Sabtu, 03 Maret 2012

Sampai Kapan Gayus di Bui?


Sampai Kapan Gayus di Bui?
Didik Endro Purwoleksono, GURU BESAR ILMU HUKUM PIDANA FH UNAIR
SUMBER : JAWA POS, 3 MARET 2012




JUDUL berita, Gayus Bakal Menua di Penjara, di Jawa Pos edisi kemarin (Jumat, 2 Maret) sangat menggelitik untuk disikapi. Selain pidana penjara, Gayus Halomoan Tambunan juga mendapat pidana denda yang disubsiderkan dengan kurungan waktu tertentu.

Pertanyaannya adalah apakah di Indonesia mengenal pidana penjara kumulatif? Artinya apakah semua pidana penjara yang sudah dijatuhkan kepada terdakwa perlu dijumlahkan dan dijalani semua, berapa pun lamanya.

Yang kedua, apa makna pidana denda disubsiderkan dengan pidana kurungan? Apakah pidana denda merupakan kewajiban yang harus dibayarkan terlebih dahulu? Ataukah, terdakwa bebas memilih, tidak mau membayar denda dan lebih baik menjalani pidana kurungan?

Tulisan singkat ini mencoba memberikan ulasan tentang hal tersebut. Secara singkat dapat dijelaskan di bawah ini, khususnya terkait pidana yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Gayus.

Pada hakikatnya, kasus yang membelit Gayus merupakan apa yang dikenal dalam hukum pidana sebagai perbuatan perbarengan atau concursus. Masalah perbarengan itu diatur dalam pasal 63-70 KUHP.

Yang pertama, Indonesia, dengan mendasarkan kepada KUHP, tidak mengenal pidana kumulatif yang mutlak untuk perbarengan tindak pidana kejahatan. Artinya, KUHP tidak mengenal kumulasi pidana penjara atas masing-masing tindak pidana yang sudah dijatuhi pidana.

Yang boleh dijumlahkan adalah lama vonis yang dijatuhkan atas tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri. Tapi, dengan catatan, tidak boleh melebihi dari pidana yang paling berat ditambah sepertiga. Seperti kasus Gayus, memang terhadap masing-masing tindak pidana dapat dijatuhkan pidana oleh hakim. Namun, kumulasinya tidak boleh melebihi tindak pidana yang dilakukan Gayus yang paling berat ancaman pidananya ditambah sepertiga.

Yang kedua, kembali dengan berlandasan KUHP sebagai ketentuan umum aturan pidana, pidana penjara yang dapat dijatuhkan oleh hakim adalah maksimum 20 tahun. Termasuk di sini Gayus. Melihat pidana yang sudah dijatuhkan kepadanya melebihi 20 tahun, dia tetap menjalani pidana tidak boleh lebih dari 20 tahun.

Seandainya nanti Gayus juga diseret dengan kasus pidana yang lain, memang itu tetap dapat diproses. Namun, pidananya tetap harus tidak boleh melebihi pidana terberat ditambah sepertiga dan itu tidak boleh melebihi 20 tahun.

Dengan kata lain, untuk tindak pidana yang akan diproses itu, pada hakikatnya, lamanya pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim tidak ada dampak atau pengaruh kepada Gayus. Mengingat, berdasar infomasi dari harian Jawa Pos, tampaknya pidana yang bakal dijalani Gayus sudah maksimal, yaitu 20 tahun.

Lain halnya jika ternyata ada tindak pidana lain dan atas perbuatan tersebut dia dijatuhi pidana seumur hidup, maka yang berlaku adalah pidana seumur hidup tersebut. Demikian juga halnya jika ternyata dia melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana mati, maka yang berlaku adalah pidana mati. Dengan perkataan lain, pidana yang sudah dijalani tersebut tidak berdampak apa pun terhadap diri terpidana. Dia tetap menjalani pidana seumur hidup atau pidana mati yang baru dijatuhkan.

Selain adanya beberapa tindak pidana yang berdiri sendiri, perlu diulas di sini bahwa KUHP juga mengenal adanya perbarengan peraturan. Artinya, manakala ada perbuatan yang melanggar aturan beberapa hukum pidana, yang akan dikenakan adalah satu aturan hukum pidana saja, yaitu aturan yang terberat pidananya.

Meski demikian, jika yang dilanggar adalah aturan umum, misalnya KUHP dan ternyata perbuatan tersebut juga melanggar aturan khusus, misalnya UU Tipikor, pelaku tindak pidana tersebut akan dikenakan aturan yang khusus, yaitu UU Tipikor.

Denda Bukan Pilihan

Perlu catatan khusus untuk pidana denda yang disubsiderkan dengan pidana kurungan. Maknanya adalah terpidana wajib membayar pidana denda yang sudah dijatuhkan majelis hakim. Baru apabila tidak membayar pidana denda, dia akan menjalani pidana kurungan sebagaimana yang sudah diputuskan majelis hakim.

Terkait hal itu, ada catatan yang perlu disampaikan di sini, yaitu yang pertama pidana denda merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh terpidana. Jadi bukan hak terpidana untuk dapat memilih antara membayar dan tidak membayar pidana denda.

Yang kedua, makna pidana denda di sini ditujukan kepada harta kekayaan terpidana yang sudah melakukan tindak pidana. Hal itu selaras dengan apa yang sudah dilakukan terpidana tindak pidana korupsi, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang kain sehingga perlu dipidana atas perbuatannya.

Makna pidana denda akan tidak ada dampak apa-apa manakala terpidana diberi kebebasan memilih dengan tidak membayar pidana denda dan tinggal menjalani pidana kurungan.

Apa lagi terhadap tindak pidana korupsi. Dengan pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana, akan berdampak kepada terpidana untuk mengembalikan harta kekayaan yang sudah dikorupsi, kerugian negara dapat dipulihkan. Maka, lebih dapat membuat jera pelaku korupsi.

Bagaimanapun, yang penting adalah bagaimana mengembalikan aset-aset kekayaan negara yang sudah dikorupsi oleh terpidana. Pidana denda yang sudah dijatuhkan hakim merupakan salah satu sarana untuk mengembalikan aset negara tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar