri piramida itu.
Beberapa waktu terakhir, sikap Al-Azhar acap
berbeda seratus persen dari sikap awalnya terkait dengan revolusi yang terjadi.
Sikap mutakhir Al-Azhar justru mendukung aksi revolusi yang terjadi seperti di
Suriah karena rezim yang berkuasa dianggap telah melakukan kejahatan besar
dengan membunuh anak-bangsanya sendiri.
Fikih Antirevolusi
Tradisi fikih di kalangan Ahlussunnah
melarang keras revolusi untuk melawan sebuah pemerintahan yang sah. Bahkan,
pengharaman ini juga berlaku dalam konteks pemerintahan yang tidak sepenuhnya
menjalankan ajaran Islam.
Dalam kitab Fathul Bari sebagai contoh,
ditegaskan bahwa revolusi terhadap pemerintahan yang tidak sepenuhnya
menjalankan ajaran Islam tidak diperbolehkan. Satu-satunya alasan yang membuat
revolusi dibolehkan adalah kekafiran sebuah rezim, yakni manakala rezim yang
ada sudah melarang umat Islam melakukan ibadah yang wajib seperti shalat dan
lainnya. Dalam konteks seperti ini, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, pengarang buku
ini, mewajibkan revolusi rakyat untuk menurunkan rezim kafir tersebut.
Secara normatif, pandangan fikih antirevolusi
yang berlaku di kalangan Ahlussunnah sebagaimana di atas berlandaskan salah
satu ayat Al Quran yang mewajibkan patuh kepada Allah, Rasul, dan ulilamri
(athi’ullaha wa athi’ur rasula wa ulil amri minkum; Qs. An-Nisa’: 59).
Mayoritas ulama menafsirkan kata ulilamri dalam ayat di atas sebagai
pemerintahan yang sah.
Oleh karena itu, berdasarkan ayat di atas,
umat Islam wajib mematuhi pemerintah yang sah. Mereka yang melakukan perlawanan
terhadap pemerintah yang sah dianggap sebagai kelompok bughat (pemberontak)
yang harus diperangi (sesuai dengan ketentuan Al Quran, Al-Hujurat: 9).
Di luar ayat Al Quran di atas, pengharaman
terhadap revolusi di kalangan Ahlussunnah juga dibangun di atas kaidah hukum
fikih yang dikenal dengan istilah saddu az-zara’i’ (menutup kemungkinan buruk).
Atas dasar kaidah fikih ini, revolusi diharamkan karena bisa membuka
pintu-pintu keburukan yang lebih parah, seperti pembunuhan, perang saudara,
perusakan fasilitas publik, dan yang lainnya. Agar kemungkinan-kemungkinan
buruk itu tidak terjadi, revolusi pun diharamkan.
Almarhum filsuf terkemuka Arab modern dari
Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri, menjelaskan latar belakang yang membuat fikih
Ahlussunnah melarang keras revolusi. Dalam bukunya berjudul Al-Aqlu As-Siyasiy
Al-’Arabiy (Nalar Politik Arab), Al-Jabiri melansir bahwa nalar Ahlussunnah
dalam hal-hal yang berkaitan dengan perpolitikan dan pemerintahan cenderung
harmonis. Istilah yang digunakan oleh Al-Jabiri adalah laysa abda’ bil imkani
mimma kana (tidak ada yang lebih baik dari yang sudah terjadi, 2000: 233).
Melalui penalaran seperti ini, kelompok
Ahlussunnah tidak mau mengotak-atik realitas politik dan kepemimpinan yang ada,
baik pemerintahan pada masa sekarang maupun pemerintahan pada masa terdahulu.
Dalam konteks pemerintahan sekarang,
otak-atik sebuah pemerintahan dikhawatirkan justru menjadi awal bagi terjadinya
pelbagai macam tragedi yang berdarah-darah. Adapun otak-atik pemerintahan pada
masa terdahulu dianggap lebih tidak memungkinkan lagi mengingat hal tersebut
akan berakibat pada hal-hal yang jauh lebih buruk, yaitu mengotak-atik sejarah
pemerintahan awal dalam Islam.
Inilah yang membedakan aliran Ahlussunnah
dari aliran-aliran yang lain dalam Islam, khususnya aliran Syi’ah. Berbeda
dengan kelompok Ahlussunnah, Syi’ah mengembangkan nalar yang bercorak idealis.
Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ma yanbaghiy ay-yakuna (yang seharusnya ada
dan terjadi).
Pokok utama dari penalaran seperti ini adalah
menciptakan tatanan politik dan kekuasaan seideal mungkin walaupun hal ini
harus ditempuh melalui jalur revolusi, tidak hanya dalam konteks pemerintahan
yang ada sekarang, tetapi juga dalam realitas pemerintahan yang menyejarah.
Peringatan Dini
Pertanyaannya adalah apa makna dari fikih
revolusi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beraliran Ahlussunnah itu?
Dalam hemat penulis, fenomena di atas setidaknya menunjukkan semakin matangnya
kedewasaan masyarakat, terutama dalam menghadapi persoalan keagamaan dan
kenegaraan.
Kedewasaan telah membuat masyarakat membangun
dan meyakini rasionalitas publik yang bersifat kontekstual sehingga mereka
berani mendobrak pelbagai macam ketentuan, baik yang bersifat pandangan
keagamaan antirevolusi maupun kebijakan rezim yang otoritarianistik dan
manipulatif.
Oleh karena itu, fenomena fikih revolusi
sejatinya menjadi peringatan dini bagi semua pihak, khususnya kalangan pemuka
agama dan pemerintah agar mereka tidak mengeluarkan sikap ataupun kebijakan
yang menyalahi rasionalitas kontekstual masyarakat. Bila tidak, bukan mustahil
masyarakat akan mengambil tindakan yang dianggap sesuai dengan rasionalitas
publik yang ada.
Dalam kondisi seperti ini, tidak menutup
kemungkinan revolusi seperti yang terjadi di dunia Arab (yang awalnya
diharamkan) juga akan melebar dan mengguncang negara lain di luar kawasan Timur
Tengah, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya juga mengikuti aliran
Ahlussunnah. Setebal apa pun fatwa pengharaman yang dikeluarkan oleh kaum
agamawan atau seindah apa pun klaim kesuksesan yang disampaikan pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar