Sabtu, 17 Maret 2012

Berbohong dengan Santun

Berbohong dengan Santun
Mohammad Nasih, PENGAJAR DI PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK UI 
DAN FISIP UMJ;
PENGURUS DEWAN PAKAR ICMI PUSAT
SUMBER : SINDO, 17 Maret 2012



Ada semacam pameo: “ilmuwan boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Politikus boleh bohong, tapi tidak boleh salah”.

Entah dari mana asal mulanya,tapi pameo tersebut seolah dipercaya sebagai “kebenaran”dan karena itu sering sekali diucapkan, terutama di kalangan politisi. Itu menyebabkan politisi merasa mendapatkan legitimasi untuk berkata yang tidak sesuai fakta; yang penting tujuan lebih mudah tercapai, apalagi apabila merasa bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah kebaikan. Seolah tujuan bisa “mengalahkan” cara.

Padahal kebaikan seharusnya dicapai dengan jalan kebaikan pula, bukan dengan menghalalkan segala cara. Pameo politik tersebut sedikit- banyak telah mendorong sebagian besar politisi untuk melakukan kebohongan dalam pernyataan-pernyataan mereka. Kepandaian atau kelihaian dalam melakukan kebohongan bahkan dijadikan sebagai salah satu ukuran kehebatan dalam berpolitik.

Makin lihai melakukan kebohongan, sang politisi dianggap makin lihai dalam berpolitik.Itulah sebab, dunia politik makin ramai oleh ingar-bingar pernyataanpernyataan yang kontradiktif Politisi melakukan kebohongan, setidaknya untuk tiga kepentingan. Pertama, untuk mengklaim sesuatu yang sesungguhnya tidak dikerjakan. Politisi yang miskin prestasi kinerja dan ingin tetap mempertahankan kuasa biasanya berusaha untuk membangun citra dengan melakukan iklan di berbagai media massa.Citra yang ada sama sekali bukan berdasarkan fakta, melainkan sekadar buah rekaan belaka.

Kedua, untuk berapologi agar tidak terlalu disalahkan ketika tidak mampu menyelesaikan atau mengatasi permasalahan yang terjadi,terutama permasalahan yang menyangkut kepentingan publik luas. Biasanya kebohongan jenis ini dilakukan dengan cara beretorika tingkat tinggi agar masyarakat tidak menangkap pokok permasalahan yang seharusnya dibicarakan. Cara ini juga sangat efektif untuk mengalihkan perhatian masyarakat atau sering disebut dengan istilah “pengalihan isu”.

Ketiga, untuk menyelamatkan diri akibat penyelewengan kekuasaan. Kebohongan diharapkan dapat menghindarkan mereka yang sedang berhadapan dengan hukum dari hukuman penjara, atau setidaknya meringankan hukuman. Kebohongan jenis ini, terutama akhirakhir ini, bisa disaksikan dalam pengadilan ketika mereka dicecar pertanyaan oleh hakim atau jaksa dalam kasuskasus korupsi yang mendapatkan perhatian publik luas. Mereka juga berusaha keras untuk menghilangkan bukti materiil sehingga bisa lepas dari jeratan hukum.

Dengan melakukan kebohongan, tampaknya mereka percaya diri bahwa rakyat masih bisa percaya kepada mereka. Dan memang seringkali itulah yang terjadi.Sesungguhnya ini juga terjadi di banyak tempat yang lain. Dalam konteks ini Charles de Gaulle (1890–1970), Presiden Pertama Prancis memiliki gambaran yang sangat menarik. Dia mengatakan: “politisi tidak pernah percaya kepada ucapan mereka sendiri. Karena itu, mereka sangat heran bila rakyat mempercayai mereka.”

Profesional

Agar kebohongan mereka tidak tertangkap dengan mudah, pilihannya adalah berbohong dengan profesional. Salah satu kualitas profesionalisme dalam berbohong ini melakukannya dengan sangat santun. Kesantunan inilah yang menjadi alat pengecoh paling ampuh.Kesantunan itu seringkali bahkan membuat yang menyaksikan aksi kebohongan itu terkagum- kagum.

Kebohongan yang dilakukan dengan profesional itulah yang menyebabkan terjadi banyak sekali tindakan penyelewengan kekuasaan dalam berbagai bentuk. Praktik korupsi yang makin marak dengan sangat mudah kita tangkap kebenaran logisnya.Namun, kebenaran itu menjadi seolah tidak faktual karena tidak terdapat bukti materialnya, terlebih pelaku yang diduga melakukannya sering tampil dengan mimik muka dan bahasa tubuh yang sangat santun.

Akibat itu,banyak uang negara yang hilang, tetapi jarang ditemukan koruptornya. Kalau digunakan ungkapan: “jika ada asap, ada api”, dalam konteks ini ada banyak asap,tetapi tidak ditemukan apinya. Akar penyebab semua itu adalah anggapan bahwa kesantunan adalah yang utama. Padahal yang paling utama sesungguhnya adalah kejujuran atau amanah. Itulah sebab, kepemimpinan sering diidentikkan dengan amanah. Seorang pemimpin haruslah konsisten dalam menjalankan amanat rakyat. Kesantunan tanpa kejujuran justru lebih berbahaya.

Kesantunan baru menjadi penting apabila kejujuran telah ada,agar kejujuran yang seringkali terasa pahit atau menyakitkan orang lain jika disampaikan secara apa adanya,bisa lebih diterima. Untungnya, kita masih memiliki pepatah-pepatah lain yang positif yang berkaitan dengan kebohongan seperti “tak mungkin kertas membungkus api”, “serapat-rapat bangkai terbungkus, baunya tetap tercium juga”, dan yang lainnya. Namun,pepatah yang terakhir tersebut tidak memiliki daya dorong untuk membuat masyarakat aktif.

Mereka menjadi apatis karena pepatah tersebut membuat mereka berpandangan bahwa sebuah kebohongan tidak perlu diungkap karena akan terungkap dengan sendiri. Itulah yang menyebabkan para pembohong semakin merajalela. Dengan kekuasaan dan uang yang mereka miliki, mereka dapat membungkus ketidakmampuan mereka dengan iklan yang sangat masif sebagai seolah-seolah pemimpin atau pejabat negara yang berhasil. Padahal sesungguhnya mereka belum melakukan sesuatu yang signifikan, yang setimpal dengan segala fasilitas yang mereka dapatkan sebagai pemimpin dan penyelenggara negara.

Karena itu, dibutuhkan pepatah-pepatah baru yang bisa membuat masyarakat memiliki semangat untuk mengungkap setiap kebohongan yang dilakukan oleh pejabat negara agar mereka tidak hanya menebar pesona, tetapi juga segera memulai kerja nyata. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar