Jumat, 02 Maret 2012

Energi dan Kesejahteraan


Energi dan Kesejahteraan
Herman Agustiawan, ANGGOTA DEWAN ENERGI NASIONAL RI
Sumber : REPUBLIKA, 1 Maret 2012



Suatu bangsa bisa dikata kan sejahtera, apabila seluruh kebutuhan rakyatnya terutama energi, dapat di penuhi secara mudah dan terjangkau. Hal ini karena jumlah energi yang dikonsumsi bukan hanya mencerminkan tingkat produktivitas, tetapi juga tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Mengapa demikian?

Disadari atau tidak, sejak pertama kali manusia dilahirkan ke dunia secara otomatis telah mengonsumsi waktu dan ruang (alam semesta). Dua kebutuhan dasar ini telah tersedia secara cumacuma di alam. Kemudian, setelah tumbuh dewasa, manusia dengan kehebatan daya pikirnya mampu menggali dan memanfaatkan berbagai sumber daya alam untuk kelangsungan hidup mereka.
 
Sebagian besar dari sumber daya tersebut masih memerlukan upaya khusus untuk peningkatan nilai tambah dan sebagian lagi dapat dikonsumsi langsung.

Untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik, setiap orang harus dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, setiap individu akan terus dipacu untuk lebih produktif dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sesuai dengan profesinya. Ini terjadi karena kelangkaan sumber daya alam dan kompetisi antarindividu cenderung meningkat.

Dalam konteks produktivitas, konsumsi energi per kapita yang memadai sangat krusial. Karena itu, upaya penyediaan energi tidak boleh putus. Dan, jumlah energi yang harus dikonsumsi manusia bergantung pada waktu dan tempat (ruang) di mana mereka berada.

Ruang dan Waktu

Setiap orang menginginkan kehidupannya bermakna dan bermanfaat bagi yang lainnya. Untuk menjadi demikian, ia harus lebih produktif dalam pekerjaannya. Untuk menjadi lebih produktif, ia harus mampu memindahkan tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain secara berulang. Dan, saat perpindahan terjadi, di situlah energi diperlukan agar prosesnya menjadi lebih cepat, mudah, dan nyaman.

Proses perpindahan tersebut harus tunduk pada batasan waktu dan ruang (time and spatial limitation) yang telah menjadi ketentuan Tuhan Yang Mahaesa -tubuh manusia tidak boleh ada di dua tempat pada waktu yang sama; Dan, waktu akan habis atau musnah sesaat setelah digunakan (once the time is used, then iit will be vanished). Waktu akan terus bergulir dan tidak seorang pun kuasa menghentikannya.

Mengapa tubuh yang harus pindah, bukankah kita bisa ada di banyak lokasi pada saat yang sama via teknologi (misal teleconference)? Pertanyaan itu justru membuktikan bahwa batasan waktu dan ruang di atas memang benar adanya.
Untuk mengatasinya, manusia produktif telah memanfaatkan teknologi.

Hasilnya, manusia boleh ada di banyak tempat pada saat yang sama dalam bentuk citra (image). Bahkan, bisa berulang dengan waktu yang beda sekalipun.
Namun, representasi diri semacam itu bukan fisik dan pemanfaatan teknologi sudah pasti perlu banyak energi. Ini juga salah satu sebab mengapa korelasi antara waktu dan ruang dengan energi yang terkonsumsi menjadi penting dalam mendukung produktivitas seseorang.

Energi, Pendidikan, dan Kesehatan

Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin besar pula tingkat konsumsi energi untuk menunjang berbagai aktivitas: membaca di malam hari serta pulang dan pergi, dari dan ke sekolah. Seorang anak yang duduk di bangku SMA memerlukan lebih banyak energi, misal, listrik dan BBM, daripada saat masih SMP , terlebih ketika dia masih SD. Demikian halnya dengan kesehatan, seseorang yang menjaga keseimbangan antara bekerja, pola makan, olahraga, hiburan dan rekreasi, termasuk pengobatan dan perawatan rutin kesehatan, konsumsi energinya relatif lebih besar daripada mereka yang tidak teratur.

Terlihat bahwa untuk mencapai tingkat pendidikan dan kesehatan tertentu seseorang juga perlu mengonsumsi energi yang memadai. Pendidikan dan kesehatan tidak hanya merupakan syarat agar seseorang menjadi produktif, tetapi juga agar sejahtera. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Bila jumlah penduduk saat ini sekitar 240 juta jiwa dengan pertumbuhan 1,5 persen per tahun, maka setiap tahun lahir 3,6 juta bayi. Pertanyaannya, berapa energi listrik dan BBM diperlukan agar para bayi tetap tumbuh sehat?

Sebagai ilustrasi, bila kebutuhan listrik sang bayi sekitar 10 kWh per hari atau 3.650 kWh per tahun guna menghidupkan kulkas, memanaskan air/susu, mensterilkan peralatan bayi, dan sebagainya maka untuk 3,6 juta bayi diperlukan 13.140.000 mWh atau 13.140 gWh per tahun. Bila pembangkit berkapasitas 1 MW memasok energi 5 GWh per tahun, maka untuk kebutuhan 13.140 gWh diperlukan kapasitas pembangkit baru 2.628 mW setiap tahunnya.

Begitu juga dengan BBM, bila untuk program bayi sehat pemerintah menyediakan kuota bensin 10 liter per bulan untuk mondar-mandir ke klinik, RS, dan keperluan lainnya maka untuk 3,6 juta bayi diperlukan 36 juta liter per bulan (432 juta liter) per tahun. Bagaimana dengan bayi yang lahir pada tahun kedua, ketiga, dan seterusnya sampai usia produktif, dan berapa subsidi dari APBN bila daya beli masyarakat masih rendah? Berapa pembangkit listrik, kilang minyak, dan infrastruktur lain yang harus dibangun?

Betapa kompleksnya pengelolaan energi di negeri ini. Pengelolaan energi nasional yang amat fundamental adalah merealisasikan energy security yang tahan terhadap kerentanan. Oleh sebab itu, cara pandang yang menempatkan energy security sebagai national security sudah saatnya menjadi perilaku bangsa ini.

Pemenuhan kebutuhan energi puluhan tahun ke depan harus dimulai dari sekarang dan terus-menerus berkesinambungan, terlepas dari `partai' apa pun yang sedang berkuasa. Keseriusan menjamin pasokan dengan membangun cadangan penyangga yang siap digunakan setiap saat, merupakan kepedulian terhadap kesejahteraan bangsa. Saat ini, rakyat sedang `berkutat' dengan kebutuhan pokok dan itu bukan berarti pangan saja, tetapi sedikit lebih maju dan cerdas, yaitu energi!

Pada bangsa yang besar, pemerintah dan parlemennya selalu berpikir dan bertindak besar untuk kepentingan rakyat. Kesejahteraan suatu bangsa hanya akan dicapai jika rakyatnya produktif yang ditandai oleh meningkatnya konsumsi energi per kapita dan bukan oleh meningkatnya persaingan menjelang pesta demokrasi 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar