Jumat, 02 Maret 2012

Tesis Islam Lunak Lebih Laku


Tesis Islam Lunak Lebih Laku
Novriantoni Kahar, PENGAMAT SOSIAL-KEAGAMAAN, 
DOSEN UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber : KORAN TEMPO, 2 Maret 2012



Bagi generasi tua yang sudah melihat dinamika Islam sejak era Orde Baru, mungkin tak sulit membuktikan bahwa Islam Indonesia dalam satu dekade terakhir sudah jauh berubah. Tidak perlu menggunakan mikroskop, perubahan itu secara kasatmata dapat dilihat dengan mudah. Secara umum, umat Islam Indonesia kini tampak lebih religius. 

Pengajian-pengajian keagamaan tampak semarak di mana-mana. Program-program keagamaan di televisi ataupun radio seperti bukan lagi pelengkap-penderita, melainkan telah mampu menarik iklan miliaran rupiah. Produk-produk keagamaan, seperti buku agama, pakaian, obat-obatan, bahkan jasa perbankan, laris juga di pasar. Pendek kata, Islam tampak makin merasuki dan membentuk kehidupan sehari-hari orang Indonesia.

Namun perkembangan itu juga disertai beberapa kegalauan dan kekhawatiran. Terutama soal gelombang pasang konservatisme dan ekstremismenya. Dalam satu dekade terakhir, beberapa ketegangan dan bahkan konflik bernuansa agama juga menjadi pemandangan Indonesia. Kebebasan sipil pelan-pelan makin dibatasi lewat berbagai cara. Preman, yang di masa Orba bertindak dengan motif sekuler belaka, kini lihai menggunakan motif agama. Syiar-syiar kebencian dan mobilisasi massa untuk pengganyangan atas nama agama ramai juga. Jangan pula lupa, terorisme pun ikut menarik minat anak-anak bangsa. Perda bernuansa agama, alamak..., dia pun tak ingin ketinggalan kereta.

Akibatnya, potret Islam Indonesia yang tersenyum (smiling Islam) kini pun tampak berubah dan berulah. Ini memicu antropolog Amerika, Robert Hefner, untuk menulis soal uncivil Islam, “Islam yang tidak berkebudayaan”, setelah sebelumnya melukiskan indahnya civil Islam. Impian Sukarno tentang “ketuhanan yang berkebudayaan” pelan-pelan menjadi “ketuhanan yang bermusuhan dengan kebudayaan”. Kekhususan Islam Indonesia, yang konon mengalami pribumisasi dengan kultur lokal, kini semakin ke Timur Tengah. Di dalam negeri, aparatur negara, seperti Menteri Agama, tampak tak mempunyai visi tentang toleransi beragama. Di luar negeri, Islam Indonesia mengisi bab studi terorisme dan keamanan negara. Semakin kentara aspek lahiriah Islam, seperti makin dangkal pula aspek batinnya.

Kabar Baik dari Fealy

Kesan di atas dapat dimaklumi mengingat sedikitnya studi yang menyeluruh dan mendalam tentang potret Islam Indonesia dari berbagai aspeknya. Namun kini, suatu upaya untuk memotret Islam Indonesia secara utuh mulai dirintis beberapa sarjana. Di antaranya lewat buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008). Dalam peluncuran edisi Indonesia buku itu, di Freedom Institute, Kamis (16 Februari) lalu, Fealy Indonesianis asal Australia itu membawa kabar baik. Menurut dia, sekalipun banyak ekspresi Islam yang garang dan galak-galak, Islam yang lebih lunak tetaplah yang paling laku di Indonesia. “Soft Islam sales,” katanya.

Tesis Fealy itu didasarkan pada studi beberapa sarjana yang menyumbang dalam buku yang disuntingnya itu. Di dalamnya, beragam eksepsi Islam Indonesia, mulai upaya untuk menunjukkan kesalehan personal sampai ekspresi sosial, politik, dan hukum agama, dievaluasi menyeluruh. Tidak ketinggalan pula soal perkembangan ekonomi Islam, layanan jasa keuangan mikro-Islam, dan upaya komodifikasi Islam secara luas. Intinya, Fealy dan kawan-kawan ingin menunjukkan bahwa Islam Indonesia, sekalipun mengalami fase-fase ketegangan, kekerasan, konflik, dan terorisme, tak bisa direduksi hanya sekadar itu saja.

Ada bentuk-bentuk ekspresi keislaman yang lebih lunak--seperti dakwah-tainment, ziarah kubur, sufisme perkotaan, semarak wacana gender, maraknya pencarian fatwa syekh Google--yang jauh lebih laku di pasar Islam Indonesia. Dalam proses memperdagangkan dan memasarkan berbagai bentuk ekspresi Islam di atas, kaidah yang berlaku tetaplah hukum pasar pada galibnya. Para agen-agen agama mau tak mau harus melunakkan dan memoles produk yang mereka tawarkan agar memikat di hati konsumen. Saking sengitnya persaingan pemasaran di sektor ini, aspek kemasan tampak menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dari isinya. Karena itu, tidak mengherankan jika para dai televisi berorasi seperti penjual obat jalanan, tiada lebih. Bahkan sebagian, ya, mirip pelawak dengan nilai tambah kutipan ayat, hadis, atau hikmah-hikmah kehidupan.

Dalam pandangan yang kritis, gejala ini menyerupai proses banalisasi dan pendangkalan agama. Namun, dalam kompetisi ini, yang berkuasa sesungguhnya bukanlah agen-agen agama itu, melainkan jemaah dan pemirsa mereka. Dan jika berpegang pada tesis Fealy, kita terpaksa mafhum belaka. Fenomena komodifikasi agama umumnya, Islam khususnya, tak hanya berhasil menjadikan religiositas sebagai bagian dari budaya popular, tapi juga ikut menyukseskan upaya pelunakan agama. Konversi seorang ustad--umpamanya dari aktivis Islam keras menjadi selebritas yang aduhai lunak--dalam konteks ini harus disyukuri, tinimbang hijrahnya seorang selebritas ke ranah sokongan premanisme berjubah agama.

Arus Balik

Selain “tesis Islam lunak itu lebih laku”, kabar baik potret Islam Indonesia lainnya yang digambarkan Fealy dan kawan-kawan adalah wujudnya semacam “proses normalisasi” kehidupan beragama yang juga terjadi dalam masyarakat Indonesia. Ini tampak jelas di dalam studi Robin Bush tentang perkembangan perda-perda bernuansa agama yang sempat naik pamor dan menjamur dalam sepuluh tahun terakhir. Kabar baiknya, fenomena ini kini mungkin telah mencapai puncaknya, karena dalam lima tahun terakhir sudah tak ada lagi inovasi dan produksi baru yang disebut perda syariah itu.

Studi Bush dalam hal ini menunjukkan bahwa, di banyak tempat, terbitnya perda-perda keagamaan lebih didorong kepentingan politik, upaya menutupi korupsi, dan performa pemerintahan yang buruk. Kini, masyarakat yang mungkin sudah melewati masa pubertas beragamanya mulai tercerahkan. Mereka sadar, jauh lebih sulit bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan perda larangan keluar malam tanpa mahram bagi perempuan, ketimbang mencarikan solusi sosial-ekonomi bagi munculnya pelacuran. Demikianlah tesis Fealy dan kawan-kawan.

Meski demikian, validitas tesis ini mungkin masih harus diverifikasi dengan tiga hal ini. Pertama, efektifnya proses deradikalisasi para jihadis Indonesia. Kedua, semakin berkurangnya syiar kebencian dan mobilisasi massa yang memicu ketegangan antar dan intra-agama. Ketiga, semakin sempitnya ruang ekspresi dan ekspansi industri kekerasan yang digerakkan premanisme berbensin agama.

Jika ketiga hal di atas tunai dalam waktu dekat ini, kita baru dapat mengatakan bahwa Fealy telah kafah dan sempurna dengan tesisnya. Selagi itu masih jauh, “tesis Islam lunak” sepertinya baru mewakili dua pertiga, atau malah setengah saja, dari potret Islam Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar