Kenaikan
Harga BBM
dan
Jalan Sistematis Miskinkan Petani
Achmad Ya’kub, KETUA
DEPT. KAJIAN STRATEGI NASIONAL SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI)
SUMBER : SINAR HARAPAN, 13 Maret 2012
Rencana kenaikan harga BBM kembali digulirkan
pemerintah tahun ini, setelah empat tahun lalu pemerintah menaikkan harga BBM.
Jika kita hitung-hitung akumulasi kenaikan
harga BBM selama periode kepemimpinan SBY telah mencapai 200 persen, kenaikan
yang sangat fantastis. Tidak bisa dibayangkan betapa makin berat beban
masyarakat jika awal April ini harga BBM kembali dinaikkan.
Alasan yang mengada-ada dari pemerintah,
misalnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bahwa ini merupakan
langkah menuju Indonesia bebas subsidi BBM pada 2014, dengan alasan bahwa
dengan harga mahal maka orang akan “terpaksa” menghemat BBM (www.bphmigas.go.id).
Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan berani
mengatakan bahwa kenaikan harga BBM ini tidak akan merugikan masyarakat, bahkan
subsidi yang diberikan untuk BBM ini bisa dialihkan untuk kepentingan
masyarakat tidak mampu. Namun, apakah memang benar demikian?
Penghapusan subsidi BBM ini sejalan dengan
kepentingan modal internasional dalam mendorong agenda liberalisasi sektor
energi di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan untuk mendominasi sektor energi
nasional dari hulu ke hilir.
Dalam rangka itu, sudah sejak jauh-jauh hari
pula, melalui penerbitan UU No 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, pemerintah
berupaya agar harga BBM secara legal diserahkan ke mekanisme pasar. Artinya
kebijakan menaikkan harga BBM bukan sekadar merespons situasi ekonomi global.
Namun, tidak lepas dari sistem ekonomi
neoliberal di mana di seluruh sendi kehidupan masyarakat akan diliberalisasi
dan diprivatisasi untuk memenuhi kebutuhan mekanisme pasar. Walau akhirnya
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kebijakan di atas bertentangan dengan
Konstitusi UUD 1945, namun dalam praktiknya pemerintah tidak melaksanakan
keputusan MK ini.
Alasan pengguna BBM adalah orang kaya
terbalik dalam logika data dari Susenas BPS yang menunjukkan bahwa 65 persen
bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah
(pengeluaran per kapita < US$ 4).
Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi
oleh kelompok miskin (pengeluaran per kapita < US$ 2). Sementara itu,
kelompok rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan
pengeluaran US$ 40 ke atas hanya mengonsumsi 8 persen dari seluruh bensin.
Dampak Langsung
Bagi petani, kenaikan harga BBM artinya juga
kenaikan biaya produksi. Bagi petani kecil
atau buruh tani setidaknya biaya
produksi selain benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor
dan pompa air, demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan
padi dan ongkos angkut atau transportasi.
Misalnya, sebuah traktor tangan berkekuatan
8.5 PK membutuhkan solar ±18 liter/ha sekitar Rp 81.000 untuk pengolahan lahan
sampai siap tanam yang memerlukan waktu ± 18 jam. Saat ini rata-rata sewa
traktor antara Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hektare. Belum lagi bagi petani
penyewa bisa dipastikan sewa tanah akan naik.
Pengalaman di tahun 2008, sewa tanah di
Cirebon Jawa Barat naik 100 persen, yaitu dari Rp 5 juta/ha/tahun menjadi Rp 10
juta/ha/tahun. Artinya semua kenaikan ini akan dibebankan kepada petani,
seperti yang sudah terjadi sebelumnya di tahun 2008.
Dampak rencana kenaikan harga BBM saat ini
sudah dirasakan di beberapa daerah. Di Ponorogo bahkan petani yang ingin
membeli solar dalam jumlah yang cukup besar tersebut untuk traktor dan perontok
padinya harus mendapatkan surat izin dari kepala desa.
Hal ini karena dikhawatirkan petani akan
menimbun bahan bakar menjelang kenaikan ini, mengingat solar dan BBM lainnya
mulai sulit didapat seperti yang diungkapkan Ruslan, Ketua DPW SPI Jawa Timur.
Di tengah situasi saat ini sudah sepatutnya
secara luas rakyat menolak kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan
liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan korporatisasi sektor energi di
Indonesia.
Oleh karena itu, perlunya ada kebijakan
keadilan dan penghematan energi dengan pajak tinggi bagi kalangan yang
menggunakan energi yang besar, serta memaksimalkan teknologi energi yang
merakyat, murah dan massal seperti tenaga air, angin, matahari, gelombang laut
dan biogas.
Dengan juga kebijakan pertanian haruslah
didorong dengan model pertanian keluarga yang berkelanjutan. Pedesaan adalah
sumber penghasil energi, yang kemudian sejak revolusi hijau justru menjadi
konsumen energi.
Dengan pertanian berkelanjutan penggunaan
energi sangat sedikit dibandingkan dengan pertanian berbasis korporasi seperti
yang sedang didorong oleh pemerintah saat ini. Selain itu, distribusi hasil
pertanian dan pangan, sebesar-besarnya bagi konsumsi nasional, selain
mengurangi pemakaian energi juga sebagai langkah melawan kelaparan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar