Matinya
Kewirausahaan Masyarakat
Fadel Muhammad, MANTAN
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
Sumber
: SUARA KARYA, 1 Maret 2012
Kabar bahwa pemerintah akan mengimpor 500 ribu ton garam
(sebenarnya 2,1 juta ton, yang terdiri dari garam konsumsi sebanyak 500 ribu
ton dan garam industri 1,6 juta ton) sungguh mengagetkan. Ini langkah yang
susah dipahami dengan akal sehat di tengah upaya serius Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) mengembangkan program Pugar (Pemberdayaan Usaha Garam
Rakyat).
Berdasarkan data terakhir, Indonesia memiliki 57.418 ha lahan
garam potensial, sedangkan lahan garam yang ikut dalam program Pugar 22.597,40
ha. Sementara lahan garam yang dimiliki oleh PT Garam seluas 7.289 ha.
Hasil riset termutakhir oleh seorang praktisi garam rakyat asal
Indramayu, Sdr Ahmad Hasan sukses menemukan zat aditif dan koagul-an yang dapat
mempercepat proses kristalisasi garam dan meningkatkan produktivitas serta
kualitas garam. Produk garam ini telah berhasil diuji-cobakan dan diaplikasikan
pada sentra-sentra garam seluruh Indonesia. Hasilnya, sungguh spektakuler,
produktivitas lahan per hektar per musim panen bisa mencapai 120 ton, bahkan
berpotensi hingga 200 ton per hektar. Hasil paling jeblok 80 ton.
Jika pemerintah serius merevitalisasi garam nasional dan berhasil
meningkatkan produktivitasnya menjadi 100 ton per hektar maka dari lahan garam
yang berada dalam program Pugar akan dihasilkan 2.259.740 ton. Ini belum
termasuk lahan PT Garam seluas 7.289 ha yang kualitas lahannya jauh lebih baik
dan mendapat dukungan modal yang memadai. Sejalan dengan program
industrialisasi perikanan yang dicanangkan KKP maka sebenarnya secara riil bisa
dihasilkan garam sebanyak 2.988.640 ton bisa menutupi kebutuhan garam nasional.
Impor garam adalah salah satu fenomena gunung es dari ekonomi
rente yang tumbuh subur di negeri ini. Oknum pejabat pemerintah kita sudah
teracuni oleh penyakit mental yang serba menggampangkan. Almarhum Profesor
Kuntjaraningrat pada tahun 1974 telah mengingatkan dua kelemahan mentalitas
masyarakat Indonesia, yaitu mentalitas meremehkan mutu dan mentalitas
menerabas. Mentalitas ini rupanya telah berakar kuat, tidak hanya di masyarakat
tetapi di kalangan birokrasi pemerintahan.
Petani kita telah ditumpulkan kearifan lokalnya melalui
Undang-undang Benih, sejumlah penangkar dan pembudidaya benih telah masuk
penjara karena melakukan inovasi dan terobosan sesuai dengan keahlian yang
dimilikinya. Namun, pada satu sisi, impor pangan dari tahun ke tahun jumlahnya
semakin besar. Termasuk pangan yang dapat kita buat sendiri.
Menjelang pembukaan keran impor garam dampaknya sudah mulai
dirasakan oleh petambak garam Madura. Harga garam di tingkat petambak merosot
hingga 17 persen. Impor garam ini juga akan memberi imbas pada harga ketika
panen raya. Mestinya pemerintah memperhatikan aspirasi para petambak garam dan
melakukan triangulasi data garam nasional karena sampai sekarang belum ada
angka yang disepakati dan dijadikan pegangan berapa jumlah produksi garam
nasional. Angka dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan
Kementerian Kelautan saling berbeda. Kesimpangsiuran angka ini memberi ruang
kepada pemburu rente dengan mengimpor garam.
Padahal, kita sebenarnya mampu untuk berswasembada garam jika ada
kemauan. Yang kita butuhkan adalah komitmen nasional. Kita memiliki lahan
potensial sebesar 57.418 Ha dan lahan PT. Garam seluas 7.289 Ha. Jika
direvitalisasi dan disertai kebijakan yang mendukung pengembangan produktivitas
maka swasembada adalah sebuah keniscayaan. Perlu saya sampaikan bahwa petani
Madura sekarang telah berhasil memproduksi garam industri dengan kadar NaCl
tertinggi di dunia, yaitu 99,56 persen dan telah mulai mengekspor ke Jepang.
Pengalaman saya di dunia bisnis dan pemerintahan sampai pada
kesimpulan bahwa perkembangan kewirausahaan masyarakat sangat dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah memperhatikan produksi masyarakat
dengan memberikan dukungan kebijakan dan sarana produksi maka kegairahan
masyarakat untuk berekonomi meningkat. Ini tampak pada beberapa pemerintah
daerah yang berhasil memacu perkembangan ekonomi daerah yang berbasis ekonomi
kerakyatan.
Jika pemerintah sudah mengidap mentalitas menerabas atau mencari
jalan paling gampang maka tidak lagi menghiraukan prestasi dan harga diri. Yang
penting, tujuan diri sendiri atau kelompok tercapai maka ini akan membahayakan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat menjadi kehilangan harapan dan
kepercayaan. Rakyat menjadi putus asa tidak tahu lagi kepada siapa mereka
mengadukan nasibnya. Ini mungkin yang menjadikan masyarakat frustrasi karena
ruang untuk mengembangkan kewirusahaannya tidak ada lagi.
Akhirnya lita harus sadar dan mau mengobati penyakit sosial yang
melemahkan bangsa yang sekarang banyak diidap oleh pejabat pemerintahan dan
pejabat negara yaitu sifat tidak percaya kepada diri sendiri. Sifat tidak
berdisiplin murni, mereka baru disiplin dan bekerja dengan benar jika diawasi
langsung oleh atasan. Tetapi, jika atasan lengah atau atasan tidak punya
karakter maka perilaku maunya enak sendiri akan merajalela. Dan, yang terakhir
sifat tak bertanggung jawab. Belakangan ini sangat nyata kita saksikan di layar
televisi dan di media massa.
Rendahnya empati dan kepedulian terhadap kehidupan rakyat kecil,
terutama dalam berekonomi telah menjadikan kewirausahaan masyarakat pelan-pelan
mati dan akhirnya kita menuju menjadi bangsa kuli dan kuli di antara semua
bangsa.
Saya mengajak kepada semua pihak untuk mengingat kembali ajaran
Bung Karno, "Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri". Pernyataan
tersebut kini masih terasa relevan. Kewirausahaan masyarakat adalah sebagai
wahana untuk mengembangkan semangat berdikari. India dengan Swadeshi berhasil
mandiri. Kita mempunyai segalanya, maka mewujudkan kemandirian nasional di
bidang ekonomi adalah sebuah keniscayaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar