Selasa, 20 Maret 2012

Berupaya Menutup Celah Penyimpangan


LAPORAN DISKUSI KOMPAS TEMA "KORUPSI DI DPR"
Berupaya Menutup Celah Penyimpangan
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012



Pengantar Redaksi: Hari Selasa, 28 Februari lalu, harian "Kompas" menggelar diskusi bertema ”DPR, Dewan Perwakilan dalam Belitan Korupsi”di redaksi. Diskusi dipandu Teten Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII). Pembicara yang tampil adalah Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, ahli etika dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Dr J Haryatmoko SJ, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Eva Kusuma Sundari, ahli hukum pidana korupsi dari Universitas Indonesia Akhiar Salmi, dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Laporan diskusi, dalam lima tulisan, yang ditulis oleh M Fajar Marta, M Hernowo, Susana Rita K, Yovita Arika, dan Tri Agung Kristanto dimuat pada halaman ini dan halaman tujuh.

Menjadi rahasia umum, segala kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat bisa menjadi ajang transaksi. Hak budget, legislasi, uji kepatutan dan kelayakan calon penyelenggara negara, dan hubungan kerja dengan mitra bisa berubah menjadi ajang transaksi, negosiasi, dan utang budi yang ujungnya berupa uang atau hadiah.

Lembaga yang menjadi mitra DPR tahu itu. Ketika ada anggota Dewan yang berkunjung ke daerah pun, tidak jarang lembaga mitra yang harus menyediakan hotel, makan, atau mobil untuk jalan-jalan. Mitra DPR dimaknai tidak lebih daripada penyedia segala keperluan, termasuk menyediakan oleh-oleh. Memang tidak semua wakil rakyat bersikap kemaruk, tetapi kondisi inilah yang merasuk dalam benak publik.

Oleh karena semua hal di DPR bisa ditransaksikan, korupsi tentu bersifat masif. Sebagian menggunakan uang tunai agar tak terdeteksi. Dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, misalnya, imbalan untuk anggota DPR memakai cek perjalanan, yang juga tidak terdeteksi aliran dananya oleh sistem perbankan.

Namun, mungkin saking masifnya, masih banyak pula transaksi yang terindikasi tindak pidana korupsi di DPR yang menggunakan sistem perbankan. Inilah yang terdeteksi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tidak tanggung-tanggung, PPATK menerima 2.000 laporan mencurigakan yang melibatkan anggota DPR, dan sebagian besar dari mereka duduk di Badan Anggaran DPR.

Saat ini, transaksi itu masih dianalisis PPATK, apakah berindikasi pidana korupsi atau tidak. Ke depan, ruang gerak anggota DPR untuk ”main-main” makin sempit. Pasalnya, PPATK kini tak hanya menelusuri transaksi melalui aliran di rekening bank, tetapi juga transaksi yang menggunakan uang tunai.

PPATK mewajibkan penjual mobil, properti, dan logam mulia melaporkan penjualan langsung di atas Rp 500 juta, baik secara tunai, giro, pentransferan, atau pemindahbukuan. Langkah ini bertujuan membatasi ruang gerak pelaku kriminal dalam mencuci uang hasil kejahatannya.

Modus operandi pencucian uang kian beraneka ragam, tidak lagi sebatas pada industri keuangan seperti perbankan, asuransi, dan pasar modal. Modus pencucian uang juga mengarah pada industri non-keuangan, seperti penjual berbagai benda mewah, hingga transaksi di kantor pengacara, notaris, dan akuntan publik.

Penelitian yang dilakukan PPATK menemukan adanya modus pencucian uang melalui pembelian barang berharga oleh pelaku kejahatan. Kondisi itu, misalnya, ditemukan dalam perkara korupsi yang melibatkan Gayus HP Tambunan, mantan pegawai pajak yang memiliki kekayaan miliaran rupiah. Kondisi serupa bisa saja terjadi pada wakil rakyat yang dicurigai karena kekayaannya melonjak tinggi.

Kewajiban lama

Di Indonesia, kewajiban pelaporan bagi setiap penyedia jasa keuangan itu berlaku sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ini diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, tentang hal yang sama, karena pencucian uang kian marak terjadi di negeri ini.

Transaksi yang terjadi di perusahaan properti; pedagang kendaraan bermotor; pedagang permata, perhiasan, dan logam mulia; pedagang barang seni dan barang antik; serta balai lelang yang wajib dilaporkan ke PPATK adalah lebih besar atau setara dengan Rp 500 juta. Transaksi itu bisa dilakukan dengan mata uang rupiah maupun mata uang asing. 

Transaksi itu bukan dalam sekali kejadian, tetapi yang bertahap pun wajib dilaporkan.
Misalnya, seseorang pegawai negeri sipil yang dalam profilnya berpenghasilan Rp 10 juta per bulan membeli sebuah mobil seharga Rp 550 juta, yang dibayar dengan uang muka Rp 250 juta dan sisanya dicicil selama tiga tahun. Transaksi itu harus dilaporkan ke PPATK karena dikualifikasikan sebagai yang mencurigakan. Namun, oleh pegawai itu dibayarkan uang muka Rp 25 juta dan sisanya dicicil selama 10 tahun, transaksi ini tidak harus dilaporkan kepada PPATK. Transaksi ini tak bisa dikualifikasikan sebagai yang mencurigakan.

Jika perusahaan properti, pedagang kendaraan bermotor, dan pedagang logam mulia tidak melaporkan transaksi yang diwajibkan PPATK, mereka bisa diajukan ke meja hijau. Ancaman hukumannya adalah maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena menerima pentransferan atau pembayaran dana yang sepatutnya diduga merupakan hasil kejahatan. Pelaksanaan kewajiban pelaporan itu adalah bentuk perlindungan hukum bagi badan usaha itu.

Jadi, mau ke mana menyembunyikan hasil korupsi? Ke lubang semut pun akan ditelisik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar