Jumat, 02 Maret 2012

Integrasi Kebijakan Pendidikan


Integrasi Kebijakan Pendidikan
Darmaningtyas, PENULIS BUKU MANIPULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Sumber : KORAN TEMPO, 2 Maret 2012



Rembuk Nasional, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (26-28 Februari 2012), membahas sejumlah isu dan melahirkan beberapa rekomendasi. 

Setidaknya ada delapan isu besar yang dibahas, antara lain Pengembangan PAUD dan Pendidikan Non-Formal; Peningkatan Layanan Pendidikan Dasar Bermutu; Percepatan Pelaksanaan Pendidikan Menengah Universal; Sistem Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Integrasi Pendidikan Menengah dan Tinggi; Desentralisasi Pendidikan Tinggi dan Penguatan RSBI; Optimalisasi Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa; serta Integrasi Kebudayaan dalam Pendidikan. Berikut ini adalah kutipan hasil Rembuk Nasional dan catatan dari penulis atas beberapa isu penting.

Pertama, masalah pendidikan anak usia dini (PAUD) ini merupakan isu baru yang muncul sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2014. Pemerintah mendorong berkembangnya PAUD dengan cara memberikan insentif untuk pendirian sejumlah PAUD di seluruh wilayah Indonesia. Lembaga PAUD pun menjamur di mana-mana karena menawarkan dua hal: kesempatan berusaha (bagi penyelenggaranya) dan kesempatan kerja (bagi gurunya).

Tanpa regulasi yang jelas dalam penyelenggaraan PAUD, akan timbul masalah baru di masa depan ketika semua PAUD meminta disubsidi oleh pemerintah dan semua gurunya meminta diangkat menjadi guru pegawai negeri. Karena itulah, sebelum persoalan meluas dan rumit, ada baiknya pemerintah segera membuat aturan yang jelas tentang mekanisme penyelenggaraan PAUD, serta menjelaskan peran pemerintah sejauh mana.

Kedua, masalah peningkatan pendidikan dasar bermutu. Pendidikan dasar sekarang terdiri atas SD-SMP. Secara kuantitatif, untuk tingkat SD tidak ada masalah, mayoritas daerah memiliki angka partisipasi pendidikan dasar yang telah mencapai 100 persen, hanya daerah-daerah terisolasi saja yang tingkat partisipasi SD-nya masih di bawah 100 persen. Di tingkat SD, persoalan yang menonjol adalah banyaknya gedung SD yang roboh, serta kualitas pendidikan yang tidak merata. Mutu SD di perkotaan di Jawa selalu lebih baik dibandingkan dengan mutu SD di pelosok daerah, karena SD-SD di Jawa kelebihan guru, sedangkan SD-SD di luar Jawa kekurangan guru.

Tapi, pada tingkat SMP, masih ada masalah kuantitas. Banyak daerah pedesaan yang belum mampu mencapai angka partisipasi sampai 80 persen. Bukan semata-mata karena ketiadaan sekolah di daerah tersebut, tapi karena sekolah sulit dijangkau lantaran infrastruktur transportasinya buruk. Dalam konteks tersebut, pendirian sekolah satu atap (SD-SMP jadi satu) menjadi relevan. Rembuk Nasional juga merekomendasikan perlunya komitmen antarpemangku kepentingan untuk memenuhi standar layanan pendidikan yang bermutu, serta menjamin tersedianya tempat melanjutkan sekolah, antara lain dengan membangun SD-SMP satu atap, SMP tipe kecil, SMP terbuka, dan Paket B.

Pada isu ini juga menarik ketika Rembuk Nasional memberi perhatian khusus terhadap pendidikan di tanah Papua. Program pembangunan Papua dan Papua Barat diharapkan berpihak kepada pendidikan. Bahkan diharapkan ada peraturan khusus dari pemerintah yang mampu mendorong percepatan pembangunan pendidikan di Papua dengan otonomi khusus dan Papua Barat.

Ketiga, pada tingkat sekolah menengah dirasa penting melakukan percepatan pelaksanaan pendidikan menengah universal. Berbeda dengan pendidikan dasar wajib, dalam hal pendidikan menengah universal ini peran pemerintah adalah sebagai fasilitator karena dalam pendidikan menengah universal tersebut pembiayaan ditanggung bersama oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Hal itu berbeda dengan pendidikan dasar yang sifatnya wajib, harus dibiayai oleh negara.

Keempat, terkait dengan sistem pengelolaan guru dan tenaga kependidikan, perlu ada kuota nasional yang sesuai dengan kohort kebutuhan provinsi/kabupaten/kota untuk mendukung pendidikan universal 12 tahun; pemenuhan guru melalui kewenangan (horizontal) atau alih kewenangan antarjenjang sekolah (vertikal). Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan guru kejuruan dapat dilakukan kerja sama dengan politeknik, institut teknologi, PTK, universitas, sekolah tinggi, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK Kejuruan), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam upaya meningkatkan kualitas guru diperlukan peningkatan kualitas pelaksanaan uji kompetensi, sertifikasi, penilaian kinerja, pelaksanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi guru (CPD), pemberdayaan kelompok kerja guru (KKG), serta musyawarah guru mata pelajaran (MGMP).

Kelima, isu integrasi pendidikan menengah dan tinggi dirasakan penting, terutama untuk mengoptimalkan fungsi ujian nasional (UN). Dirasakan penting, koordinasi intensif antara perguruan tinggi negeri dan penyelenggara UN serta menjadikan UN sebagai ukuran kemampuan untuk kuliah di perguruan tinggi. Ini adalah salah satu langkah yang terus diperjuangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh untuk mengoptimalkan peran UN dan sekaligus mengurangi tingkat resistansi terhadap UN. Dengan dijadikannya UN sebagai kriteria kemampuan lulusan sekolah menengah yang masuk ke PTN, secara otomatis tingkat resistansi masyarakat terhadap UN dapat dikurangi. Yang terpenting adalah bagaimana menjamin kredibilitas UN itu sendiri, sehingga penyelenggara PTN pun menerima penuh.

Keenam, desentralisasi pendidikan tinggi dan penguatan RSBI. Keduanya merupakan isu yang menarik. Desentralisasi pendidikan tinggi itu terkait dengan adanya pembahasan RUU PT (Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi), yang mendorong PT(N) menjadi otonom untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik. Sedangkan penguatan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) lantaran posisi RSBI saat ini terus digugat oleh masyarakat, termasuk sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya penguatan RSBI itu dalam hal pembiayaan dengan tetap melaksanakan Pasal 143 PP No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, yaitu memberi kebebasan kepada RSBI untuk memungut biaya dari murid. Hanya, yang ironis dari program penguatan RSBI ini adalah di satu sisi didorong berorientasi internasional, tapi di sisi lain kurikulumnya menerapkan KTSP yang sifatnya lokal sekolah.

Ketujuh, isu yang menarik adalah optimalisasi pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa Indonesia. Isu ini dilatarbelakangi oleh kegemaran bangsa ini, termasuk sekolah-sekolah, memakai bahasa bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari dalam kehidupan, sehingga melupakan keberadaan bahasa Indonesia. Para peserta Rembuk Nasional sepakat perlu adanya sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia yang saat ini rendah. Dirasa perlu adanya regulasi untuk mengindonesiakan bahasa asing.

Kedelapan, persoalan lain yang dapat disebut sebagai perkembangan baru adalah masalah integrasi kebudayaan dalam pendidikan. Isu ini praktis hilang selama lebih dari satu dekade dan baru muncul setelah kebudayaan dikembalikan lagi ke dalam pendidikan sejak Oktober 2011. Ini jelas langkah positif karena pendiri pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, selalu mengingatkan bahwa pendidikan itu merupakan proses kebudayaan. 

Karena itu, pendidikan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Logis bila Rembuk Nasional merekomendasikan perlunya nilai-nilai budaya diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran untuk membentuk generasi muda yang lebih kokoh. Tidak ada cara untuk membentuk karakter bangsa itu selain melalui kebudayaannya. Di sinilah pentingnya integrasi kebijakan pendidikan dengan kebudayaan mutlak diperlukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar