Kamis, 01 Maret 2012

Masihkah Kartu Minyak Iran Bertuah?

Masihkah Kartu Minyak Iran Bertuah?
Agus Trihartono, MAHASISWA S-3 GSIR UNIVERSITAS RITSUMEIKAN, KYOTO;
DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS JEMBER (UNEJ)
Sumber : SINDO, 1 Maret 2012



Energi mengubah peta geopolitik dunia (Tanaka,2012) Sebagai perlawanan balik terhadap sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) atas tuduhan pengembangan uranium untuk senjata nuklir,Iran telah menghentikan ekspor minyaknya ke Inggris dan Prancis serta mengancam embargo ke seluruh Eropa.

Akibatnya harga minyak mentah dunia melambung ke level tertinggi dalam sembilan bulan terakhir (SINDO,23/2). Penghentian ekspor minyak Iran telah mengingatkan kita pada utilisasi diplomasi minyak sebagai salah satu instrumen penekan efektif dalam politik internasional.

Politik dunia mencatat embargo minyak 1973 merupakan contoh penting bagaimana penghentian ekspor minyak merupakan mimpi buruk bagi energy security dan dinamika ekonomi negaranegara maju.Karenanya,pasca embargo 1973, negara-negara penghasil minyak memiliki instrumen dan posisi tawar baru merespons anarkisme hubungan internasional.

Namun,apakah langkah Iran kontemporer akan mengulang cerita sukses diplomasi minyak yang pernah ada? Menurut hemat penulis,meski embargo minyak Iran ke Eropa dalam jangka pendek memiliki daya tekan dan dampak terhadap kontraksi ekonomi dunia yang dapat menjauhkan pemulihan krisis ekonomi Eropa, dalam jangka panjang cerita sukses kartu minyak agaknya tidak akan sekemilau di masa lampau.

Penting tapi Tidak Genting

Badan Energi Dunia (IEA) menyebut Iran sebagai pemain penting dalam menjaga pasokan energi dunia.Iran adalah pemasok sekitar 5% minyak mentah dunia, pemilik cadangan minyak keempat terbesar setelah Venezuela,Arab Saudi, dan Kanada, serta ahli waris cadangan gas terbesar kedua dunia setelah Rusia.

Posisi strategis Iran terlalu penting untuk diabaikan. Iran bisa menjadi kartu liar power games regional maupun internasional. Namun, perkembangan kontemporer mereduksi beberapa keunggulan Iran sebagai pemain penting energi dunia.

Pertama, Iran bukan pemain tunggal dalam minyak. Meski Teheran esensial, semakin ekstensifnya produksi minyak dunia di luar Iran menjadikan negeri ini, bahkan subregion Teluk Persia, bukan lagi faktor satu-satunya penyokong energy security negara-negara besar.

Ketergantungan Eropa,AS, dan negara-negara Asia Timur dalam jangka panjang terhadap Iran dan Teluk Persia akan semakin turun. Bahkan, China yang proyeksi net oil import-nya (sampai 2035) akan menjadi paling tinggi di dunia telah memutuskan mengurangi pasokan minyak dari Iran serta mulai menengok Rusia dan negara-negara di Asia Tengah.

Jepang, importir minyak Iran terbesar kedua di dunia,meski sedang menghadapi masalah energi serius pasca-Fukushima memilih meninggalkan Iran sebagai pemasoknya dan fokus pada pembangunan interkoneksi pipa gas dengan Rusia dan pasokan Asia Tenggara. Teheran mulai ditinggalkan.

Kedua, sumber energi yang semakin mengalami diversifikasi akan memotong ketergantungan kepada minyak.Dalam World Energy Outlook (2011), sangat jelas digambarkan era gas telah datang dan akan memasuki masa keemasan baru. Meski cadangan gas Iran besar, produksi gas Iran baru menyumbang 2,9% dari total produksi dunia.

Kecuali Jepang, Korea Selatan,dan Taiwan,negara pemakai gas utama dunia seperti AS,EU, India, dan China justru memproyeksikan pemenuhan kebutuhan gasnya pada produksi domestik daripada impor. Lebih dari itu,negara-negara importir minyak telah belajar banyak dari embargo 1973 tentang pentingnya ekstensifikasi sumber energi.

Tak pelak,investasi negara-negara importir minyak pada sektor energi lain seperti batu bara, hidro, angin, surya (solar PV), geotermal, bahkan nuklir terus meningkat.  Mengenai nuklir, kasus Fukushima meski mendorong sebagian negara menghentikan operasionalisasi PLTN-nya seperti Jerman, bagi sebagian pemain nuklir lain tidak menyurutkan investasi pembangunan PLTN di dunia.

Justru belajar dari Fukushima, para pemain energi nuklir dunia semakin berupaya untuk menciptakan PLTN dengan tingkat safety yang lebih tinggi (Tanaka,2012).Masifnya investasi pada energi tersebut serta pada energi terbarukan akan memotong ketergantungan yang besar pada minyak.

Ketiga, dalam merespons sanksi ekonomi terhadap Iran, kebijakan Teheran mengembargo Eropa tidak mendapat dukungan dari sesama produsen minyak lain.Teheran bermain sendirian.Tiadanya dukungan kolektif negara-negara produsen lain melemahkan daya magis diplomasi minyak Iran.

Berbeda dengan efektivitas Embargo 1973, alih-alih menakutkan lawan, minyak bisa menjadi kartu mati yang dapat membakar diri sendiri. Lebih dari itu,ketergantungan terhadap pasokan energi Iran juga kurang berarti karena produsen minyak utama lain di Timur Tengah (Arab Saudi,Kuwait, UEA) adalah sekutu setia AS.

Bahkan, salah satu oponen anti-Barat di kawasan, Libya, agaknya menjadi satelit baru AS setelah gelombang Arab Spring yang didukung AS-UE melanda negara itu.Lemahnya solidaritas negara-negara intrakawasan terhadap Iran salah, satunya karena rivalitas intraregional, dipandang telah menurunkan daya gempur kartu minyak Iran dalam konflik Iran dengan AS-UE.

Ke depan sebagai instrumen diplomasi, minyak agaknya akan semakin tergeser signifikansinya. Karenanya,Teheran perlu merumuskan strategi lain dalam hubungannya dengan AS-UE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar