Jumat, 02 Maret 2012

Pajak UMKM, Haruskah?


Pajak UMKM, Haruskah?
Fahmy Radhi, DOSEN PASCASARJANA UGM DAN WAKIL KETUA ISEI YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 1 Maret 2012



Kengototan Dirjen Pajak Fuad Rahmany untuk memungut pajak peng hasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) dari usaha kecil semakin mengindikasikan ketidakberpihakan Pemerintahan SBY-Boediono terhadap pelaku usaha kecil. Pada akhir Februari 2012, pemerintah mulai memajaki usaha kecil dengan menurunkan ambang batas omzet yang tidak kena pajak dari Rp 600 juta menjadi Rp 300 juta per tahun. Omzet Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan PPh dan PPN sebesar dua persen. Omzet Rp 15,8 juta sampai Rp 300 juta per tahun dikenakan PPh 0,5 persen.

Kalau kebijakan ini dilaksanakan, hampir semua usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk warung tegal, pedagang pasar tradisional, dan pedagang kaki lima wajib membayar PPh dan PPN. Dirjen Pajak berdalih memajaki usaha kecil demi asas keadilan. Padahal, UU No 20/2008 mengamanahkan kepada pemerintah untuk mengembangkan UMKM agar terwujud struktur usaha yang adil dan berimbang.

Masih Timpang

Faktanya, hingga kini proporsi usaha UMKM dengan usaha besar (UB) masih sangat timpang. Data menunjukkan, proporsi UMKM 97,9 persen dan usaha besar 2,1 persen. Namun, kontribusi UB terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mencapai 60,3 persen, jauh lebih besar dibanding kontribusi UMKM terhadap PDB yang hanya 39,7 persen. Pengenaan pajak bagi usaha kecil akan semakin memperlebar ketimpangan antara UMKM dan UB dalam struktur perekonomian, yang merupakan pengingkaran pemerintah terhadap amanah UU No 20/2008.

Kebijakan memajaki usaha kecil semakin mencederai asas keadilan jika dikaitkan dengan kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam mengatasi dampak krisis ekonomi. Meskipun sumbangan UMKM terhadap PDB lebih kecil, tetapi kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja mencapai 94,77 persen, jauh lebih besar ketimbang peran kemampuan UB dalam menyerap tenaga kerja yang hanya 5,33 persen dari total tenaga kerja di Indonesia.

UMKM juga telah membuktikan kemampuannya menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. UMKM tidak hanya mampu bertahan di tengah terpaan badai krisis ekonomi, tetapi juga berperan secara signifikan sebagai sabuk pengaman untuk menampung tenaga kerja, limpahan PHK dari UB.
 
Berdasarkan peran UMKM tersebut, penggunaan alasan asas keadilan bukanlah justifikasi yang tepat untuk memajaki usaha kecil. Tanpa memajaki usaha kecil, pendapatan negara dari pajak akan berlimpah jika Ditjen Pajak punya komitmen mencegah terjadinya korupsi dan manipulasi pajak.

Kebijakan Blunder

Di tengah gempuran produk impor murah dari Cina, pengenaan pajak bagi usaha kecil menjadi disinsentif terhadap daya saing produk UMKM di pasar dalam negeri, apalagi di pasar ekspor. Bagaimana mungkin bisa bersaing, kalau UMKM masih harus menanggung biaya ekonomi tinggi dan tingkat suku bunga lebih tinggi dibanding pengusaha Cina, plus tidak ada insentif fiskal sama sekali?

Tidak mustahil, pengenaan pajak bagi usaha kecil akan menjadi pembunuhan massal terhadap UMKM. Sungguh sangat ironis seandainya terjadi pembunuhan terhadap UMKM, dan salah satu pelakunya adalah Ditjen Pajak. Kalau pembunuhan massal UMKM benar-benar terjadi, tidak bisa dihindari lagi pengangguran dan kemiskinan akan semakin menjadi `bahaya laten' bagi perekonomian Indonesia.

Selain itu, di tengah terkuaknya dugaan perampokan besar-besaran dana APBN yang dilakukan oleh persekongkolan bejat antara oknum birokrat, elite partai, dan anggota DPR, kebijakan memajaki usaha kecil justru menjadi kebijakan blunder. Betapa tidak, usaha kecil yang seharusnya dikembangkan sesuai dengan amanah konstitusi, malah diperas membayar pajak untuk membiayai APBN.

Ketimbang menerapkan ekstensifikasi pajak dengan menyasar usaha kecil, semestinya Ditjen Pajak lebih fokus pada intensifikasi pajak terhadap pengusaha kena pajak terdaftar yang selama ini tingkat kepatuhannya masih sangat rendah. Data Ditjen Pajak menunjukkan, dari sekitar 700 ribu pengusaha kena pajak terdaftar, baru 42 persen atau 290 ribu yang patuh melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPN.

Data itu menunjukkan, sesungguhnya masih besar potensi PPN yang bisa dipungut negara dari sekitar 410 ribu wajib pajak terdaftar yang selama ini tidak patuh membayar PPN. Semestinya, pemerintah lebih mengintensifkan memungut PPN dari wajib pajak terdaftar yang tidak patuh daripada mengejar usaha kecil untuk membayar PPN.

Selain dari pengusaha yang tidak patuh membayar PPN, sebenarnya masih ada potensi pajak yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah berasal dari sengketa pajak tak berkesudahan yang melibatkan sejumlah pengusaha besar, baik pengusaha nasional maupun pengusaha asing. Kalau Dirjen Pajak tetap saja ngotot memajaki usaha kecil, kebijakan ini jelas melanggar asas keadilan dan justru akan menjadi blunder bagi perekonomian.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar