Angie
dan Anas Dihukum Pers?
S Sinansari Ecip, PERNAH MEMIMPIN KPIP
Sumber
: KOMPAS, 2 Maret 2012
Beberapa minggu Angelina Sondakh (Angie) dan
Anas Urbaningrum bulan-bulanan pers, terutama oleh siaran televisi. Ada yang
bertepuk tangan, ada pula yang mengelus dada.
Bertepuk karena keinginannya diwakili pers:
Angie dan Anas ditelanjangi. Mengelus dada karena mereka cemas sembari
bertanya, demikiankah pemberitaan pers? Bukankah ini pengadilan oleh pers?
Angie dan Anas memang sasaran empuk untuk
berita berkelanjutan. Keduanya berkedudukan tinggi di partainya dan di- kenal
luas. Angie belum ditahan, Anas belum dimintai keterangan. Itu saja pers sudah
menganggapnya layak berita. Belum lagi kasus-kasus yang ada di dalam media
berkaitan dengan mereka memang sedang panas.
Partainya pemenang pemilu dan pendirinya jadi
presiden. Sebagian partai tentu ingin menang pada Pemilu 2014. Perlu persiapan.
Pemanasan penting.
Secara teori, dalam jurnalisme ada yang
disebut pengadilan oleh pers atau pengadilan oleh media. Pengadilan oleh pers,
kata Wikipedia pada 22/2/2012 pukul 15.35 WIB, digambarkan sebagai the impact
of TV coverage on a person’s reputation by creating a widespread perception of
guilt or innocence before, after, verdict in a court of law.
Umum dan Khusus
Pernyataan tentang komunikasi tercantum jelas
dalam Pasal 28 UUD 1945 mengenai kebebasan menyatakan pendapat dan
berkomunikasi. Khusus tentang kegiatan jurnalisme ditambahkan dalam Pasal 28F.
Kehadiran komunikasi dan jurnalisme dilindungi secara sah dan kuat.
Kegiatan jurnalisme dirinci ke dalam UU No
40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. UU Pers antara lain
melahirkan Kode Etik Jurnalistik dan UU Penyiaran melahirkan Pedoman Perilaku
Penyiaran serta Standar Program Siaran. Kedua aturan yang belakangan disebut
bersanksi moral. Ada yang bersanksi pidana menyangkut isi media massa.
Keabsahan pernyataan pendapat dan kehadiran
tatanan jurnalisme berikut kode etiknya adalah aturan bersifat umum, universal.
Keberadaannya secara internasional: aturan itu diakui dan dilaksanakan. Namun,
tatanan universal itu di dalam praktik dapat dikalahkan tatanan yang lingkup
berlakunya lebih sempit. Itulah tatanan internal yang disebut politik
pemberitaan.
Politik pemberitaan adalah jabaran visi dan
misi perusahaan pers atau media di bidang penampilan informasi yang harus
dijalankan jajaran redaksi. Setiap lembaga pers punya politik pemberitaan yang
berbeda dengan pers atau media yang lain.
Apakah pers punya kepentingan? Dari sudut
teori, pers sebaiknya tak berkepentingan alias pemihakan. Dari sudut praktik,
kenyataan pemihakan pers banyak ditemukan. Secara praktik dapat dikatakan bahwa
pers memang sering punya kepentingan. Setiap orang punya kepentingan, apalagi
lembaga pers. Namun, pers umum yang baik harus mendekati titik ”tak punya
kepentingan”. Penempatan kemasan informasi saja sudah menunjukkan adanya
pemihakan, belum lagi muatan di dalam isinya. Media partai (bukan pers umum)
tentu saja sah berpihak.
Gambaran tentang aturan yang berlaku umum dan
berlaku khusus tadi boleh dianggap sebagai modifikasi atas gambar bagaimana
ideologi memengaruhi media (Mediating the Message oleh PJ Shoemaker dan SD
Reese). Secara model hierarkis, lingkup paling kecil disebut level individual,
diteruskan ke level yang lebih besar berupa level rutinitas media, level
organisasi, level ekstramedia, dan level ideologi.
TV Kita
Hampir semua stasiun TV punya tayangan
informasi yang dikemas secara jurnalistis. Dengan hadirnya Metro TV dan TVOne,
stasiun TV lain tertinggal jauh dalam sajian jurnalismenya: kecepatan ataupun
volumenya. Kedua stasiun TV itu berspesialisasi sebagai TV berita. Namun,
tampilan umumnya dan secara formal keduanya bukanlah media partai yang sah
berpihak.
Para host dan hostess TV itu tampil menarik
meski sebagian kurang menguasai persoalan. Namun, pilihan informasinya cukup
memenuhi keingintahuan khalayak. Sudut pandangnya menukik. Ada kepentingan?
Tentu: agak tersamar, bagian dari permainan awal pemilu nanti.
Dalam buka-bukaan informasi, tayangan
Indonesia Lawyers Club lebih telanjang. Meski pemandunya berusaha tampil
berimbang, kesan agak memihak masih tampak. Proses peradilan dan materinya
sering dibuka dengan menghadirkan beberapa narasumber. Memunculkan orang-orang
Demokrat bermasalah dianggap menarik perhatian. Akhir-akhir ini yang
dimunculkan ialah Angie dan Anas.
Buka-bukaan tayangan Sarasehan Anak Bangsa,
meski baru lahir, mengesankan. Beberapa informasinya mengejutkan karena
sebelumnya penyebarannya masih terbatas. Karena pembicaranya sangat banyak
dalam waktu terbatas, terkesan tayangan ini kurang fokus. Sayang, simpulannya
kurang berani dan tak ada tindak lanjut dari aparat dan masyarakat.
Kocak tajam mengiris ditunjukkan Sentilan
Sentilun. Slamet Rahardjo tenang dan arif mewakili kehadiran seorang priyayi. Tamunya
acap membawa informasi dan pendapat yang baru dan nyelekit. Jongosnya, Butet
Kartaredjasa, kocak sinis.
Ketiga contoh itu umumnya menyasar kepada
kekuasaan. Kekuasaan jangan dipakai secara berlebihan untuk kepentingannya
sendiri, tetapi untuk menyejahterakan masyarakat.
Dalam berbagai bincang-bincang TV, Angie dan
Anas jadi obyek berita ataupun sindiran. Pesan tersembunyinya lebih kurang
seperti kedua orang ini nanti harus dinyatakan bersalah. Proses peradilan
kurang ditonjolkan, mungkin karena hakim kurang arif dan kurang menggali, jaksa
dan pembela kurang tangkas dan cerdik. Yang terjadi: Angie dan Anas seperti
telah dihukum oleh pers. Bolehkah?
Tentu saja penghukuman oleh pers tak boleh,
apalagi peradilan sedang berproses. Apakah membuka bagian persidangan
pengadilan bisa bertujuan memengaruhi proses pengadilan yang sedang
berlangsung? Memengaruhi peradilan tidaklah boleh. Karena itu, ada praduga tak
bersalah yang harus kita taati bersama bahwa seseorang tak boleh dianggap
bersalah manakala belum diputuskan oleh pengadilan.
Menghadapi berbagai serangan, Partai Demokrat
mengadukan Metro TV dan TVOne kepada Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPIP)
pada 23 Februari lalu. Demokrat merasa disudutkan berita kedua stasiun TV itu.
Lebih dari itu, kedua stasiun TV diadukan telah melakukan pembingkaian (istilah
lain untuk karya jurnalismenya yang tak berimbang atau berkepentingan).
Seyogianya KPIP bekerja sama dengan Dewan
Pers menyikapinya. Dalam Pasal 42 UU No 32/2002 tentang Penyiaran tercantum,
”Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik
tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Ditinjau dari kepemilikannya, Metro TV selama
ini dikenal sebagai milik Surya Paloh, pendiri Partai Nasdem. Aburizal Bakrie
memiliki TVOne sekaligus bos Partai Golkar. Dikhawatirkan, kedua kelompok media
itu akan menjadi corong partainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar