Minggu, 04 Maret 2012

Fikih Revolusi

Fikih Revolusi
Hasibullah Satrawi, SARJANA HUKUM ISLAM AL-AZHAR, KAIRO, MESIR; PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM PADA MODERATE MUSLIM SOCIETY JAKARTA
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012



Ada satu bagian dari Musim Semi Arab yang acap terlewatkan dari ulasan para pengamat: bahwa revolusi terjadi di negara-negara Arab yang mayoritas penduduknya mengikuti aliran Ahlussunnah (bukan Syi’ah), seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah.

Revolusi di negara-negara Ahlussunnah menarik diperhatikan karena masuk kategori peristiwa tak lazim. Bahkan, pada tahap tertentu dapat dikatakan, revolusi ini telah melabrak tradisi keagamaan yang termanifestasi dalam bentuk produk hukum (fikih) yang antirevolusi.

Pada awalnya, lembaga-lembaga keagamaan terkemuka di Arab mempertahankan pandangan fikih yang antirevolusi. Hal ini terlihat jelas dari sikap lembaga keagamaan selevel Al-Azhar yang memilih diam saat terjadi revolusi di Mesir.

Al-Azhar baru bersikap tegas setelah kekuatan revolusi Mesir berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Itu pun tidak dalam bentuk sikap tegas mendukung kelompok revolusi sekaligus menghujat rezim Mubarak, tetapi dalam bentuk sikap mengayomi semua kekuatan berpengaruh di Mesir demi terwujudnya masa depan yang lebih cerah bagi negeri piramida itu.

Beberapa waktu terakhir, sikap Al-Azhar acap berbeda seratus persen dari sikap awalnya terkait dengan revolusi yang terjadi. Sikap mutakhir Al-Azhar justru mendukung aksi revolusi yang terjadi seperti di Suriah karena rezim yang berkuasa dianggap telah melakukan kejahatan besar dengan membunuh anak-bangsanya sendiri.

Fikih Antirevolusi

Tradisi fikih di kalangan Ahlussunnah melarang keras revolusi untuk melawan sebuah pemerintahan yang sah. Bahkan, pengharaman ini juga berlaku dalam konteks pemerintahan yang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran Islam.

Dalam kitab Fathul Bari sebagai contoh, ditegaskan bahwa revolusi terhadap pemerintahan yang tidak sepenuhnya menjalankan ajaran Islam tidak diperbolehkan. Satu-satunya alasan yang membuat revolusi dibolehkan adalah kekafiran sebuah rezim, yakni manakala rezim yang ada sudah melarang umat Islam melakukan ibadah yang wajib seperti shalat dan lainnya. Dalam konteks seperti ini, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, pengarang buku ini, mewajibkan revolusi rakyat untuk menurunkan rezim kafir tersebut.

Secara normatif, pandangan fikih antirevolusi yang berlaku di kalangan Ahlussunnah sebagaimana di atas berlandaskan salah satu ayat Al Quran yang mewajibkan patuh kepada Allah, Rasul, dan ulilamri (athi’ullaha wa athi’ur rasula wa ulil amri minkum; Qs. An-Nisa’: 59). Mayoritas ulama menafsirkan kata ulilamri dalam ayat di atas sebagai pemerintahan yang sah.

Oleh karena itu, berdasarkan ayat di atas, umat Islam wajib mematuhi pemerintah yang sah. Mereka yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dianggap sebagai kelompok bughat (pemberontak) yang harus diperangi (sesuai dengan ketentuan Al Quran, Al-Hujurat: 9).

Di luar ayat Al Quran di atas, pengharaman terhadap revolusi di kalangan Ahlussunnah juga dibangun di atas kaidah hukum fikih yang dikenal dengan istilah saddu az-zara’i’ (menutup kemungkinan buruk). Atas dasar kaidah fikih ini, revolusi diharamkan karena bisa membuka pintu-pintu keburukan yang lebih parah, seperti pembunuhan, perang saudara, perusakan fasilitas publik, dan yang lainnya. Agar kemungkinan-kemungkinan buruk itu tidak terjadi, revolusi pun diharamkan.

Almarhum filsuf terkemuka Arab modern dari Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri, menjelaskan latar belakang yang membuat fikih Ahlussunnah melarang keras revolusi. Dalam bukunya berjudul Al-Aqlu As-Siyasiy Al-’Arabiy (Nalar Politik Arab), Al-Jabiri melansir bahwa nalar Ahlussunnah dalam hal-hal yang berkaitan dengan perpolitikan dan pemerintahan cenderung harmonis. Istilah yang digunakan oleh Al-Jabiri adalah laysa abda’ bil imkani mimma kana (tidak ada yang lebih baik dari yang sudah terjadi, 2000: 233).

Melalui penalaran seperti ini, kelompok Ahlussunnah tidak mau mengotak-atik realitas politik dan kepemimpinan yang ada, baik pemerintahan pada masa sekarang maupun pemerintahan pada masa terdahulu.

Dalam konteks pemerintahan sekarang, otak-atik sebuah pemerintahan dikhawatirkan justru menjadi awal bagi terjadinya pelbagai macam tragedi yang berdarah-darah. Adapun otak-atik pemerintahan pada masa terdahulu dianggap lebih tidak memungkinkan lagi mengingat hal tersebut akan berakibat pada hal-hal yang jauh lebih buruk, yaitu mengotak-atik sejarah pemerintahan awal dalam Islam.

Inilah yang membedakan aliran Ahlussunnah dari aliran-aliran yang lain dalam Islam, khususnya aliran Syi’ah. Berbeda dengan kelompok Ahlussunnah, Syi’ah mengembangkan nalar yang bercorak idealis. Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ma yanbaghiy ay-yakuna (yang seharusnya ada dan terjadi).

Pokok utama dari penalaran seperti ini adalah menciptakan tatanan politik dan kekuasaan seideal mungkin walaupun hal ini harus ditempuh melalui jalur revolusi, tidak hanya dalam konteks pemerintahan yang ada sekarang, tetapi juga dalam realitas pemerintahan yang menyejarah.

Peringatan Dini

Pertanyaannya adalah apa makna dari fikih revolusi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beraliran Ahlussunnah itu? Dalam hemat penulis, fenomena di atas setidaknya menunjukkan semakin matangnya kedewasaan masyarakat, terutama dalam menghadapi persoalan keagamaan dan kenegaraan.

Kedewasaan telah membuat masyarakat membangun dan meyakini rasionalitas publik yang bersifat kontekstual sehingga mereka berani mendobrak pelbagai macam ketentuan, baik yang bersifat pandangan keagamaan antirevolusi maupun kebijakan rezim yang otoritarianistik dan manipulatif.

Oleh karena itu, fenomena fikih revolusi sejatinya menjadi peringatan dini bagi semua pihak, khususnya kalangan pemuka agama dan pemerintah agar mereka tidak mengeluarkan sikap ataupun kebijakan yang menyalahi rasionalitas kontekstual masyarakat. Bila tidak, bukan mustahil masyarakat akan mengambil tindakan yang dianggap sesuai dengan rasionalitas publik yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, tidak menutup kemungkinan revolusi seperti yang terjadi di dunia Arab (yang awalnya diharamkan) juga akan melebar dan mengguncang negara lain di luar kawasan Timur Tengah, khususnya Indonesia yang mayoritas penduduknya juga mengikuti aliran Ahlussunnah. Setebal apa pun fatwa pengharaman yang dikeluarkan oleh kaum agamawan atau seindah apa pun klaim kesuksesan yang disampaikan pemerintah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar