Antara
BBM dan BLT?
Dinna
Wisnu,
DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG
DIPLOMASI, UNIVERSITAS PARAMADINA
SUMBER : SINDO, 21 Maret 2012
”Harus
punya hatilah, punya empati, jangan segala hal dipolitikkan. Tidak baik. Rakyat
akan terhina kalau dilihat kaca mata politik,rakyat harus dibantu. Kita jangan
menina-bobokan mereka lagi yang tidak tepat menerima subsidi,” ujar Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembekalan petinggi Partai Demokrat di Cikeas
pada 18 Maret 2012.
Itulah
respons beliau menanggapi kritik atas kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT)
yang dikucurkan untuk mengimbangi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi. Berulangkalisaya renungkan pernyataan Presiden SBY tadi dan
dua hal muncul.
Pertama, suka tidak suka, setiap tahun pikiran kita masih dibebani dengan dilema antara menaikkan atau tidak harga BBM bersubsidi. Sesudah itu, pemerintah meminta kita berpikir tentang apakah insentif atas kenaikan harga bensin premium tadi terhitung sebanding dengan nilai subsidi yang dicabut. Mengapa rakyat diminta berhitung dan merasa bersalah jika tidak berkorban dengan bersedia membayar lebih ongkos transpor sehari-harinya?
Kedua,kerangka bicara Presiden SBY menyiratkan subsidi adalah kewajaran.Hanya saja kemudian beliau protes karena ada ketidaksepakatan cara pandang tentang siapa yang perlu disubsidi pada suatu masa dan apa bentuk subsidinya. Apakah dilema yang disampaikan Presiden ini tulus atau pencitraan belaka? Saya mendengar sendiri dari sejumlah perwakilan negara sahabat bahwa urusan kenaikan harga BBM bersubsidi ini sebenarnya tidak perlu dan melelahkan.
Di negara lain, urusan itu cuma urusan kecil di dapur pemerintah. Mengapa? Siapa pun tahu, harga minyak bumi memang tidak stabil. Lantaran merupakan barang langka dan ratarata negara masih mengandalkan minyak bumi sebagai pembangkit energi dan bahan bakar, kecenderungan harga minyak bumi tidak akan turun. Itu sebabnya negara lain sudah repot-repot berinvestasi dan saling sikut untuk memenangi tender pengeboran minyak di segenap pelosok bumi.
Hungaria, negara kecil di Eropa Timur itu, sekarang sedang gencar mengampanyekan perlunya berhemat sumber daya alam, termasuk minyak bumi. Hungaria merasa perlu berbagi pengalaman pahit hidup sebagai negara yang royal dengan sumber daya alamnya dan sekarang cuma bisa menjadi negara transit yang mengalami ketergantungan politik kepada negaranegara pemasok energinya. Jadi,sedih rasanya bila mendengar setiap tahun pembicaraan kita tidak pernah beranjak dari hal yang itu-itu saja.
Kalau kenaikan harga BBM bersubsidi ini dikaitkan dengan nasib rakyat penerima BLT, maka Presiden SBY salah kaprah.Yang berteriak bukan cuma rakyat miskin yang nantinya bisa menikmati BLT sebagai kompensasi, tapi juga mereka yang bekerja dan para pengatur rumah tangga.Yang mengalami tekanan akibat kenaikan harga BBM termasuk juga penduduk berpenghasilan di atas garis kemiskinan,termasuk mereka yang punya kendaraan pribadi dan punya rumah, tetapi tidak bisa dikatakan hidup mewah.
Artinya, jika yang disoroti adalah aspek siapa yang berhak menerima subsidi, yang muncul justru resistensi.Apalagi subsidi di mana pun dan kapan pun selalu memunculkan kontroversi.Bukan karena penduduk tidak punya empati atau jahat,tetapi justru karena orang melihat ada masalah lain yang lebih besar sehingga muncul kebutuhan untuk memberi subsidi.
Problem subsidi dan kenaikan harga BBM ini sangat erat kaitannya dengan ketahanan energi dan posisi diplomasi suatu negara terhadap negara-negara lain, khususnya yang punya pasokan energi besar atau yang gerak-geriknya ikut memengaruhi harga minyak dunia. Apakah pekerjaan rumah menjamin ketahanan energi ini sudah dikerjakan secara serius di Indonesia? Apakah diplomasi Indonesia menunjang upaya itu? Dari segi diplomasi ke negara- negara penghasil minyak bumi, misalnya.
Indonesia tergolong masih mudah terombang- ambing di antara tekanan politik negara yang saling berseteru.Ketika AS bersitegang dengan Iran, justru yang dipertentangkan adalah soal benar tidaknya Iran dalam kepemilikan senjata nuklir. Kepentingan Indonesia untuk membentuk wacana damai agar hargaminyak bumi terjaga baru sebatas sepucuk surat dari Presiden SBY kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Tidak ada pendekatan khusus kepada Iran ataupun AS atas kepentingan Indonesia tersebut. Ketika AS menekan Irak dan terang-terangan meraup keuntungan dari penguasaan atas ladang-ladang minyak di sana, Indonesia memilih pasif. Terhadap AS pun Indonesia tidak memberi perhatian khusus pada dialog untuk meminimalkan tekanan harga minyak bumi akibat invasi AS ke Irak.
Solusi dicari di dalam negeri saja dengan bersitegang dengan parlemen dan rakyat. Mengenai pembangunan sumber energi terbarukan,ada banyak tawaran kerja sama yang masuk dari Eropa seperti Spanyol dan Amerika Latin seperti Brasil yang sudah lebih terdepan dalam hal pengembangan alat-alat pendukung energi terbarukan.Namun tawaran kerja sama itu terbentur keterbatasan dana dan komitmen politik Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pengusaha dan warga Indonesia yang ingin mengembangkan tawaran kerja sama itu.
Para pengusaha di bidang itu mengaku kesulitan menekan biaya siluman yang muncul akibat ketidakselarasan aturan antara pemerintah pusat dan daerah. China sangat aktif mengeksplorasi ladang-ladang minyak di seluruh dunia agar punya konsesi baru. Tapi China berkomitmen tinggi untuk mengembangkan energi terbarukan.
Tahun 2011, China mencanangkan tak kurang dari USD1,54 triliun dalam kurun waktu 15 tahun ke depan untuk proyek energi terbarukan dalam bentuk investasi pemerintah untuk kendaraan, lembaga keuangan,serta kebijakan keuangan dan pajak. Ada sejumlah BUMN China yang melakukan investasi besarbesaran untuk mengonservasi energi,menekan polusi,dan mengembangkan proyek-proyek swasta baru.
Angka ini lebih dari 100 kali lipat penghematan BBM di Indonesia! Jadi, keluhan pemerintah dan nantinya DPR atas kenaikan harga bensin premium hendaknya tidak menyita perhatian secara berlebihan.Ada pekerjaan rumah lebih besar, yakni pembenahan ketahanan energi melalui diplomasi yang lebih proaktif,berani, dan tanggap terhadap tawaran dan perkembangan di sekeliling.
Selayaknya kita bertanya,mengapa dana hasil berhemat subsidi tadi tidak diarahkan ke proyek konkret yang membuat harga bahan bakar lebih terjangkau? ●
Pertama, suka tidak suka, setiap tahun pikiran kita masih dibebani dengan dilema antara menaikkan atau tidak harga BBM bersubsidi. Sesudah itu, pemerintah meminta kita berpikir tentang apakah insentif atas kenaikan harga bensin premium tadi terhitung sebanding dengan nilai subsidi yang dicabut. Mengapa rakyat diminta berhitung dan merasa bersalah jika tidak berkorban dengan bersedia membayar lebih ongkos transpor sehari-harinya?
Kedua,kerangka bicara Presiden SBY menyiratkan subsidi adalah kewajaran.Hanya saja kemudian beliau protes karena ada ketidaksepakatan cara pandang tentang siapa yang perlu disubsidi pada suatu masa dan apa bentuk subsidinya. Apakah dilema yang disampaikan Presiden ini tulus atau pencitraan belaka? Saya mendengar sendiri dari sejumlah perwakilan negara sahabat bahwa urusan kenaikan harga BBM bersubsidi ini sebenarnya tidak perlu dan melelahkan.
Di negara lain, urusan itu cuma urusan kecil di dapur pemerintah. Mengapa? Siapa pun tahu, harga minyak bumi memang tidak stabil. Lantaran merupakan barang langka dan ratarata negara masih mengandalkan minyak bumi sebagai pembangkit energi dan bahan bakar, kecenderungan harga minyak bumi tidak akan turun. Itu sebabnya negara lain sudah repot-repot berinvestasi dan saling sikut untuk memenangi tender pengeboran minyak di segenap pelosok bumi.
Hungaria, negara kecil di Eropa Timur itu, sekarang sedang gencar mengampanyekan perlunya berhemat sumber daya alam, termasuk minyak bumi. Hungaria merasa perlu berbagi pengalaman pahit hidup sebagai negara yang royal dengan sumber daya alamnya dan sekarang cuma bisa menjadi negara transit yang mengalami ketergantungan politik kepada negaranegara pemasok energinya. Jadi,sedih rasanya bila mendengar setiap tahun pembicaraan kita tidak pernah beranjak dari hal yang itu-itu saja.
Kalau kenaikan harga BBM bersubsidi ini dikaitkan dengan nasib rakyat penerima BLT, maka Presiden SBY salah kaprah.Yang berteriak bukan cuma rakyat miskin yang nantinya bisa menikmati BLT sebagai kompensasi, tapi juga mereka yang bekerja dan para pengatur rumah tangga.Yang mengalami tekanan akibat kenaikan harga BBM termasuk juga penduduk berpenghasilan di atas garis kemiskinan,termasuk mereka yang punya kendaraan pribadi dan punya rumah, tetapi tidak bisa dikatakan hidup mewah.
Artinya, jika yang disoroti adalah aspek siapa yang berhak menerima subsidi, yang muncul justru resistensi.Apalagi subsidi di mana pun dan kapan pun selalu memunculkan kontroversi.Bukan karena penduduk tidak punya empati atau jahat,tetapi justru karena orang melihat ada masalah lain yang lebih besar sehingga muncul kebutuhan untuk memberi subsidi.
Problem subsidi dan kenaikan harga BBM ini sangat erat kaitannya dengan ketahanan energi dan posisi diplomasi suatu negara terhadap negara-negara lain, khususnya yang punya pasokan energi besar atau yang gerak-geriknya ikut memengaruhi harga minyak dunia. Apakah pekerjaan rumah menjamin ketahanan energi ini sudah dikerjakan secara serius di Indonesia? Apakah diplomasi Indonesia menunjang upaya itu? Dari segi diplomasi ke negara- negara penghasil minyak bumi, misalnya.
Indonesia tergolong masih mudah terombang- ambing di antara tekanan politik negara yang saling berseteru.Ketika AS bersitegang dengan Iran, justru yang dipertentangkan adalah soal benar tidaknya Iran dalam kepemilikan senjata nuklir. Kepentingan Indonesia untuk membentuk wacana damai agar hargaminyak bumi terjaga baru sebatas sepucuk surat dari Presiden SBY kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Tidak ada pendekatan khusus kepada Iran ataupun AS atas kepentingan Indonesia tersebut. Ketika AS menekan Irak dan terang-terangan meraup keuntungan dari penguasaan atas ladang-ladang minyak di sana, Indonesia memilih pasif. Terhadap AS pun Indonesia tidak memberi perhatian khusus pada dialog untuk meminimalkan tekanan harga minyak bumi akibat invasi AS ke Irak.
Solusi dicari di dalam negeri saja dengan bersitegang dengan parlemen dan rakyat. Mengenai pembangunan sumber energi terbarukan,ada banyak tawaran kerja sama yang masuk dari Eropa seperti Spanyol dan Amerika Latin seperti Brasil yang sudah lebih terdepan dalam hal pengembangan alat-alat pendukung energi terbarukan.Namun tawaran kerja sama itu terbentur keterbatasan dana dan komitmen politik Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi pengusaha dan warga Indonesia yang ingin mengembangkan tawaran kerja sama itu.
Para pengusaha di bidang itu mengaku kesulitan menekan biaya siluman yang muncul akibat ketidakselarasan aturan antara pemerintah pusat dan daerah. China sangat aktif mengeksplorasi ladang-ladang minyak di seluruh dunia agar punya konsesi baru. Tapi China berkomitmen tinggi untuk mengembangkan energi terbarukan.
Tahun 2011, China mencanangkan tak kurang dari USD1,54 triliun dalam kurun waktu 15 tahun ke depan untuk proyek energi terbarukan dalam bentuk investasi pemerintah untuk kendaraan, lembaga keuangan,serta kebijakan keuangan dan pajak. Ada sejumlah BUMN China yang melakukan investasi besarbesaran untuk mengonservasi energi,menekan polusi,dan mengembangkan proyek-proyek swasta baru.
Angka ini lebih dari 100 kali lipat penghematan BBM di Indonesia! Jadi, keluhan pemerintah dan nantinya DPR atas kenaikan harga bensin premium hendaknya tidak menyita perhatian secara berlebihan.Ada pekerjaan rumah lebih besar, yakni pembenahan ketahanan energi melalui diplomasi yang lebih proaktif,berani, dan tanggap terhadap tawaran dan perkembangan di sekeliling.
Selayaknya kita bertanya,mengapa dana hasil berhemat subsidi tadi tidak diarahkan ke proyek konkret yang membuat harga bahan bakar lebih terjangkau? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar