Menapaki
Era Baru: Defisit Neraca Migas
Eddy
Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
SUMBER : KORAN TEMPO, 20 Maret 2012
Bersyukur Indonesia belum pernah mengalami
krisis energi berskala nasional. Katastrofi sehebat tsunami Aceh tidak
menyebabkan kelumpuhan nasional akibat krisis energi utamanya, krisis bahan
bakar minyak. Bencana alam berkali-kali terjadi, tapi Indonesia mampu bertahan.
Salah satu penyelamat adalah keran impor masih terbuka lebar. Namun, di masa
mendatang Indonesia tidak boleh terlena, volume impor cenderung semakin besar,
produksi minyak nasional cenderung menurun, dan kegalauan geopolitik cenderung
bergeser menjadi ancaman negara-negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia, dalam
hal kestabilan pasokan dan harga.
Belum lama ini, dengan penuh percaya diri
Iran mempertegas ancamannya terhadap kestabilan pasokan minyak internasional
dan harga minyak. Direktur Pengelola National Iranian Oil Company, Ahmad
Qalebani, mengatakan harga minyak mentah di pasar spot akan meroket
apabila Eropa dan Amerika Serikat ngotot mengenakan embargo ekonomi
terhadap Iran. "Harga minyak akan menuju US$ 150 per barel akibat
penghentian ekspor minyak kami ke Prancis dan Inggris," ujar Qalebani (21
Februari). Iran juga tidak akan segan-segan menghentikan ekspor minyak ke Spanyol,
Belanda, Jerman, Yunani, Italia, dan Portugal bila mereka masih berkukuh
menerapkan sanksi ekonomi.
Memang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Jero Wacik menilai dampak embargo minyak Iran ke Inggris dan Prancis lebih
bersifat politis ketimbang ekonomi. Menurut dia, impor minyak Indonesia untuk
sementara belum akan terganggu, karena sumber minyak dapat diperoleh dari Timur
Tengah, seperti Arab Saudi. Namun yang perlu diwaspadai adalah potensi lonjakan
harga minyak internasional yang mulai dirasakan oleh Indonesia karena terkait
dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Harga Indonesian Crude
Price sudah melebihi 10 persen batas toleransi yang dapat ditanggung APBN
sehingga mendorong percepatan APBN Perubahan.
Banyak analis yang memperkirakan lonjakan
harga ini bersifat sementara. Namun Indonesia perlu waspada dengan melakukan
percepatan strategi "cegah tangkal". Dunia tidak pernah sepi dari
kegalauan geopolitik yang berpotensi mengancam kelancaran impor minyak. Contoh
yang sudah mulai terasa dampaknya adalah embargo Iran, yang berpotensi menjadi
krisis yang meluas dan berkepanjangan.
Pada saat yang bersamaan, di dalam negeri,
Indonesia terbebani oleh melonjaknya kebutuhan impor minyak (dan BBM) serta
menurunnya produksi minyak, sehingga akhirnya Indonesia tidak sanggup
membendung datangnya era defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi, yang
diperkirakan tiba mulai 2012. Siaran pers Bank Indonesia menyampaikan bahwa
surplus neraca perdagangan energi sudah sangat tipis. Pada 2011, neraca perdagangan
minyak dan gas bumi hanya mencatatkan surplus senilai US$ 7 juta, merosot jauh
dibanding 2010 senilai US$ 3 miliar. Mulai 2012 diperkirakan neraca perdagangan
minyak dan gas bumi akan menapaki era baru, era defisit.
Seperti dimaklumi, pada 2004 Indonesia
menjadi negara pengimpor neto minyak, tapi masih tertolong oleh penerimaan gas
bumi, sehingga menyumbangkan neraca perdagangan surplus. Namun sejak tahun ini
(atau tahun depan) dipicu oleh melonjaknya volume impor dan harga minyak
internasional yang sudah melewati 10 persen batas toleransi, Indonesia menuju
ke era baru, yaitu menjadi negara pengimpor neto minyak dan gas bumi, karena
surplus gas tidak mampu lagi menutupi defisit minyak yang membengkak. Ini
sinyal yang buruk terhadap ketahanan energi nasional. Tidak ada pilihan lain,
pemerintah harus melakukan percepatan program-program sektor hulu dan hilir
migas secara lintas sektoral.
Sudah sangat banyak program yang digagas para
pemangku kebijakan, tapi cenderung jalan di tempat. Sebab, pelaksanaannya tersendat
oleh berbagai hambatan lintas sektoral, teknis, dan nonteknis, baik di pusat
maupun di daerah. Program migas perlu ditangani secara lintas sektor, tidak
cukup hanya oleh satu atau dua instansi, tapi harus mengajak seluruh pemangku
kebijakan yang terkait sambil menanggalkan ego sektor.
Pada saat yang tepat, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerbitkan Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 2012, yang
menginstruksikan agar seluruh pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan, baik
di pusat maupun di daerah, berkoordinasi untuk meningkatkan produksi minyak
bumi minimal 1,01 juta barel per hari pada 2014. Diakui target ini sulit
dicapai, tapi diharapkan melalui instruksi tersebut tumbuh semangat kerja sama
dengan menanggalkan ego sektoral sehingga mampu mengangkat kinerja sektor
migas, baik di ranah hulu maupun hilir (rebound).
Kebijakan Presiden Yudhoyono patut kita
dukung dan kita beri apresiasi. Namun, untuk mengejar produksi 1,01 juta per
barel pada 2014 dan menangkal neraca surplus menjadi defisit, diperlukan
strategi dan kerja keras, terutama setelah dipicu oleh pecahnya krisis embargo
Iran.
Pada 2012 adalah tahun yang dipercaya ekonomi
Indonesia sedang menjadi "titik cerah dunia", terutama setelah badan
pemeringkat Fitch dan Moody memberi peringkat investment grade atau
layak investasi bagi Indonesia. Kita berharap para investor datang
berbondong-bondong ke Indonesia tidak hanya meramaikan pasar modal, tapi juga
menggarap sektor energi, terutama di tataran minyak dan gas bumi, mumpung harga
minyak sedang bergerak naik.
Di sektor energi, tahun "layak
investasi" 2012 sebaiknya dimanfaatkan oleh para pemangku kebijakan untuk
meningkatkan ketahanan migas nasional, dari hulu hingga ke hilir. Inilah waktu
yang tepat untuk memangkas "ketidakberdayaan" atau "inferioritas"
negara atas ketahanan minyak dan gas bumi menuju ke tingkat yang lebih
berdaulat, sekaligus memperbaiki iklim investasi untuk kenyamanan dan
keuntungan para investor yang berniat menanamkan modalnya di bumi Indonesia,
khususnya di tataran migas.
Kunci pertama yang harus dipegang pemerintah
adalah program penghematan energi, terutama di sektor industri, sebagai
penyerap energi terbesar, yaitu 51,86 persen dari total penggunaan energi
nasional. Pengguna terbesar berikutnya adalah sektor transportasi 30,77 persen,
diikuti rumah tangga 13,08 persen. Program penghematan energi di sektor
industri dan transportasi (82,63 persen) sangat mendesak dilakukan untuk
menghemat cadangan energi fosil, terutama minyak, yang semakin tipis.
Pemerintah sebaiknya membangun berbagai program penghematan di seluruh
tingkatan pengguna yang lebih terstruktur dan terukur.
Kunci kedua adalah segera menambah kilang
domestik. Wacana sudah dimulai pada 1998, tapi hingga kini belum ada realisasi.
Apabila Indonesia tidak sanggup menambah kapasitas kilang, impor BBM pada 2030
minimal akan mencapai 72 persen dari total kebutuhan, atau sekitar dua setengah
kali lipat produksi BBM nasional. Guna meraih margin dari investasi satu kilang
baru sekitar US$ 9 miliar, investor membutuhkan insentif, baik fiskal maupun
nonfiskal, sepanjang insentif yang diminta dinilai wajar. Pemerintah harus
berani memutuskan dan tidak lagi menunda-nunda pembangunan kilang yang usia dan
kapasitasnya sudah semakin uzur.
Kunci ketiga, pemerintah jangan lagi ragu
untuk segera menerapkan konversi BBM ke gas secara bertahap. Namun perlu
strategi yang lebih terstruktur dan terukur, terutama kelengkapan infrastruktur
dan alokasi gas bumi yang konsisten. Strategi ini harus dibarengi keberanian
memangkas subsidi BBM secara bertahap dan berkeadilan.
Dari sisi pasokan, baik produksi maupun
cadangan, selain keharusan menggalakkan kegiatan kebumian melalui eksplorasi
dan eksploitasi, untuk mengurangi volume impor, pemerintah dapat memulai dari
penyempurnaan kontrak production sharing (PSC) yang baru, terutama dalam
penguasaan volume oleh negara. Bila dipandang perlu dapat dipertimbangkan
pemberian insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor sebagai bentuk
kompensasi atas beralihnya sebagian penguasaan volume.
Sektor migas Indonesia masih sangat
membutuhkan masuknya modal asing, sehingga seluruh strategi hulu ataupun hilir
membutuhkan perbaikan iklim investasi, baik di pusat maupun daerah, terutama
yang terkait dengan masalah lintas sektor, seperti tata ruang, perizinan,
dampak negatif otonomi daerah, perpajakan, birokrasi, dan sentimen anti-asing (xenophobia).
Dampak Iran hanyalah pemicu. Ancaman
ketahanan energi yang lebih mendasar adalah Indonesia sedang bersiap-siap
menapaki era baru, yaitu era defisit minyak (dan gas bumi). Mungkinkah
ditangkal? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar