Rabu, 21 Maret 2012

Konglomerasi Media dan Politik Oligarki

Konglomerasi Media dan Politik Oligarki
Firdaus Cahyadi, KNOWLEDGE MANAGER
FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT ONEWORLD-INDONESIA
SUMBER : KORAN TEMPO, 21 Maret 2012



Media adalah salah satu pilar demokrasi. Dengan demokrasi, distribusi kekuasaan dapat dilakukan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi. Kenapa itu bisa terjadi? Sebab, media berperan sebagai sebuah alat kontrol sosial yang mencegah munculnya monopoli kekuasaan oleh pihak tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana jika kemudian pihak-pihak yang berkuasa secara ekonomi dan politik justru memiliki media, bahkan memiliki beberapa media sekaligus, dari cetak hingga portal berita di Internet.

Konglomerasi media atau pemusatan kepemilikan media akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari banyak pihak di negeri ini. Setelah rezim Orde Baru tumbang, banyak bermunculan media massa di Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Namun, dari sekian banyak media yang ada, ternyata hanya 12 grup media besar yang muncul.

Dari 12 grup perusahaan media massa itu, 10 grup memiliki televisi. Bahkan ada sebuah grup perusahaan yang memiliki 20 kanal televisi, seperti Grup MNC dan Jawa Pos. Sebanyak enam grup perusahaan media memiliki radio. Sebanyak sembilan grup memiliki koran atau majalah cetak, dan delapan grup memiliki media online.

Kepemilikan banyak media di satu grup bukan hanya mendatangkan keuntungan finansial, tapi juga berpotensi mendominasi opini publik. Meningkatnya pengguna Internet, baik blog maupun pengguna media sosial lainnya (Facebook dan Twitter), yang diharapkan mampu melawan dominasi opini publik dari media arus utama (mainstream), pun tampak kedodoran. Bahkan para pengguna Internet itu cenderung mengekor opini publik bentukan media mainstream yang telah dimiliki oleh segelintir orang kaya di Indonesia tersebut.

Sementara pada era Orde Baru kepemilikan media didominasi oleh pemerintah otoriter untuk membungkam kritik warganya, di era reformasi kepemilikan media berpusat pada segelintir pengusaha kaya di Indonesia. Lantas apa tujuan para pengusaha kaya itu melakukan kontrol terhadap media? Sekadar mencari keuntungan finansial atau ada tujuan lainnya?

Untuk menjawabnya, mari kita lihat 12 grup perusahaan besar yang menguasai media di Indonesia itu. Ternyata ke-12 grup besar perusahaan media massa itu memiliki bisnis lain di luar media massa. Sebagian besar bisnis mereka di luar media massa rentan terhadap konflik dengan warga masyarakat. Selain itu, sebagian kelangsungan bisnis mereka di luar media massa juga mempersyaratkan sebuah perubahan kebijakan di sektor yang vital dan menguasai hajat hidup orang banyak. Bisnis mereka rata-rata di seputar pertambangan, perkebunan skala besar, pembangkit listrik, pendidikan, dan rumah sakit.

Dari sini pertanyaan berlanjut, apakah kepemilikan media oleh para pengusaha itu terkait dengan upaya perlindungan bisnis besarnya, yang sejatinya berada di luar bisnis media massa.

Untuk menelisiknya, marilah kita melihat pendapat Associate Professor dari Northeastern University, Jeffrey A. Winters, tentang politik oligarki. Menurut Winters, oligarki terkait dengan politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan. Orang-orang kaya itu terlibat dalam mempengaruhi kebijakan, termasuk dalam hal ini tentunya membangun opini publik, untuk mempertahankan kekayaannya dari "gangguan" masyarakat dan negara.

Selanjutnya, ada baiknya pula kita melihat sebentar sejarah politik oligarki di negeri ini. Pada saat Orde Baru berkuasa, politik oligarki alias pertahanan kekayaan para pengusaha dijamin oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru menggunakan kekuatan represif untuk memukul gerakan masyarakat bawah yang hak-haknya dilanggar oleh operasi bisnis pengusaha. Setiap ada masyarakat yang mencoba melakukan perlawanan, segera dihadapi dengan cara-cara kekerasan, baik fisik maupun psikologis.

Sementara itu, di sisi lain, pemerintah Orde Baru juga menjamin tidak akan melakukan distribusi kekayaan secara radikal terhadap kekayaan milik para pengusaha Indonesia itu. Singkat kata, para pengusaha lebih aman dan nyaman berada di dekat pusat kekuasaan Orde Baru, karena hal itu berarti jaminan keamanan bagi kekayaannya.

Setelah Orde Baru jatuh, para pengusaha kaya Indonesia terpaksa melindungi dirinya sendiri dari gangguan yang berasal dari bawah ataupun atas (negara) terhadap kekayaannya. Mereka harus ikut mempengaruhi kebijakan negara. Dan media massa adalah salah satu wahana untuk membangun opini publik sehingga berdampak pada perubahan kebijakan publik. Sinyalemen adanya praktek politik oligarki dalam konglomerasi media bertambah kuat ketika beberapa pemilik media ternyata juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.

Jika demikian, pertanyaan berikutnya adalah apa yang bisa kita lakukan agar media massa tidak terjerumus terlalu dalam ke permainan politik oligarki. Pertama, sebagai konsumen media, kita perlu menyadari konglomerasi media di Indonesia adalah persoalan ekonomi-politik. Terkait dengan hal itulah, kita perlu kritis terhadap semua pemberitaan dari media konglomerasi, terlebih jika grup perusahaan dari media konglomerasi itu memiliki bisnis lain di luar media.

Kedua, sebagai masyarakat kita memiliki hak atas informasi yang benar. Kita harus mendesak lembaga-lembaga publik semacam Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk lebih kritis mengawasi pemberitaan media massa agar tidak bias kepentingan pemilik media. Atau kita dapat secara individual atau berkelompok membangun semacam media watch bagi pemberitaan media-media konglomerasi tersebut.

Ketiga, sebagai warga negara yang memiliki hak politik, kita bisa ikut berpartisipasi untuk mendesak pemerintah agar membuat kebijakan yang melarang dengan tegas kepemilikan silang media massa. Kini peluang itu terbuka karena saat ini sedang dibahas revisi Undang-Undang Penyiaran dan juga pembahasan Rancangan Undang-Undang Konvergensi Telematika.

Sebagai warga negara, kita perlu mempertahankan agar media massa kita tetap menjadi pilar ketiga demokrasi. Kita tentu tidak ingin media massa kita berubah menjadi pilar ketiga politik oligarki. Kita perlu menyelamatkan media massa kita dari politik oligarki yang dikendalikan oleh segelintir orang superkaya di negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar