Alternatif
untuk Sejahtera
Ahmad
Sahidah, Dosen Filsafat dan
Etika Universitas Utara Malaysia
SUMBER : REPUBLIKA, 24
Maret 2012
Apakah
suara 99 persen yang mengampanyekan “Duduki Wallstreet“ se bagai pertanda
kapitalisme telah menggali ku burnya sendiri seperti diramalkan oleh Karl
Marx? Tidak. Lalu, adakah alternatif? Slavoj Zizek, filsuf Slovenia, menjawab,
bukan kapitalisme dan sosialisme. Apakah Pancasila bisa ditawarkan?
Secara
retoris, dulu orang ramai mengatakan bahwa ideologi republik ini adalah jalan
keluar dari kebuntuan dua ideologi besar dalam mewujudkan kesejahteraan. Namun,
hingga kini, ekonomi kerakyatan yang didengungkan tak juga mendatangkan kemakmuran.
Sepertinya, hantu kapitalisme dan variannya lebih mengemuka dalam banyak
praktik ekonomi dan pada waktu yang sama negara hadir setengah hati.
Di
tengah tarikan ideologi ini, Indonesia pun sedang memastikan perannya di dunia
setelah berhasil keluar dari kemelut rezim bertangan besi. Reformasi yang telah
mengorbankan warga sendiri ternyata tak membuat antekantek rezim sebelumnya
betul-betul bangkrut. Harus diakui, penguasa hari ini mengusung beban dosa masa
lalu.
Celakanya,
gerbong reformis ambruk karena mereka berperilaku sama, tamak, dan menghalalkan
segala cara. Meskipun secercah harap menyergap, banyak ramalan menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan pendapatan yang setanding dengan negara-negara
maju di dunia. Bahkan, keanggotaan RI di G-20 jelas-jelas menguatkan
kedudukannya sebagai kuasa baru. Persoalannya, sekarang angka kemiskinan
mencecah 30 jutaan (BPS, Maret 2011). Apakah mimpi kesejahteraan rakyat bisa
diwujudkan?
Konsep Kesejahteraan
Dengan
kekayaan melimpah berupa sumber daya alam dan manusia, negeri ini masih harus
menanggung beban tak terperi, warga yang susah mencari makan, dan pekerjaan
yang layak. Jika kebutuhan dasar pun sulit dijangkau, apatah lagi keperluan
lain, seperti perumahan, kesehatan, dan pendidikan.
Tak
ayal, peringkat Indonesia dalam laporan terakhir Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index) 2011 melorot hingga 124, berada di bawah Bosnia (74),
negara yang baru merdeka seumur jagung. Jika secara objektif, Republik ini
ditilik dari komponen kesehatan, pendidikan, dan pendapatan yang berada di
bawah negeri tetangga, Malaysia, maka salah urus terhadap negeri ini begitu
nyata.
Lalu,
mungkinkah kesejahteraan diraih tanpa mengganggu angka-angka itu? Kata yang
diterjemahkan well-being ini kadang digunakan secara bergantian dengan
kebahagiaan. Coba simak pernyataan Jonathan Miles-Watson dalam “Etnographic Insights into Happiness“
yang merupakan salah satu bab The
Practice of Happiness (2011) bahwa the
happiness literatures consistently suggest that interpersonal relationships area
key factor in human well-being.
Di
sini, hubungan dipahami dalam dua cara, pertama ia akan menunjukkan bahwa agama
mempunyai peranan penting dalam mengembangkan dan merawat hubungan. Kedua,
melalui peneorian kepribadian, di mana ia menitikberatkan pada pentingnya
pengembangan hubungan dengan pribadi bukan-manusia.
Masalahnya,
praktik keagamaan seperti apa yang mendorong hubungan itu sehat dan pada
giliriannya membangkitkan kesentosaan? Agama semestinya hadir dalam ruang yang
banyak ditinggalkan oleh kecenderungan kehidupan modern, yaitu spiritualitas.
Sifat batin agama inilah yang memungkinkan ia ramah dengan pelbagai bentuk
ekspresi kebudayaan.
Urgensi Keteladanan
Sudah
saatnya kaum cerdik pandai dan agamawan perlu menafsirkan teks-teks sejalan
dengan maksud utama, sebagaimana diandaikan oleh Paul Ricoeur.
Merujuk pada Islam, Fazlur Rahman, sarjana Pakistan, menegaskan bahwa pesan utama Alquran adalah mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial. Dengan demikian, atas dasar telaah ini, kita pun bisa membayangkan bahwa hiruk-pikuk perayaan Hari Raya Kurban kadang menampilkan ritual keagamaan yang dangkal. Serta merta petinggi dan wakil rakyat memaparkan di media bahwa mereka telah menyumbang hewan kurban. Padahal, pesan Idul Adha adalah kerelaan berkorban bukan sekadar daging dan darah sapi, tetapi takwa.
Merujuk pada Islam, Fazlur Rahman, sarjana Pakistan, menegaskan bahwa pesan utama Alquran adalah mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial. Dengan demikian, atas dasar telaah ini, kita pun bisa membayangkan bahwa hiruk-pikuk perayaan Hari Raya Kurban kadang menampilkan ritual keagamaan yang dangkal. Serta merta petinggi dan wakil rakyat memaparkan di media bahwa mereka telah menyumbang hewan kurban. Padahal, pesan Idul Adha adalah kerelaan berkorban bukan sekadar daging dan darah sapi, tetapi takwa.
Jika
takwa yang menjadi ukuran, sepatutnya pengorbanan itu tercermin dari perilaku
penguasa dan wakil rakyat sebagai pemanggul amanat rakyat. Celakanya, 10
tahunan setelah reformasi, negeri ini masih terbelit korupsi. Tak hanya itu,
birokrasi yang di awal kejatuhan Soeharto mendadak berubah cakap dan bersih,
sekarang kembali ke watak semula, kalau bisa dipersulit, mengapa harus
dipermudah. Kegagalan ini jelas-jelas memperburuk hubungan antarperibadi di
kalangan orang ramai.
Demikian
pula, dengan menjadikan hubungan peribadi itu penting, Richard Layard (2007)
menyatakan bahwa kepercayaan adalah juga sikap yang mendasar bagi kebahagiaan.
Sayangnya, masyarakat kita juga gagal dalam memupuk kepercayaan di antara
mereka sendiri. Tawuran dan kericuhan yang sering mencuat di kalangan mereka
berasal dari keengganan untuk membuka diri bagi kehadiran orang lain.
Contoh
nyata yang paling mengenaskan adalah main hakim sendiri dalam mengadili pencuri
atau tawuran antarkampung. Jelas, tindakan ini adalah cermin dari ketiadaan
kepercayaan, selain gambaran kejiwaan masyarakat kita yang sakit.
Betapa
pun kesejahteraan itu bukan tujuan yang mudah diraih. Sayangnya, sebagaimana Sysyphus dalam mitologi Yunani, para penganut agama dan pengawalnya tidak perlu
menggulirkan batu yang telah didorong ke atas, lalu disorong ke bawah sehingga
puncak tak pernah diraih. Puncak itu, sebagaimana dijelaskan oleh Plato, adalah
kebahagiaan.
Setidak-tidaknya
kita pun perlu mengukur secara objektif ukuran untuk memastikan kesejahteraan
seseorang. Meski statistik BPS menunjukkan rakyat kita banyak yang miskin, dalam
sebuah survei (The Economist, 3/2/12),
rakyat Indonesia menempati peringkat pertama, yang disusul oleh India, Meksiko,
Brasil, dan Australia, dalam meraih kebahagiaan hidup. ●
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMemang Sudah saatnya kaum cerdik pandai dan agamawan menafsirkan pesan utama Alquran adalah mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial.
BalasHapusAtas dasar hal tersebut saya sebagai salah satu anggota dan aktivis FOKKUS BABINROHIS NASIONAL (Forum Komunikasi dan Konsultasi Badan Pembina Rohani Islam Nasional) merasa terpanggil untuk melaksanakan:
"GERAKAN INDONESIA BERQURBAN"
dalam rangka Menyambut Hari Raya 'Idul Adha tahun 1433 H
Dengan Tema:
"Manfaat Ibadah Qurban Dalam Meningkatkan Kemandirian
Dan Kesejahteraan Ekonomi Umat Berlandaskan Syari'ah"
UNTUK LEBIH JELASNYA DAPAT DILIHAT PADA LAMAN BERIKUT INI:
http://padaqurban.blogspot.com/
http://padakomat.blogspot.com
Demikian Tanggapan saya terhadap tulisan yang berjudul
"Alternatif Untuk Sejahtera",
saya sampaikan untuk diper-HATI-kan dan
di-AKTUALISASI-kan oleh berbagai pihak terkait;
hingga Wujud-Nyata Kemandirian dan Kesejahteraan Umat
dapat diaktualisasi-kan secara terencana, terarah dan
terkendali dalam upaya menggalang dan mewujudkan
Izzatul Islam wal Muslimin, bagi kemajuan umat, masyarakat, bangsa dan negara yang kita cintai. Amin
Arifin Sulaeman
0878.2199.4353
email: arifinsulaeman@gmail.com
http://padaqurban.blogspot.com/
http://padakomat.blogspot.com