Sabtu, 10 Maret 2012

Jebakan Demokrasi


Jebakan Demokrasi
Azyumardi Azra, GURU BESAR SEJARAH; DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN JAKARTA; ANGGOTA DEWAN PENASIHAT INTERNATIONAL INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND ELECTORAL ASSISTANCE, STOCKHOLM
SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012



Transisi Musim Semi Arab menuju demokrasi di Timteng jauh dari selesai. Sebaliknya, bakal berlangsung lama dan pedih.

Masa depan transisi pun jauh dari selesai di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Lebih tak pasti lagi di Suriah yang terus bergejolak dengan terus bertambahnya korban tewas di kalangan warga sipil. Asumsi tak menyenangkan ini kian menguat setelah saya, awal Maret 2012, menghadiri konferensi tentang Musim Semi Arab yang diselenggarakan Menteri Luar Negeri Jepang.

Berbicara dalam berbagai konferensi tentang Musim Semi Arab, sejak April tahun lalu—mulai dari Stockholm, Amman, Kota Meksiko, Den Haag, Madrid, hingga Tokyo—yang sering juga melibatkan kalangan pemimpin, politisi, dan akademisi dari Mesir, Libya, Tunisia, dan Jordania, saya juga sekaligus menyimak kerumitan dan komplikasi politik, sosial, dan budaya transisi menuju demokrasi di Dunia Arab.

Meski pemilu parlemen telah berlangsung di Tunisia dan Mesir pasca-era otoritarianisme, pergumulan politik ke depan masih tetap intens. Pemilu legislatif di Tunisia, 23 Oktober 2011, dan di Mesir, 28 November 2011 sampai 11 Januari 2012, gagal menghasilkan pemenang absolut dari partai Islam moderat. Partai moderat Islam Al-Nahda di Tunisia menang dengan 37,04 persen suara serta Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wa al-’Adalah) yang dibentuk al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir memperoleh 37,5 persen total suara.

Keduanya mendapat tantangan dari partai sekuler-liberal, semacam Partai Kongres untuk Republik (8,47 persen), Partai Forum Demokratis untuk Buruh dan Kebebasan (7,03 persen) di Tunisia; serta Partai Al-Wafd (9,2 persen) dan koalisi partai Sosial-Liberal (8,9 persen) di Mesir. Tantangan juga datang dari partai ”Islamis” Salafi, seperti Partai Al-Aridha (6,74 persen) di Tunisia dan Partai Al-Nour (27,8 persen) di Mesir.

Partai ”Islamis”

Hasil pemilu parlemen di Tunisia dan Mesir memperlihatkan, seperti sudah diprediksi banyak kalangan, partai-partai berbasis Islam secara kumulatif memenangi kontestasi suara. Kenapa partai-partai berbasis Islam bisa menang? Ini terkait banyak dengan kegagalan rezim otoriter, yaitu Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir, dalam modernisasi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Represi rezim-rezim terhadap gerakan Islam sepanjang masa kekuasaan mereka hanya menambah insentif ekstra bagi banyak kalangan warga untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya alternatif ideologi pengganti.

Para pengamat Barat umumnya memasukkan partai Islam di Tunisia, Mesir, dan negara-negara Arab lain ke dalam satu kotak tunggal ”Islamis”. Persepsi ini dapat menyesatkan karena kekuatan politik Islam di Dunia Arab dan juga di negara-negara mayoritas Muslim lain—termasuk Indonesia—terpecah ke dalam berbagai partai yang sangat tidak mudah bersatu. Terdapat perbedaan-perbedaan ideologis dan metodologis di antara partai-partai Islam tersebut dalam usaha mewujudkan agenda dan program politik masing-masing.

Untuk mengambil Mesir sebagai kasus, meski sama-sama berorientasi Islam, Partai Kebebasan dan Keadilan tidak selalu mudah sepaham dengan Partai Al-Nour. Kedua partai ini pernah menjalin koalisi pada Juni 2011 dan segera ”bercerai” pada September 2011. Partai Kebebasan dan Keadilan yang berusaha tampil inklusif dengan menyertakan tokoh Protestan dalam kepemimpinan puncaknya dipandang Partai Al-Nour sebagai terlalu kompromistis dan akomodatif; tidak tegas dan lugas dalam memperjuangkan Islam.

Meski demikian, bukan tidak mungkin partai Islam moderat dengan Salafi menjalin kesepakatan tertentu untuk mencapai agenda tertentu, khususnya penerapan syariah Islam oleh negara. Sikap moderat Partai Al-Nahda di Tunisia atau Partai Kebebasan dan Keadilan sangat boleh jadi bersifat sementara—untuk kepentingan taktis. Ketika perbedaan dan tekanan partai-partai sekuler-liberal meningkat, partai-partai berorientasi Islam kelihatan cenderung mengesampingkan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Jebakan Demokrasi

Kemenangan partai-partai Islam moderat dan Salafi menunjukkan kebenaran teori ”jebakan demokrasi” yang sering dikontekskan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Inti teori ini adalah penerapan sistem politik demokrasi di negara-negara Muslim hanya memberikan peluang bagi partai-partai Islam (moderat dan Salafi) untuk merebut kekuasaan melalui pemilu demokratis. Dalam kerangka demokrasi, dengan memenangi pemilu—seperti terlihat di Tunisia dan Mesir—partai-partai Islam dapat menerapkan agenda dan program ideologis mereka sendiri, khususnya adopsi pemberlakuan syariah dalam dustur (konstitusi).

Kelompok minoritas, khususnya Gereja Koptik Orthodok Alexandria, Gereja Orthodoks Timur, dan beberapa denominasi Protestan yang 10 sampai 15 persen dari jumlah total penduduk Mesir—sekitar 80 juta orang—agaknya tidak bisa lain kecuali menyerah pada mayoritas anggota parlemen yang berasal dari partai-partai Islam.

Tendensi ini terlihat terus menguat dalam wacana politik di Mesir pasca-pemilu. Partai Salafi al-Nour yang pernah berulang kali menolak demokrasi akhirnya turut serta dalam pemilu kompetitif dan menggunakan demokrasi untuk turut berkuasa.

Menjadi kekuatan politik kedua terbesar di parlemen setelah Partai Kebebasan dan Keadilan, Partai Al-Nour segera mengampanyekan adopsi syariah dalam rancangan konstitusi dan seluruh legislasi Mesir. Meski pendukung penerapan syariah ini adalah Partai Salafi al-Nour, banyak kalangan percaya kebanyakan—jika tidak semua—anggota Partai Kebebasan dan Keadilan juga mendukung agenda ini.

Saya yang sering diminta memberikan perspektif perbandingan berargumen bahwa teori ”jebakan demokrasi” tidak berlaku di Indonesia. Setelah tiga kali pemilu sejak masa pasca-Soeharto (1999, 2004, dan 2009), partai-partai Islam gagal secara kombinasi sekalipun mendapatkan suara yang memungkinkan untuk memasukkan penerapan syariah ke dalam UUD 1945.

Sebaliknya, pemenang pemilu adalah partai-partai tak berbasis Islam, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. Sosiologi politik masyarakat Indonesia tidak mendukung ke arah terjerembabnya Indonesia ke dalam ”jebakan demokrasi”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar