Rabu, 21 Maret 2012

Benang Kusut Pendidikan


Benang Kusut Pendidikan
Edi Sugianto, MAHASISWA FAI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
SUMBER : REPUBIKA, 21 Maret 2012



“UN sejatinya ibarat jangkar kapal untuk bersandar yang diempaskan ke laut dan akhirnya kapal tidak bisa maju kecuali hanya bergoyang di tempat.”

Pendidikan merupakan suatu proses yang senantiasa dilakukan dengan penuh kesadaran. Di dalamnya terdapat interaksi dan transmisi ilmu pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai yang menuntut reformasi watak dari individu-individu hingga memiliki integritas. Oleh karena itu, jika makna pendidikan adalah proses maka jangan pernah kita terburu-buru untuk mencapai sebuah kata akhir.

John Dewey, misalnya, berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan kecakapan yang fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Hal itu sejalan dengan tujuan filosofis pendidikan kita. Selama ini, pendidikan di maknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan po tensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).

Namun, rupanya di negeri kita, pendidikan sebagai suatu proses belum sepenuhnya disadari sampai saat ini. Nyatanya, para pendidik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan lebih senang memburu hasil ketimbang proses. Akibatnya, tujuan filosofis pendidikan hanyalah suatu jargon fatamorgana. Pendidikan tidak mampu menetaskan manusia-manusia yang berintegritas tinggi serta mampu mengawinkan kecerdasan otak dan kecerdasan hati.

Belenggu UN

Ahmad Baidowi (2011), dalam tulisannya “Never Ending Process“, menegaskan bahwa sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera dalam tujuan tersebut di atas diselesaikan hanya oleh sebuah mata rantai bernama ujian nasional (UN). Menurutnya, ujian semacam UN sejatinya ibarat jangkar kapal untuk bersandar yang diempaskan ke laut dan akhirnya kapal tidak bisa maju kecuali hanya bergoyang di tempat.

Padahal, jika jangkar dilepas dan mesin pun dihidupkan maka kapal dan orang yang ada di dalamnya akan tersa dar betapa luasnya laut biru dengan dentuman ombaknya yang selalu meng uji perjalanan. Dengan menikmati hal itu maka sebenarnya sebuah proses alamiah itu hadir. Begitulah makna sejati pendidikan sebagai suatu proses.

Dalam hal UN, hemat saya, sebenar nya sudah pernah lahir regulasi yang cukup bijak. Misalnya, keputusan MA No 2596 K/PDT/2008 mengenai penangguhan penyelenggaraan UN pada tahuntahun berikutnya. Namun, hal itu jelas-jelas sudah diabaikan pemerintah kita. Padaha, penangguhan tersebut se benarnya sangat sederhana, yakni stakeholder pendidikan menginginkan agar pemerintah tidak memiliki paradigma kerdil tentang pendidikan.

Hamid Hasan (2012) berpendapat bahwa pemerintah tidak semestinya serta-merta menyelenggarakan ujian nasional sebagai penentu kelulusan anak. Padahal, delapan standar nasional pendidikan belum sepenuhnya dipenuhi.
Kualitas guru yang masih rendah, sarana dan prasarana sekolah pun kian memprihatinkan. Namun, UN hingga saat ini masih diselenggarakan.

Krisis Keteladanan

Operator dan regulator pendidikan bangsa kita dewasa ini terkesan sekadar disibukkan dengan persoalan-persoalan formatif belaka. Sertifikasi, misalnya, sudah menjadi wadah ritual guru saat ini. Anehnya, sudah begitu banyak guru yang bersertifikasi, namun citra pendidikan kian terpuruk.

Mengapa demikian? Sebab, paradigma dan kebijakan yang dijalankan tidak dikaji secara radikal, holistik, dan filosofis. Dan, tak heran hasil bahkan prosesnya juga akan semrawut. Seperti juga yang dirasakan dalam UN dengan berbagai kecurangan dan contekan massalnya. Semua itu, lahir dari paradigma yang kerdil.

Membahasakan nilai-nilai pendidik an di negeri kita akan semakin mengiris hati. Moral sudah semakin dilupakan sebab budaya keteladanan dan malu sudah disimpan rapat-rapat di museum peradaban. Transformasi nilai akan berhasil dilakukan jika di dalamnya terbentuk tradisi/budaya, watak atau karakter yang melekat kuat dalam jiwa pendidik dan anak didik. Tradisi itu akan muncul secara spontan kapan dan di mana pun mereka berada. Oleh karena itu, pendidikan karakter suatu keniscayaan dalam pendidikan (Idris Jauhari: 2008).

Guru dalam pendidikan karakter tak sekadar memberi pemahaman tentang kebaikan dan kebenaran di atas kertas. Dia harus melakukan apa yang dikatakan tentang kebaikan itu sehingga dalam jiwa siswa terhunjam keyakinan dan kesadaran untuk melakukan kebaikan.

Memang ironis, pendidikan kita dewasa ini disadari atau tidak semakin tunakebudayaan dan nilai. Hal tersebut tidak diragukan merupakan akibat dari lunturnya keteladanan pribadi guru yang seharusnya digugu dan ditiru, justru sebaliknya, ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.

Kebudayaan dan pendidikan tak ubahnya dua mata uang logam yang tak mungkin terpisahkan satu sama lain sebab kebudayaan menjadi roh pendidikan itu sendiri. Hal itu mengingat pendidikan mengandung makna lebih mendalam daripada sekadar pengajaran.
Pendidikan lebih kepada proses pewarisan, internalisasi, dan transmisi nilai-nilai yang berdampak pada reformasi (perubahan) dan pencerahan watak, karakter manusia, hingga memiliki integritas. Akhirnya, jika pendidikan ingin mengubah citranya sebagai wadah yang membebaskan dan mencetak jiwa-jiwa yang penuh dengan kesadaran dan berintegritas tinggi, reformasi paradigma dan sistem/kebijakan pendidikan merupakan suatu keniscayaan.●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar