Selasa, 20 Maret 2012

Lingkaran Politik Uang


LAPORAN DISKUSI KOMPAS TEMA “KORUPSI DI DPR”
Lingkaran Politik Uang
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012



Dana adalah darah dalam urat nadi politik.” Demikian salah satu kalimat yang ditulis Indra Jaya Piliang dalam bukunya yang berjudul Mengalir Meniti Ombak: Memoar Kritis Tiga Kekalahan.

Dalam buku itu, Indra antara lain menceritakan pengalamannya menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Golkar pada Pemilu 2009. Saat menjadi caleg, dana selalu menjadi pembicaraan. Selama kampanye, banyak proposal, baik dari internal maupun eksternal Partai Golkar, yang diterima Indra.

Untuk mendukung pencalonan legislatif di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat II, hingga April 2009 Indra mengaku mengeluarkan lebih dari Rp 1 miliar. Sebanyak Rp 300 juta, di antaranya, dari uang pribadi.

Uang itu ternyata belum cukup mengantarkan Indra menjadi anggota legislatif. Kegagalannya ini segera disusul dua kegagalan lain, yaitu saat menjadi tim sukses pasangan calon presiden/wakil presiden M Jusuf Kalla-Wiranto pada pemilu presiden dan ketika mendukung Yuddy Chrisnandi dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar.

Seorang panelis juga mengakui, pada Pemilu 2004 dirinya hanya membutuhkan Rp 225 juta. Sebesar Rp 75 juta di antaranya disumbangkan untuk partai politik. Pemilih juga sudah senang dengan didatangi dan disapa.

Namun, kebutuhan uang melonjak drastis pada Pemilu 2009. Pemilih tidak cukup hanya didatangi, tetapi juga harus diberi ”suvenir.”

Kebutuhan dana terus berlanjut saat seseorang menjadi anggota legislatif. Proposal permintaan bantuan menjadi masalah rutin yang harus dihadapi umumnya anggota DPR. ”Sepanjang 2011, saya menerima lebih dari 80 proposal, seperti untuk pembangunan tempat ibadah, perbaikan jalan, hingga sumbangan kegiatan olahraga,” tutur Hendrawan Supratikno, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Hendrawan biasanya melanjutkan proposal bantuan kegiatan olahraga ke perusahaan swasta. Proposal pembangunan infrastruktur dia kirimkan ke beberapa badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki program kemitraan dan bina lingkungan.

Sistem suara terbanyak sebagai dasar keterpilihan anggota legislatif yang dipakai dalam pemilu pada 2009 sering dituding sebagai salah satu sebab mahalnya biaya politik. Uang menjadi salah satu alat termudah untuk mendapatkan dukungan dan mendekati rakyat.

Peran uang menjadi semakin penting di tengah banyaknya politisi instan sebagai akibat dari sistem kaderisasi dan perekrutan parpol yang umumnya masih memprihatinkan. Latar belakang dan karakter pemilih yang amat beragam, baik secara ekonomi maupun pendidikan, semakin mendorong politisi untuk menggunakan uang sebagai ”jalan pintas” mendekati mereka.

Tetap Berebut

Meski harus menghadapi tuntutan yang tidak ringan, banyak orang tetap berebut menjadi anggota DPR. Akibatnya, penyusunan caleg menjadi salah satu ujian penting terhadap soliditas parpol. Ujian lain terjadi saat penentuan calon yang diusung dalam pemilu kepala daerah dan penyusunan pengurus parpol.

Ini karena posisi sebagai anggota legislatif juga memberi keuntungan besar. Secara ekonomi, misalnya, terlihat dari meningkatnya kekayaan Angelina PP Sondakh, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan.

Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, kekayaan Angelina tahun 2003 sebesar Rp 618 juta dan 7.500 dollar Amerika Serikat (AS). Tujuh tahun kemudian, tahun 2010, Angelina melaporkan kekayaannya menjadi Rp 6,55 miliar ditambah 9.628 dollar AS atau naik sekitar 10 kali lipat.

Dengan hitungan sederhana, dalam tujuh tahun kekayaan Angelina naik Rp 5,932 miliar atau Rp 847,4 juta setiap tahun dan rata-rata Rp 70, 58 juta setiap bulan. Penambahan kekayaan itu setara dengan gaji anggota DPR yang rata-rata Rp 70 juta setiap bulan.

Gaya hidup mewah juga dapat dengan mudah dijumpai dari sejumlah anggota DPR. Selain deretan mobil mewah di lapangan parkir kompleks parlemen di Senayan, aroma parfum berkelas mudah tercium saat berbincang dengan anggota DPR.

Fenomena ini membuat Badan Kehormatan (BK) DPR pada Februari lalu sampai mengimbau anggota DPR untuk tidak menggunakan mobil mewah saat bertugas dan mendorong adanya gaya hidup sederhana. Imbauan ini, menurut Ketua BK DPR M Prakosa, menjadi bagian dari usaha untuk menjaga citra dan martabat serta kredibilitas DPR.

Lonjakan kekayaan dan pola hidup mewah selama ini sering dituding sebagai salah satu ”bukti” maraknya korupsi di DPR. Besarnya wewenang dan kuasa memberi banyak peluang bagi anggota DPR untuk korupsi.

Sejumlah anggota DPR sebelumnya memang dikenal sudah kaya. Mereka antara lain berasal dari pengusaha. Keunggulan finansial umumnya menjadi kunci utama mereka untuk meraih dukungan pada pemilu. Hubungan yang dijalin dengan pemilihnya sejak awal bersifat pragmatis transaksional.

Dengan demikian, tidak aneh ketika menjadi anggota legislatif, pikiran legislator tipe ini pada umumnya adalah mengembalikan modal dan semakin mengembangkan kekayaannya. Jika mereka akhirnya dituding kurang memperjuangkan kepentingan rakyat, itu karena memang tidak berpengalaman di bidang itu.

Akhirnya, mahalnya biaya politik mendorong politisi cenderung sibuk mengumpulkan modal dibandingkan membicarakan masalah kebangsaan atau memperjuangkan aspirasi rakyat.

Fenomena ini dibaca oleh rakyat. Ini antara lain terlihat dari survei Kompas, 20-22 Juli 2011. Sebanyak 76,6 persen responden tidak percaya DPR memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sementara 80,1 persen responden tidak percaya parpol memperjuangkan kepentingan rakyat.

Ironisnya, hingga saat ini belum terlihat upaya maksimal dari parpol dan DPR untuk membebaskan diri dari ancaman korupsi dan mahalnya biaya politik. Ini terlihat dari sepinya isu tentang pembatasan dan transparansi dana kampanye serta keuangan parpol dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar