Jumat, 02 Maret 2012

Kekerasan Bersimbol Agama


Kekerasan Bersimbol Agama
Benny Susetyo, ROHANIWAN
Sumber : SUARA KARYA, 2 Maret 2012



Akhir-akhir ini, kekerasan yang menggunakan label agama marak mewarnai perjalanan negeri ini. Kekerasan dengan alasan menjaga kemurnian agama dari apa yang disebut sebagai penodaan justru kerapkali mengundang tindak kekerasan.

Ada masalah serius dalam diri bangsa ini menyangkut maraknya aksi kekerasan bersimbol agama. Kita kehilangan kesadaran dan cita-cita hidup damai. Damai tentu bukan sekedar kata-kata saja. Damai adalah sebuah kondisi di mana masyarakat merasakan rasa aman, sejahtera dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kondisi inilah yang hilang saat ini terutama ketika masyarakat mengalami ketidakpastian atas segala hal.

Bangsa Indonesia sangat menghargai perbedaan dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Namun di lapangan, hal itu kerap hanyalah merupakan sebuah kebohongan. Begitu mudahnya anarkisme terhadap tempat suci ibadah agama tertentu. Akar masalah dari semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah awal mula dari sektarianisme. Kita tidak mengakui adanya sektarianisme di negeri Pancasila ini. Tetapi, kenyataan di lapangan, justru semangat sektarianisme dan kebencian itulah yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan. Apakah kekerasan itu merupakan wujud pendangkalan dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran agama? Disebut pendangkalan sebab tidak ada nilai agama mana pun yang mengajarkan kekerasan. Setiap agama mengajarkan hidup damai. Karena itu, ketika terdapat kenyataan penganut agama yang lebih menyukai cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah identitas keagamaannya, dapat dikatakan adanya suatu pendangkalan cara beragama.

Tanpa disadari, justru realitas ini menimbulkan potensi agama sebagai ruang yang mudah dimanipulasi demi kepentingan politik sesaat. Agama kerap digunakan sebagai instrumen untuk membakar emosi pemeluknya.

Banyak penyebab kekerasan di kalangan penganut agama, misalnya, manipulasi agama untuk tujuan politik atau tujuan lain, diskriminasi berlandaskan etnis atau agama, serta perpecahan dan ketegangan sosial.

Pelaku kekerasan adalah manusia-manusia yang dicirikan oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan dalam komunitasnya. Kekerasan terjadi karena krisis makna dalam diri manusia. Lalu ketika merasa diri mereka tak bermakna, ego mereka pun mengecil dan panik. Di situlah tindakan kekerasan potensial diledakkan.
Agama direduksi ke dalam pemaknaan yang amat sempit. Dalil agama seolah mengabsahkan perusakan dan pembunuhan, tanpa pernah mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama beragama adalah memperoleh kedamaian. Pemahaman agama secara miopik dan dangkal seperti ini disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia bahwa kebenaran agama tersimpan dalam perilaku di luar kemanusiaan.

Pemahaman agama yang terjerembab dalam lubang kegelapan seperti ini memiliki konsekuensi logis, yakni sulitnya orang keluar dari pemahaman radikal yang menganggap agama sebagai satu-satunya pembenaran untuk melakukan teror dan kekerasan. Mereka yang sudah berada di dalamnya sulit diajak berkomunikasi.

Cara berkehidupannya pun sangat eksklusif. Mereka seolah hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran toleransinya tertutup rapat oleh tebalnya 'keimanan' dan keyakinan paling benar sendiri di antara lainnya. Karena demikian, maka apa yang ada di dalam otak mereka adalah melakukan pembasmian pada orang-orang di luar yang tidak berpemahaman sama dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapatkan citra yang sangat buruk dan tidak manusiawi karena diperankan dalam ruang yang sangat eksklusif dan hanya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan umat manusia.

Cara berpikir sempit seperti ini memudahkan pemeluknya melakukan manipulasi, dan agama rentan disalahgunakan sebagai aspirasi kepentingan politik dan pribadi jangka pendek. Teks agama mudah disalahtafsirkan kepentingannya sendiri untuk memenuhi hasrat kekuasaan tertentu.

Dalam konteks seperti inilah Meyer menegaskan bahwa agama sangat mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik picik sempit atau hanya sekedar alat pembenaran kekerasan. Padahal, dalam hal kekerasan, tentu saja teks kitab suci harus dilihat sesuai konteksnya, khususnya di masa lampau. Tak disangkal bahwa dalam teks kitab suci sering ditemukan nilai 'kekerasan' dan seolah membenarkannya. Tapi, tanpa kacamata pandang progresif masa kini, nilai tersebut justru kontradiktif bila diterapkan begitu saja tanpa tidak diimbangi dengan penafsiran kebutuhan masa kini.

Penafsiran tekstualitas agama secara sempit cenderung melegalkan seolah kekerasan dibenarkan. Tetapi, tentu saja kita harus melihat konteks sosial budaya pada zaman lalu dalam konteks situasi politik, kebudayaan dan ekonomi. Keadaan masa lalu tentu amat berbeda dengan masa sekarang. Penafsiran teks kitab suci di masa kini justru membantu bagaimana cara beragama kita agar lebih rasional, toleran, peka, terbuka dan tidak membuat orang beriman menjadi picik dan mudah ditipu oleh alasan perjuangan keagamaan.

Dalam situasi itu dapat kita rasakan dewasa ini agama makin kehilangan wajah kemanusiaannya. Pada titik inilah kita sering kehabisan akal untuk memahami rasionalitas tindakan suci yang dijadikan pembenaran dari kekerasan dan pembantaian itu. Yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan secara mendasar agar umat beragama hidup rukun. Agar agama kembali menjadi inspirasi batin berkehidupan dan bukan merupakan aspirasi politik yang penuh aroma busuk kekuasaan.

Sebagai inspirasi batin, maka agama berusaha membebaskan manusia dari kuasa kegelapan yang destruktif, juga dari kejahatan atas nama kesucian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar