LAPORAN
DISKUSI KOMPAS TEMA "KORUPSI DI DPR"
Berupaya
Menutup Celah Penyimpangan
SUMBER : KOMPAS, 20 Maret 2012
Pengantar Redaksi: Hari
Selasa, 28 Februari lalu, harian "Kompas" menggelar diskusi bertema ”DPR,
Dewan Perwakilan dalam Belitan Korupsi”di redaksi. Diskusi dipandu Teten
Masduki, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII).
Pembicara yang tampil adalah Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) Agus Santoso, ahli etika dari Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, Dr J Haryatmoko SJ, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Eva Kusuma Sundari, ahli hukum pidana
korupsi dari Universitas Indonesia Akhiar Salmi, dan Koordinator Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Laporan
diskusi, dalam lima tulisan, yang ditulis oleh M Fajar Marta, M Hernowo, Susana
Rita K, Yovita Arika, dan Tri Agung Kristanto dimuat pada halaman ini dan
halaman tujuh.
Menjadi rahasia umum, segala kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat bisa menjadi ajang transaksi. Hak budget, legislasi, uji
kepatutan dan kelayakan calon penyelenggara negara, dan hubungan kerja dengan
mitra bisa berubah menjadi ajang transaksi, negosiasi, dan utang budi yang
ujungnya berupa uang atau hadiah.
Lembaga yang menjadi mitra DPR tahu itu.
Ketika ada anggota Dewan yang berkunjung ke daerah pun, tidak jarang lembaga
mitra yang harus menyediakan hotel, makan, atau mobil untuk jalan-jalan. Mitra
DPR dimaknai tidak lebih daripada penyedia segala keperluan, termasuk
menyediakan oleh-oleh. Memang tidak semua wakil rakyat bersikap kemaruk, tetapi
kondisi inilah yang merasuk dalam benak publik.
Oleh karena semua hal di DPR bisa
ditransaksikan, korupsi tentu bersifat masif. Sebagian menggunakan uang tunai
agar tak terdeteksi. Dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia tahun 2004, misalnya, imbalan untuk anggota DPR memakai cek
perjalanan, yang juga tidak terdeteksi aliran dananya oleh sistem perbankan.
Namun, mungkin saking masifnya, masih banyak
pula transaksi yang terindikasi tindak pidana korupsi di DPR yang menggunakan
sistem perbankan. Inilah yang terdeteksi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK). Tidak tanggung-tanggung, PPATK menerima 2.000 laporan
mencurigakan yang melibatkan anggota DPR, dan sebagian besar dari mereka duduk
di Badan Anggaran DPR.
Saat ini, transaksi itu masih dianalisis
PPATK, apakah berindikasi pidana korupsi atau tidak. Ke depan, ruang gerak
anggota DPR untuk ”main-main” makin sempit. Pasalnya, PPATK kini tak hanya
menelusuri transaksi melalui aliran di rekening bank, tetapi juga transaksi
yang menggunakan uang tunai.
PPATK mewajibkan penjual mobil, properti, dan
logam mulia melaporkan penjualan langsung di atas Rp 500 juta, baik secara
tunai, giro, pentransferan, atau pemindahbukuan. Langkah ini bertujuan
membatasi ruang gerak pelaku kriminal dalam mencuci uang hasil kejahatannya.
Modus operandi pencucian uang kian beraneka
ragam, tidak lagi sebatas pada industri keuangan seperti perbankan, asuransi,
dan pasar modal. Modus pencucian uang juga mengarah pada industri non-keuangan,
seperti penjual berbagai benda mewah, hingga transaksi di kantor pengacara,
notaris, dan akuntan publik.
Penelitian yang dilakukan PPATK menemukan
adanya modus pencucian uang melalui pembelian barang berharga oleh pelaku
kejahatan. Kondisi itu, misalnya, ditemukan dalam perkara korupsi yang
melibatkan Gayus HP Tambunan, mantan pegawai pajak yang memiliki kekayaan
miliaran rupiah. Kondisi serupa bisa saja terjadi pada wakil rakyat yang
dicurigai karena kekayaannya melonjak tinggi.
Kewajiban lama
Di Indonesia, kewajiban pelaporan bagi setiap
penyedia jasa keuangan itu berlaku sejak tahun 2002 dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ini
diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, tentang hal yang sama, karena pencucian
uang kian marak terjadi di negeri ini.
Transaksi yang terjadi di perusahaan
properti; pedagang kendaraan bermotor; pedagang permata, perhiasan, dan logam
mulia; pedagang barang seni dan barang antik; serta balai lelang yang wajib
dilaporkan ke PPATK adalah lebih besar atau setara dengan Rp 500 juta.
Transaksi itu bisa dilakukan dengan mata uang rupiah maupun mata uang asing.
Transaksi itu bukan dalam sekali kejadian, tetapi yang bertahap pun wajib
dilaporkan.
Misalnya, seseorang pegawai negeri sipil yang
dalam profilnya berpenghasilan Rp 10 juta per bulan membeli sebuah mobil
seharga Rp 550 juta, yang dibayar dengan uang muka Rp 250 juta dan sisanya
dicicil selama tiga tahun. Transaksi itu harus dilaporkan ke PPATK karena
dikualifikasikan sebagai yang mencurigakan. Namun, oleh pegawai itu dibayarkan
uang muka Rp 25 juta dan sisanya dicicil selama 10 tahun, transaksi ini tidak
harus dilaporkan kepada PPATK. Transaksi ini tak bisa dikualifikasikan sebagai
yang mencurigakan.
Jika perusahaan properti, pedagang kendaraan
bermotor, dan pedagang logam mulia tidak melaporkan transaksi yang diwajibkan
PPATK, mereka bisa diajukan ke meja hijau. Ancaman hukumannya adalah maksimal
lima tahun penjara dan denda Rp 1 miliar karena menerima pentransferan atau
pembayaran dana yang sepatutnya diduga merupakan hasil kejahatan. Pelaksanaan
kewajiban pelaporan itu adalah bentuk perlindungan hukum bagi badan usaha itu.
Jadi, mau ke mana menyembunyikan hasil
korupsi? Ke lubang semut pun akan ditelisik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar