Integrasi
Kebijakan Pendidikan
Darmaningtyas, PENULIS
BUKU MANIPULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Sumber
: KORAN TEMPO, 2 Maret 2012
Rembuk Nasional, yang diselenggarakan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (26-28 Februari 2012), membahas sejumlah
isu dan melahirkan beberapa rekomendasi.
Setidaknya ada delapan isu besar yang
dibahas, antara lain Pengembangan PAUD dan Pendidikan Non-Formal; Peningkatan
Layanan Pendidikan Dasar Bermutu; Percepatan Pelaksanaan Pendidikan Menengah
Universal; Sistem Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Integrasi
Pendidikan Menengah dan Tinggi; Desentralisasi Pendidikan Tinggi dan Penguatan
RSBI; Optimalisasi Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa; serta
Integrasi Kebudayaan dalam Pendidikan. Berikut ini adalah kutipan hasil Rembuk
Nasional dan catatan dari penulis atas beberapa isu penting.
Pertama, masalah pendidikan anak usia dini
(PAUD) ini merupakan isu baru yang muncul sejak pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) karena masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan
Pendidikan Nasional 2005-2014. Pemerintah mendorong berkembangnya PAUD dengan
cara memberikan insentif untuk pendirian sejumlah PAUD di seluruh wilayah
Indonesia. Lembaga PAUD pun menjamur di mana-mana karena menawarkan dua hal:
kesempatan berusaha (bagi penyelenggaranya) dan kesempatan kerja (bagi
gurunya).
Tanpa regulasi yang jelas dalam
penyelenggaraan PAUD, akan timbul masalah baru di masa depan ketika semua PAUD
meminta disubsidi oleh pemerintah dan semua gurunya meminta diangkat menjadi
guru pegawai negeri. Karena itulah, sebelum persoalan meluas dan rumit, ada
baiknya pemerintah segera membuat aturan yang jelas tentang mekanisme
penyelenggaraan PAUD, serta menjelaskan peran pemerintah sejauh mana.
Kedua, masalah peningkatan pendidikan dasar
bermutu. Pendidikan dasar sekarang terdiri atas SD-SMP. Secara kuantitatif,
untuk tingkat SD tidak ada masalah, mayoritas daerah memiliki angka partisipasi
pendidikan dasar yang telah mencapai 100 persen, hanya daerah-daerah terisolasi
saja yang tingkat partisipasi SD-nya masih di bawah 100 persen. Di tingkat SD,
persoalan yang menonjol adalah banyaknya gedung SD yang roboh, serta kualitas
pendidikan yang tidak merata. Mutu SD di perkotaan di Jawa selalu lebih baik
dibandingkan dengan mutu SD di pelosok daerah, karena SD-SD di Jawa kelebihan
guru, sedangkan SD-SD di luar Jawa kekurangan guru.
Tapi, pada tingkat SMP, masih ada masalah
kuantitas. Banyak daerah pedesaan yang belum mampu mencapai angka partisipasi
sampai 80 persen. Bukan semata-mata karena ketiadaan sekolah di daerah
tersebut, tapi karena sekolah sulit dijangkau lantaran infrastruktur
transportasinya buruk. Dalam konteks tersebut, pendirian sekolah satu atap
(SD-SMP jadi satu) menjadi relevan. Rembuk Nasional juga merekomendasikan perlunya
komitmen antarpemangku kepentingan untuk memenuhi standar layanan pendidikan
yang bermutu, serta menjamin tersedianya tempat melanjutkan sekolah, antara
lain dengan membangun SD-SMP satu atap, SMP tipe kecil, SMP terbuka, dan Paket
B.
Pada isu ini juga menarik ketika Rembuk
Nasional memberi perhatian khusus terhadap pendidikan di tanah Papua. Program
pembangunan Papua dan Papua Barat diharapkan berpihak kepada pendidikan. Bahkan
diharapkan ada peraturan khusus dari pemerintah yang mampu mendorong percepatan
pembangunan pendidikan di Papua dengan otonomi khusus dan Papua Barat.
Ketiga, pada tingkat sekolah menengah dirasa
penting melakukan percepatan pelaksanaan pendidikan menengah universal. Berbeda
dengan pendidikan dasar wajib, dalam hal pendidikan menengah universal ini
peran pemerintah adalah sebagai fasilitator karena dalam pendidikan menengah
universal tersebut pembiayaan ditanggung bersama oleh pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat. Hal itu berbeda dengan pendidikan dasar yang sifatnya
wajib, harus dibiayai oleh negara.
Keempat, terkait dengan sistem pengelolaan
guru dan tenaga kependidikan, perlu ada kuota nasional yang sesuai dengan kohort
kebutuhan provinsi/kabupaten/kota untuk mendukung pendidikan universal 12
tahun; pemenuhan guru melalui kewenangan (horizontal) atau alih kewenangan
antarjenjang sekolah (vertikal). Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan guru
kejuruan dapat dilakukan kerja sama dengan politeknik, institut teknologi, PTK,
universitas, sekolah tinggi, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (P4TK Kejuruan), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam upaya
meningkatkan kualitas guru diperlukan peningkatan kualitas pelaksanaan uji
kompetensi, sertifikasi, penilaian kinerja, pelaksanaan pengembangan keprofesian
berkelanjutan bagi guru (CPD), pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG), serta
musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).
Kelima, isu integrasi pendidikan menengah dan
tinggi dirasakan penting, terutama untuk mengoptimalkan fungsi ujian nasional
(UN). Dirasakan penting, koordinasi intensif antara perguruan tinggi negeri dan
penyelenggara UN serta menjadikan UN sebagai ukuran kemampuan untuk kuliah di
perguruan tinggi. Ini adalah salah satu langkah yang terus diperjuangkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh untuk mengoptimalkan peran UN dan
sekaligus mengurangi tingkat resistansi terhadap UN. Dengan dijadikannya UN
sebagai kriteria kemampuan lulusan sekolah menengah yang masuk ke PTN, secara
otomatis tingkat resistansi masyarakat terhadap UN dapat dikurangi. Yang
terpenting adalah bagaimana menjamin kredibilitas UN itu sendiri, sehingga
penyelenggara PTN pun menerima penuh.
Keenam, desentralisasi pendidikan tinggi dan
penguatan RSBI. Keduanya merupakan isu yang menarik. Desentralisasi pendidikan
tinggi itu terkait dengan adanya pembahasan RUU PT (Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Tinggi), yang mendorong PT(N) menjadi otonom untuk mencapai kualitas
pendidikan yang baik. Sedangkan penguatan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) lantaran posisi RSBI saat ini terus digugat oleh
masyarakat, termasuk sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya penguatan RSBI
itu dalam hal pembiayaan dengan tetap melaksanakan Pasal 143 PP No. 17 Tahun
2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, yaitu memberi
kebebasan kepada RSBI untuk memungut biaya dari murid. Hanya, yang ironis dari
program penguatan RSBI ini adalah di satu sisi didorong berorientasi
internasional, tapi di sisi lain kurikulumnya menerapkan KTSP yang sifatnya
lokal sekolah.
Ketujuh, isu yang menarik adalah optimalisasi
pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa Indonesia. Isu ini
dilatarbelakangi oleh kegemaran bangsa ini, termasuk sekolah-sekolah, memakai
bahasa bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari dalam kehidupan, sehingga
melupakan keberadaan bahasa Indonesia. Para peserta Rembuk Nasional sepakat
perlu adanya sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia yang saat ini
rendah. Dirasa perlu adanya regulasi untuk mengindonesiakan bahasa asing.
Kedelapan, persoalan lain yang dapat disebut
sebagai perkembangan baru adalah masalah integrasi kebudayaan dalam pendidikan.
Isu ini praktis hilang selama lebih dari satu dekade dan baru muncul setelah
kebudayaan dikembalikan lagi ke dalam pendidikan sejak Oktober 2011. Ini jelas
langkah positif karena pendiri pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, selalu
mengingatkan bahwa pendidikan itu merupakan proses kebudayaan.
Karena itu,
pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Logis bila Rembuk Nasional
merekomendasikan perlunya nilai-nilai budaya diintegrasikan ke dalam proses
pembelajaran untuk membentuk generasi muda yang lebih kokoh. Tidak ada cara
untuk membentuk karakter bangsa itu selain melalui kebudayaannya. Di sinilah
pentingnya integrasi kebijakan pendidikan dengan kebudayaan mutlak diperlukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar