Budaya
Instan dan Mentalitas Jalan Pintas
Benny Susetyo, SEKRETARIS
EKSEKUTIF KOMISI HAK KWI, PEMERHATI SOSIAL
SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012
Tajuk
harian Seputar Indonesia (17/2) mengenai pungli (pungutan liar) yang dituding
sebagai penyebab maraknya kecelakaan transportasi umum belakangan ini menarik
dicermati.
Tudingan
ini disampaikan berdasarkan fakta bahwa sekitar 25% pendapatan pengusaha
transportasi umum tergerus oleh pungli, mulai dari pengurusan administrasi, uji
kelaikan kendaraan, izin trayek, keluar-masuk terminal, hingga pungutan sopir
di tengah jalan. Mencermati tudingan tersebut, layaknya kita langsung percaya
karena kita hidup di negeri yang begitu banyak pungli di berbagai sektor.
Realitas ini begitu menyakitkan karena korupsi terbukti bisa menghancurkan nilai-nilai kehidupan berbangsa. Keselamatan manusia diabaikan akibat begitu membudaya korupsi dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai, harkat, dan martabat kemanusiaan sudah tidak lagi dianggap penting. Sudah jelas dan terbukti bahwa akar semua itu adalah maraknya korupsi dalam kehidupan publik kita.
Semuanya berdampak pada sarana keselamatan publik. Mental birokrat yang korup ini mengingatkan kita pada mentalitas birokrasi zaman VOC, yang bangkrut akibat korupsi para pegawainya. Birokrasi yang gemuk dan tidak efektif menghasilkan tata kelola yang jelek. Itulah yang melahirkan mentalitas jalan pintas. Mentalitas yang menunjukkan tanda tanya besar apakah benar bahwa bangsa ini memang pemalas.
Bangsa yang selalu ingin mencari keuntungan tanpa mau kerja keras. Ini mengingatkan kita akan ungkapan Mochtar Lubis yang mengemukakan ciri manusia Indonesia antara lain munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak hemat, kurang gigih, serta tidak terbiasa bekerja keras. Karakter kita sebagai bangsa semakin rusak dari hari ke hari.
Mentalitas jalan pintas akibat sebagai bangsa kita tidak memiliki visi dan karakter. Ketidak jelasan arah pendidikan dan visi yang hendak dicapai merupakan problem paling berat negeri ini tidak saja di masa kini, tapi juga di masa mendatang sebagai ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Buah paling aktual yang dapat dirasakan adalah pendidikan belum berhasil membentuk karakter anak bangsa.
Budaya Instan
Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Berbagai kebijakan negeri ini pun terjebak pada budaya instan. Model seperti ini amat berbahaya bagi masa depan bangsa ini. Cita-cita untuk mencerdaskan rakyat hanyalah angan-angan. Kita setuju secara teoritik bahwa pendidikan untuk memerdekakan.
Tapi dalam tindakan, sampai saat ini kita tak pernah sampai pada kesadaran bahwa pendidikan merupakan proses menjadikan manusia berpikir merdeka dan dengan demikian diikuti tindakan-tindakan yang mendukung nya. Merdeka bukan berarti liar tanpa aturan atau tidak mau diatur.Berpikir merdeka dalam pengertian ini membuat manusia memiliki daya nalar yang kritis serta mampu menentukan pilihan dalam hidupnya.
Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat oleh pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas.Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya dalam sanubari publik bangsa ini.Semua serbainstan.
Hal ini terjadi karena manusia yang dihasilkan selama ini adalah sosok instan yang cenderung berpikir pendek dan sempit. Aura batin kita tak mampu menembus mata hati yang berkesadaran dalam menciptakan cara berpikir dan bertindak dalam kerangka kemanusiaan dan keadilan.Hal ini tak akan pernah menjadi gagasan dasar dalam membentuk perilaku bangsa. Bangsa ini juga kehilangan daya kreativitas karena miskin cita-cita dan gagasan.
Politik tidak lagi mampu melahirkan gagasan besar untuk membangun sebuah cita-cita besar bagaimana membawa gerbang Indonesia menuju masa depan berperadaban. Inilah yang membuat bangsa ini terpuruk karena kurangnya cita rasa dan karsa dalam perilaku seharihari kita. Diakui maupun tidak, budaya berbangsa kita belum mampu melahirkan anak didik yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur.
Salah satu faktornya yang memengaruhi di antaranya belum sinkronnya hubungan agama,budaya,dan pendidikan sehingga pendidikan agama dan budaya belum terintegrasi dalam membangun karakter bangsa,yaitu karakter yang mengutamakan keadilan, perdamaian,dan kemandirian.
Pragmatisme Politik
Dalam konteks politik,mentalitas jalan pintas ini diajarkan setiap hari kepada publik. Kekuasaan berpikir pragmatis semata-mata untuk kepentingan stabilitas kekuasaannya belaka di satu sisi dan di sisi lain budaya pragmatisme politik partai di Indonesia begitu kuat. Korbannya adalah negeri ini, rakyat ini.
Ini semua juga berpangkal dari budaya politik Indonesia yang memandang politik bukanlah seni untuk mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat, melainkan dimaknai sekadar alat transaksi, sebagaimana transaksi perdagangan. Politik bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kesejahteraan diri sendiri dan golongan tertentu. Mempertahan kan budaya seperti ini sama saja dengan memeliharawajahkeadabanpolitik Indonesia yang semakin lama semakin kehilangan akal sehatnya.
Akal sehat yang menjadi prinsip bagi semua orang untuk mempertimbangkan yang baik dan buruk. Akibat kerapkali mengabaikan akal sehat, keutamaan pun sirna waktu demi waktu. Pemimpin dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap selera politik sering menghilangkan ketegasannya sendiri.Padahal keberanian dan ketegasan memilih itu sendiri sudah terjamin dalam undangundang.
Yang sangat dikhawatirkan dalam hal ini adalah ketika para bawahan hampa visi kerakyatannya, malah sering membuat rakyat semakin menderita, mengabaikan perasaan rakyat,dan kadang menjadikan rakyat jadi korban. Setelah itu pertanyaan lainnya, adakah para punggawa republik ini sebagaimana disebutkan dalam ciri-ciri di atas? Merosotnya kredibilitas pemerintah akhir-akhir ini membuktikan bahwa masyarakat sudah bosan dengan janji-janji. Semakin lama rakyat bukan semakin apresiatif terhadap kerja-kerja pemerintah, melainkan justru semakin tidak mempercayainya. ●
Realitas ini begitu menyakitkan karena korupsi terbukti bisa menghancurkan nilai-nilai kehidupan berbangsa. Keselamatan manusia diabaikan akibat begitu membudaya korupsi dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai, harkat, dan martabat kemanusiaan sudah tidak lagi dianggap penting. Sudah jelas dan terbukti bahwa akar semua itu adalah maraknya korupsi dalam kehidupan publik kita.
Semuanya berdampak pada sarana keselamatan publik. Mental birokrat yang korup ini mengingatkan kita pada mentalitas birokrasi zaman VOC, yang bangkrut akibat korupsi para pegawainya. Birokrasi yang gemuk dan tidak efektif menghasilkan tata kelola yang jelek. Itulah yang melahirkan mentalitas jalan pintas. Mentalitas yang menunjukkan tanda tanya besar apakah benar bahwa bangsa ini memang pemalas.
Bangsa yang selalu ingin mencari keuntungan tanpa mau kerja keras. Ini mengingatkan kita akan ungkapan Mochtar Lubis yang mengemukakan ciri manusia Indonesia antara lain munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, berwatak lemah (cengeng), tidak hemat, kurang gigih, serta tidak terbiasa bekerja keras. Karakter kita sebagai bangsa semakin rusak dari hari ke hari.
Mentalitas jalan pintas akibat sebagai bangsa kita tidak memiliki visi dan karakter. Ketidak jelasan arah pendidikan dan visi yang hendak dicapai merupakan problem paling berat negeri ini tidak saja di masa kini, tapi juga di masa mendatang sebagai ancaman yang sangat mengkhawatirkan. Buah paling aktual yang dapat dirasakan adalah pendidikan belum berhasil membentuk karakter anak bangsa.
Budaya Instan
Budaya instan alias siap saji membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Berbagai kebijakan negeri ini pun terjebak pada budaya instan. Model seperti ini amat berbahaya bagi masa depan bangsa ini. Cita-cita untuk mencerdaskan rakyat hanyalah angan-angan. Kita setuju secara teoritik bahwa pendidikan untuk memerdekakan.
Tapi dalam tindakan, sampai saat ini kita tak pernah sampai pada kesadaran bahwa pendidikan merupakan proses menjadikan manusia berpikir merdeka dan dengan demikian diikuti tindakan-tindakan yang mendukung nya. Merdeka bukan berarti liar tanpa aturan atau tidak mau diatur.Berpikir merdeka dalam pengertian ini membuat manusia memiliki daya nalar yang kritis serta mampu menentukan pilihan dalam hidupnya.
Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat oleh pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas.Ini menciptakan mentalitas konsumtif. Fenomena ini sekarang membudaya dalam sanubari publik bangsa ini.Semua serbainstan.
Hal ini terjadi karena manusia yang dihasilkan selama ini adalah sosok instan yang cenderung berpikir pendek dan sempit. Aura batin kita tak mampu menembus mata hati yang berkesadaran dalam menciptakan cara berpikir dan bertindak dalam kerangka kemanusiaan dan keadilan.Hal ini tak akan pernah menjadi gagasan dasar dalam membentuk perilaku bangsa. Bangsa ini juga kehilangan daya kreativitas karena miskin cita-cita dan gagasan.
Politik tidak lagi mampu melahirkan gagasan besar untuk membangun sebuah cita-cita besar bagaimana membawa gerbang Indonesia menuju masa depan berperadaban. Inilah yang membuat bangsa ini terpuruk karena kurangnya cita rasa dan karsa dalam perilaku seharihari kita. Diakui maupun tidak, budaya berbangsa kita belum mampu melahirkan anak didik yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur.
Salah satu faktornya yang memengaruhi di antaranya belum sinkronnya hubungan agama,budaya,dan pendidikan sehingga pendidikan agama dan budaya belum terintegrasi dalam membangun karakter bangsa,yaitu karakter yang mengutamakan keadilan, perdamaian,dan kemandirian.
Pragmatisme Politik
Dalam konteks politik,mentalitas jalan pintas ini diajarkan setiap hari kepada publik. Kekuasaan berpikir pragmatis semata-mata untuk kepentingan stabilitas kekuasaannya belaka di satu sisi dan di sisi lain budaya pragmatisme politik partai di Indonesia begitu kuat. Korbannya adalah negeri ini, rakyat ini.
Ini semua juga berpangkal dari budaya politik Indonesia yang memandang politik bukanlah seni untuk mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat, melainkan dimaknai sekadar alat transaksi, sebagaimana transaksi perdagangan. Politik bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk kesejahteraan diri sendiri dan golongan tertentu. Mempertahan kan budaya seperti ini sama saja dengan memeliharawajahkeadabanpolitik Indonesia yang semakin lama semakin kehilangan akal sehatnya.
Akal sehat yang menjadi prinsip bagi semua orang untuk mempertimbangkan yang baik dan buruk. Akibat kerapkali mengabaikan akal sehat, keutamaan pun sirna waktu demi waktu. Pemimpin dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap selera politik sering menghilangkan ketegasannya sendiri.Padahal keberanian dan ketegasan memilih itu sendiri sudah terjamin dalam undangundang.
Yang sangat dikhawatirkan dalam hal ini adalah ketika para bawahan hampa visi kerakyatannya, malah sering membuat rakyat semakin menderita, mengabaikan perasaan rakyat,dan kadang menjadikan rakyat jadi korban. Setelah itu pertanyaan lainnya, adakah para punggawa republik ini sebagaimana disebutkan dalam ciri-ciri di atas? Merosotnya kredibilitas pemerintah akhir-akhir ini membuktikan bahwa masyarakat sudah bosan dengan janji-janji. Semakin lama rakyat bukan semakin apresiatif terhadap kerja-kerja pemerintah, melainkan justru semakin tidak mempercayainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar