Kamis, 01 Maret 2012

JAT dan Organisasi Teroris


JAT dan Organisasi Teroris
A Safril Mubah, PENELITI TERORISME PADA CAKRA STUDI GLOBAL STRATEGIS (CSGS),
DOSEN HI FISIP UNAIR
Sumber : JAWA POS, 1 Maret 2012



MELALUI Executive Order 13324, Pemerintah Amerika Serikat menetapkan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris Kamis lalu (23/2). Dalam pernyataan kebijakan itu, JAT dituduh "... has conducted multiple attacks targeting civilians and Indonesian officials, resulting in the deaths of several Indonesian police ... has robbed banks and carried out other illicit activities to fund the purchase of assault weapons, pistols, and bomb-making materials."

Pengeboman bunuh diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, 25 September tahun lalu dianggap AS sebagai bukti aksi terorisme organisasi yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir ini. Karena itulah, AS memerintahkan pembekuan semua aset JAT dan melarang warganya berhubungan dengan JAT.

Tak pelak, kebijakan AS itu memicu perdebatan tentang apakah JAT layak disebut organisasi teroris. Beragam reaksi bermunculan di Indonesia menanggapi kebijakan itu. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, penetapan JAT sebagai organisasi teroris hanya berlaku di AS, tidak berlaku secara global. Menurut Marty, penetapan teroris secara global hanya dapat dilakukan melalui resolusi PBB (Antara, 25/2).

Sementara itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan akan mengonfirmasi penetapan JAT sebagai teroris ke AS dan mengoordinasikan langkah lanjutan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di sisi lain, pimpinan JAT Abdul Rachim Ba'asyir menolak tegas label tersebut dan menganggap AS sebagai teroris yang sesungguhnya (Jawa Pos, 25/2).

Pernyataan putra Ba'asyir itu menyiratkan adanya perbedaan pandangan tentang individu atau kelompok yang disebut teroris. Hal itu disebabkan tak pernah ada kesepakatan tentang definisi terorisme.

Sejauh ini tidak ada definisi pasti tentang terorisme. Para pengambil kebijakan dan pakar yang mengkaji terorisme masih berbeda pendapat soal siapakah yang layak disebut teroris. Sebab, kadangkala teroris bagi satu pihak ternyata dianggap pahlawan bagi pihak lain. Bagi AS, semua pihak yang melawan Paman Sam, seperti Al Qaedah, Jamaah Islamiyah, Hizbullah, dan Hamas adalah organisasi teroris. Sebaliknya, kalangan yang merasakan adanya ketidakadilan global yang diciptakan AS menganggap organisasi-organisasi itu sebagai pahlawan karena berani menentang negara superpower. Bagi para penentang AS, negeri adidaya inilah teroris yang sesungguhnya.

Meski demikian, dilihat dari aksi dan dampak yang ditimbulkan, hampir semua sependapat bahwa terorisme pasti dilancarkan dengan jalan kekerasan bermotif politik untuk menyebar efek ketakutan secara meluas. Namun, menurut Noam Chomsky (2001), label terorisme pada masa kini dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Karena istilahnya berbelok pada upaya perlawanan "orang lemah" terhadap '"orang kuat" yang menguasai kekuasaan, sering aksi terorisme memiliki tujuan politik.

Itulah sebabnya, Gus Martin (2006) mendefinisikan terorisme sebagai "... politically motivated violence ... usually directed against soft targets (i.e. civilian and administrative government targets), and ... with an intention to affect (terrorize) a target audience." Pendapat senada disampaikan Paul Johnson (2008) yang menyebut terorisme sebagai "... the deliberate, systematic murder, maiming, and menacing of the innocent to inspire fear in order to gain political ends... terrorism is politically evil, necessarily evil and wholly evil..."

Berdasar aneka pandangan itu dapat dirumuskan empat indikator terorisme. Pertama, dilakukan dengan jalan kekerasan. Kedua, dilakukan untuk menciptakan ketakutan. Ketiga, ditujukan kepada target yang meluas. Keempat, dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Artinya, semua aksi kekerasan yang bertujuan politik, tidak peduli dilakukan individu, kelompok, maupun negara, dapat dikategorikan terorisme.

Mengacu pada empat indikator tersebut, penetapan JAT sebagai organisasi teroris sesungguhnya tidak memiliki dasar kuat. JAT memang memiliki tujuan politik untuk menegakkan khilafah Islam di Indonesia. Tetapi, harus dipahami bahwa secara organisatoris, JAT tidak pernah memerintahkan aksi kekerasan. Sejauh ini tidak ditemukan bukti ada keputusan JAT yang melegalkan aksi teror. Dalam pedoman organisasinya, juga tidak ada instruksi meledakkan bom bunuh diri.

Bahwa ada mantan anggota JAT yang melakukan pengeboman bunuh diri, seperti Muhammad Syarif (pelaku bom Mapolres Cirebon, 15/4/2011) dan Achmad Yosefa Hayat (pelaku bom GBIS Solo, 25/9/2011), hal itu merupakan inisiatif individual yang bersangkutan. Mereka bisa disebut anggota jamaah yang tidak taat asas terhadap keputusan organisasi karena merasa pimpinan JAT hanya pandai beretorika tanpa melakukan aksi nyata. Kekecewaan atas sikap JAT yang dianggap tidak melakukan jihad yang sesungguhnya dilampiaskan dengan membentuk jaringan baru yang siap beraksi kapan pun dan di mana pun. Sel-sel kecil tersebut bergerak sendiri tanpa kontrol JAT. Karena itu, JAT tidak pernah mengakui aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan.

Dengan demikian, harus dibedakan antara JAT sebagai suatu organisasi dengan kelompok sempalannya. Sebagai suatu organisasi, JAT tidak pernah melancarkan aksi terorisme. Namun, harus diakui, sejumlah mantan anggota JAT terlibat aksi terorisme ketika mereka tidak lagi membawa bendera jamaah ini. Karena itu, label teroris lebih tepat disematkan kapada kelompok sempalan tersebut daripada JAT.

Sebagai negara berdaulat, Indonesia tidak boleh terpengaruh kebijakan AS. Pemerintah harus semaksimal mungkin menghindarkan intervensi AS karena memang ada dugaan kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memengaruhi keputusan Mahkamah Agung atas kasasi vonis 15 tahun penjara yang diajukan Ba'asyir. Kepada AS, pemerintah bisa mengatakan, "It's your business, not my business." ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar