Pajak
UMKM, Haruskah?
Fahmy Radhi, DOSEN
PASCASARJANA UGM DAN WAKIL KETUA ISEI YOGYAKARTA
Sumber
: REPUBLIKA, 1 Maret 2012
Kengototan
Dirjen Pajak Fuad Rahmany untuk memungut pajak peng hasilan (PPh) dan pajak
pertambahan nilai (PPN) dari usaha kecil semakin mengindikasikan
ketidakberpihakan Pemerintahan SBY-Boediono terhadap pelaku usaha kecil. Pada
akhir Februari 2012, pemerintah mulai memajaki usaha kecil dengan menurunkan
ambang batas omzet yang tidak kena pajak dari Rp 600 juta menjadi Rp 300 juta
per tahun. Omzet Rp 300 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun akan dikenakan PPh
dan PPN sebesar dua persen. Omzet Rp 15,8 juta sampai Rp 300 juta per tahun
dikenakan PPh 0,5 persen.
Kalau
kebijakan ini dilaksanakan, hampir semua usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM), termasuk warung tegal, pedagang pasar tradisional, dan pedagang kaki
lima wajib membayar PPh dan PPN. Dirjen Pajak berdalih memajaki usaha kecil
demi asas keadilan. Padahal, UU No 20/2008 mengamanahkan kepada pemerintah
untuk mengembangkan UMKM agar terwujud struktur usaha yang adil dan berimbang.
Masih Timpang
Faktanya,
hingga kini proporsi usaha UMKM dengan usaha besar (UB) masih sangat timpang.
Data menunjukkan, proporsi UMKM 97,9 persen dan usaha besar 2,1 persen. Namun,
kontribusi UB terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mencapai 60,3 persen,
jauh lebih besar dibanding kontribusi UMKM terhadap PDB yang hanya 39,7 persen.
Pengenaan pajak bagi usaha kecil akan semakin memperlebar ketimpangan antara
UMKM dan UB dalam struktur perekonomian, yang merupakan pengingkaran pemerintah
terhadap amanah UU No 20/2008.
Kebijakan
memajaki usaha kecil semakin mencederai asas keadilan jika dikaitkan dengan
kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam mengatasi dampak
krisis ekonomi. Meskipun sumbangan UMKM terhadap PDB lebih kecil, tetapi
kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja mencapai 94,77 persen, jauh lebih besar
ketimbang peran kemampuan UB dalam menyerap tenaga kerja yang hanya 5,33 persen
dari total tenaga kerja di Indonesia.
UMKM
juga telah membuktikan kemampuannya menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia. UMKM tidak hanya mampu bertahan di tengah terpaan badai krisis
ekonomi, tetapi juga berperan secara signifikan sebagai sabuk pengaman untuk
menampung tenaga kerja, limpahan PHK dari UB.
Berdasarkan peran UMKM tersebut, penggunaan alasan asas keadilan bukanlah
justifikasi yang tepat untuk memajaki usaha kecil. Tanpa memajaki usaha kecil,
pendapatan negara dari pajak akan berlimpah jika Ditjen Pajak punya komitmen
mencegah terjadinya korupsi dan manipulasi pajak.
Kebijakan Blunder
Di
tengah gempuran produk impor murah dari Cina, pengenaan pajak bagi usaha kecil
menjadi disinsentif terhadap daya saing produk UMKM di pasar dalam negeri,
apalagi di pasar ekspor. Bagaimana mungkin bisa bersaing, kalau UMKM masih
harus menanggung biaya ekonomi tinggi dan tingkat suku bunga lebih tinggi
dibanding pengusaha Cina, plus tidak ada insentif fiskal sama sekali?
Tidak
mustahil, pengenaan pajak bagi usaha kecil akan menjadi pembunuhan massal
terhadap UMKM. Sungguh sangat ironis seandainya terjadi pembunuhan terhadap
UMKM, dan salah satu pelakunya adalah Ditjen Pajak. Kalau pembunuhan massal
UMKM benar-benar terjadi, tidak bisa dihindari lagi pengangguran dan kemiskinan
akan semakin menjadi `bahaya laten' bagi perekonomian Indonesia.
Selain
itu, di tengah terkuaknya dugaan perampokan besar-besaran dana APBN yang
dilakukan oleh persekongkolan bejat antara oknum birokrat, elite partai, dan
anggota DPR, kebijakan memajaki usaha kecil justru menjadi kebijakan blunder.
Betapa tidak, usaha kecil yang seharusnya dikembangkan sesuai dengan amanah
konstitusi, malah diperas membayar pajak untuk membiayai APBN.
Ketimbang
menerapkan ekstensifikasi pajak dengan menyasar usaha kecil, semestinya Ditjen
Pajak lebih fokus pada intensifikasi pajak terhadap pengusaha kena pajak
terdaftar yang selama ini tingkat kepatuhannya masih sangat rendah. Data Ditjen
Pajak menunjukkan, dari sekitar 700 ribu pengusaha kena pajak terdaftar, baru
42 persen atau 290 ribu yang patuh melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT)
PPN.
Data
itu menunjukkan, sesungguhnya masih besar potensi PPN yang bisa dipungut negara
dari sekitar 410 ribu wajib pajak terdaftar yang selama ini tidak patuh
membayar PPN. Semestinya, pemerintah lebih mengintensifkan memungut PPN dari
wajib pajak terdaftar yang tidak patuh daripada mengejar usaha kecil untuk
membayar PPN.
Selain dari pengusaha yang tidak patuh
membayar PPN, sebenarnya masih ada potensi pajak yang jumlahnya mencapai
triliunan rupiah berasal dari sengketa pajak tak berkesudahan yang melibatkan
sejumlah pengusaha besar, baik pengusaha nasional maupun pengusaha asing. Kalau
Dirjen Pajak tetap saja ngotot memajaki usaha kecil, kebijakan ini jelas
melanggar asas keadilan dan justru akan menjadi blunder bagi perekonomian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar