Kamis, 01 Maret 2012

Membangsa Indonesia


Membangsa Indonesia
Mudji Sutrisno SJ, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 1 Maret 2012



Pengertian bangsa sebagai “nation” adalah dengan kesamaan teritori tanah air, dengan kesatuan rasa dan hasrat tampil merdeka dalam identitas kemajemukan suku, agama, tetapi ika menyatu untuk secara politis menjadi sebuah negara berdaulat.
Kebersatuan itu disertai dengan kepastian hukum dan demokrasi sebagaimana diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang merupakan proklamasi politis dalam permakluman kemerdekaannya dari penjajahan.

Wujudnya adalah sebuah negara berdaulat Republik Indonesia yang secara politis internasional diakui merdeka dan berdaulat, tetapi secara kultural masih berproses karena loncatan politis tidak serta-merta bersamaan dengan proses budaya. Pengertian “bangsa” dan pergulatannya sesungguhnya merupakan pengertian budaya atau kultural.

Artinya,Indonesia yang multietnik, multiagama, multikearifan dan kejeniusan lokalmerupakanproseskebudayaan yang terus-menerus berkembang. Energi dan daya-daya kreatif religiositas,estetika,dan kebijaksanaan hidup setempat memberi sumbangan terbaiknya pada keindonesiaan. Inilah proses sejarah kebudayaan mengindonesia sejak kemauan untuk pencerahan dan menempuh jalan peradaban modern dimulai dengan berorganisasi secara rasional, mendidik diri dalam cerdas budi,dan bersama-sama secara organisatoris pada 1908.

Kemudian sejarah mencatat perjuangan bahasa sebagai komunikasi ekspresi diri sebagai bangsa. Bahasa merupakan perajut rasa menyatu dan saling peduli meski beda suku,beda bahasa etnik,tetapi sedia menegaskan bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa subkultur. Lalu “pada saat momentum yang tak mungkin berbalik kembali” dengan kesadaran diberkati oleh berkah Allah yang Maha Kuasa, tampillah religiositas keindonesiaan itu dalam proklamasi merdeka 17 Agustus 1945.

Distrust

Maka, ketika dekade ini— terutama setelah mengalami hasil positif reformasi pasca-1998—terjadi krisis distrust dalam wujud tanda petik besar demokrasi politik, hal tersebut mengundang refleksi mendalam kita mengenai mengapanya. Pertama, dalam sejarah membangsa bangsa lain dalam perbandingan untuk becermin, proses demokrasi politis harus jatuh bersamaan dengan demokrasi ekonomi.

Mengapa? Orang tidak bisa demo dan teriak mengungkapkan hak-haknya manakala persoalan pokok mengenai kebutuhan perut kesejahteraan tidak ada. Apalagi orang tak bisa teriak dalam kondisi perut lapar atau menganggur tanpa pekerjaan. Kita mengalami jatuh dari ekstrem rezim sebelumnya yang mengusahakan pemenuhan kebutuhan pokok hidup, tetapi membungkam kemerdekaan berekspresi.

Demokrasi politis tak ada, tetapi demokrasi ekonomis diusahakan saat rezim yang lalu. Distrust terjadi karena ketidakadilan menganga dan terjadi jurang antara mereka yang miskin dan yang kaya.Ada gambar karikatur yang menampilkan amat apik mengenai anekdot bila dari tahap-tahap naik jenjang, selalu orang berjuang dari wakil rektor menjadi rektor, dari wakil presiden ingin menjadi presiden, dari wakil direktur mau menjadi direktur, mengapa dari “wakil rakyat” hampir semua mengingkari untuk menjadi “rakyat”?

Para ahli kerakyatan menganalisis dan menyimpulkan perihal tidak dijalankannya sekaligus demokrasi politis dan demokrasi ekonomis karena sistem ekonominya tidak memihak rakyat sesuai dengan Pasal 33 konstitusi 1945. Lihatlah buktinya dalam pengelolaan yang paling menjadi tulang punggung ekonomi rakyat di persawahan, pertanian, dan di kelautan.

Mata kita langsung melihat jernih mengapa bangsa yang kaya garam, ikan laut, dan minyak bumi harus dan dibuat takluk oleh sistem ekonomi serbaimpornya. Kedua, distrust terjadi lantaran dalam konflik antara pemodal, masyarakat (rakyat), dan negara (pemerintah) mengenai yang menyangkut hajat hidup orang banyak,pemihakan kepada rakyat dikalahkan oleh kekuatan besar global modal yang bersekutu dengan pemodal dan negara.

Lalu yang dikorbankan adalah rakyat dengan kalahnya mereka di tanah-tanah ulayat,di hutan-hutan yang sudah diambil alih oleh pemodal-pemodal untuk perkebunan ekspor tanpa keterbukaan legal dan tanpa rundingan dengan para pemiliknya. Lihatlah semua kekerasan yang muncul akibat konflik tanah, di mana aparatur berpihak? Di mana negara berdiri?

Krisis

Krisis terjadi lantaran sistem politik ekonomi atau ekonomi politik tidak memberikan keadilan. Lalu apa sebenarnya persoalan akarnya sehingga tiap kali mengelola hidup membangsa dan bernegara hukum dan demokratis “memberi indikasi tidak berhasil atau gagal” dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan untuk masyarakat?

Pertama, karena ekonomisasi kapitalistis dan bukan populis seperti cita-cita Bung Hatta yang de facto dijalankan dalam pembangunan. Juga karena kemandirian dalam berekonomi, berkedaulatan dalam politik serta berkepribadian dalam kebudayaan sebagaimana telah diperas dan diperjuangkan dengan keringat, pikiran, dan pidato oleh Bung Karno dalam Trisakti tidak dijalankan.

Daya-daya kreatif religiositas dan moralitas kemajemukan bangsa yang kaya akan life wisdom dalam pepatah, peribahasa, serta kisah-kisah seni dan local wisdom yang menyumbang untuk membangsa Indonesia yang bhinneka dan ika telah direduksi oleh “politik uang dan kekuasaan serta kelola kapitalisasi material yang menguras habis daripada untuk menafkahi penghuni-penghuninya.

Kedua, moralitas mengagungkan dan memuliakan kehidupan antarsesama dengan alam dan dengan Yang Ilahi telah dikhianati oleh penghayatan keserakahan dan kesewenangan mumpung berkuasa. Penguasa harus membayar rente, maka mengambil sebanyak-banyaknya untuk ego sendiri atau kelompok.

Ketiga, ketidakamanahan. Ketika Anda memegang sebuah wewenang yang memuat sebuah tanggung jawab sosial, akan Anda perlakukan sebagai apakah wewenang tersebut? Anda perlakukan sebagai tugas pelayanan untuk penyejahteraan membangsa Indonesia atau seperti yang meruyak dan merajalela kini dan memperlakukannya sebagai kuasa untuk kepentingan memperkaya diri sendiri?

Keteladanan

Akhirnya, yang paling menjadi jalan keluar jangka pendek dan panjang adalah keteladanan. Sebab satu tindak keteladanan itu berharga lebih dari seribuan kata khotbah dan orasi. Dalam pepatah kuno kebijaksanaan hidup dipesankan, “contoh itu menghidupi laku ke depan buat anak cucu, sementara kata-kata tanpa tindakan adalah tong kosong berbunyi nyaring yang habis ditelan angin”.

Proses membangsa Indonesia adalah proses kultural, mulai dari pembatinan dan penanaman mengenai “apa yang baik” (etos hidup etika), “apa yang benar” (kejujuran nurani dan budi),dan “apayangindah”(memuliakan keindahan hidup dan estetika nyanyi, tari,dan kidung berkidung). Kesemuanya merupakan jalan bertahap, tapak demi tapak penuh keringat dan perjuangan berdarah-darah.

Perjuangan itu seperti merajut kain songket dari ragam warna yang diuntai dengan rajin, dengan hati sama seperti meditasi membatik tulis dengan prosesnya yang butuh ketekunan dan bukan batik cap sekilat sesegera instantly yang meski mungkin laku jual, tapi kehilangan nilai perjuangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar