Dampak
Sosial Kenaikan BBM
Arista Junaedi, MAHASISWA PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN
ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL UNIVERSITAS INDONESIA
ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL UNIVERSITAS INDONESIA
SUMBER : SUARA KARYA, 14 Maret 2012
Dalam perspektif apa pun, kenaikan harga BBM selalu mendatangkan
cerita buruk. Karena, trend kenaikan BBM selalu memberi effect domino atau
mulltiplier effect terhadap berbagai kebutuhan dasar masyarakat. Dampak turunan
yang paling besar adalah naiknya harga kebutuhan pokok, diikuti oleh kenaikan
tarif dasar listrik (TDL), transportasi, dan harga-harga lainnya.
Memilih menaikkan harga BBM, seperti memakan buah simalakama -
tidak makan salah, dan makan pun salah. Jika harga BBM tak dinaikkan, beban
negara akan semakin berat, aktivitas pembangunan pun akan terhambat.
Rasionalisasi penyehatan atau penyelamatan APBN pun selalu menjadi tameng yang
ampuh untuk menaikkan harga BBM.
Sebaliknya, jika harga BBM dinaikkan, APBN akan kuat, lewat
pendapatan negara yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Namun, hal ini
tidak akan berarti apa pun, jika mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup di
bawah garis kemiskinan (terancam dibatasi subsidi). Selain pengangguran
menggila, rakyat tidak mendapatkan pelayanan sosial (social service) yang baik,
jaminan sosial (social Insurance) berkualitas, akses pendidikan dan kesehatan
yang murah dan berkualitas, serta proteksi terhadap sandang-pangan-papan yang
memadai.
Kompensasi
Pemerintah memang menyiapkan skema kompensasi berharga dalam
RAPBN-P 2012 sebagai alat peredam jika harga BBM dinaikkan. Namun, dari keempat
paket kompensasi tersebut hanya beasiswa pendidikan untuk masyarakat miskin
saja yang dianggap sebagai program yang agak cerdas.
Selain itu, form kompensasi seperti pembagian bantuan langsung
tunai (BLT) yang berubah menjadi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM),
hanyalah program pengulangan yang banyak dikritik masyarakat. Program tersebut
sejauh ini dinilai gagal, karena penyalurannya banyak yang tidak tepat pada
sasaran masyarakat miskin. Program BLT hanya membuat orang miskin semakin
miskin, akibat mentalnya juga dimiskinkan oleh program filantropi dadakan.
Dana jangka pendek BLT yang berbentuk charity program hanyalah
menjerat orang miskin dalam kemalasan pasif, hingga kemiskinan absolut (poverty
of absolute) akan menjadi budaya terus menerus. Walaupun hasil survey LSI
tentang BBM, BLT, dan efek elektoral, baru-baru ini menunjukan bahwa sebanyak
69,64 persen atau 440 responden di seluruh Indonesia menyukai BLT, namun
program ini tidak harus dikapitalisasikan sebagai pemadam kebakaran secara
jangka panjang, karena berpotensi dipolitisasikan.
Kompensasi berikutnya dalam bentuk subsidi untuk transportasi agar
sektor ini tidak terlalu terpukul dengan kenaikan harga BBM, hanya
menguntungkan para pengusaha angkutan itu sendiri. Pasalnya, subsidi angkutan
yang dilakukan oleh pemerintah hanya tertuju pada suku cadang kendaraan dan pajak
kendaraan, bukan subsidi bahan bakar minyak, yang selama ini menjadi alasan
para sopir angkutan untuk meminta menaikan tarif angkutan.
Bukankah yang menjadi instrumen utama penggerak mobil angkutan
adalah BBM yang harganya sepenuhnya ditanggung oleh para sopir angkutan, dan
bukan para pengusaha angkutan yang bermain pada suku cadang mobil? Jika harga
BBM naik, maka otomatis pengeluaran sopir angkutan untuk memenuhi kebutuhan BBM
(bensin dan solar) juga meningkat. Praktis pendapatan mereka harus berkurang,
karena telah dipotong untuk mengisi tangki kendaraan, ditambah sharing income
dengan bos pemilik mobil angkutan, yang besarannya sudah pasti lebih besar
untuk si pemilik.
Itulah sebabnya, subsidi suku cadang dan pajak kendaraan tidaklah
menyentuh aspek substantif peningkatan beban transportasi dalam kenaikan BBM.
Malah membebani para sopir angkutan, dengan beban setoran yang baru. Seharusnya
pemerintah melakukan subsidi khusus untuk mobil angkutan, dengan cara
mensubsidi silang pendapatan pembelian BBM dari mobil pribadi ke harga BBM
mobil angkutan, dengan kontrol yang ketat. Sehingga fair, dan tak ada lagi
keluhan tentang pengguna BBM bersubsidi adalah 70% orang kaya pemilik mobil
pribadi.
Tentang subsidi untuk meningkatkan jumlah beras untuk orang miskin
(raskin), adalah format bantuan yang terkesan akal-akalan. Pasalnya, penyebab
kenaikan harga beras di pasaran disebabkan turunnya produksi beras dari para
petani, lahan pertanian yang semakin sempit, dan infrastruktur pertanian yang
tidak memadai, serta kurangnya keberpihakan pemerintah pada petani dalam bentuk
kebijakan. Petani selalu merugi dengan kebijakan impor beras yang selama ini
terus-menerus dilakukan oleh pemerintah sehingga mematikan produksi pertanian
nasional.
Nah, yang harus disubsidi bukanlah rakyat miskin untuk mendapatkan
beras, namun petanilah yang harus disubsidi dalam bentuk kebijakan peningkatan
produksi pertanian, pengurangan impor, pembangunan infrastruktur, dan proteksi
harga gabah di pasaran. Sehingga, terjadi surplus produksi beras nasional
dengan harga yang terjangkau, dan semua rakyat bisa merasakannya. Bukannya
meningkatkan pasokan beras kepada rakyat miskin yang ujung-ujungnya berasal
dari beras impor, dan menguntungkan pengusaha importer beras.
Paket subsidi terakhir dengan format peningkatan pemberian
beasiswa bagi rakyat miskin, lebih baik dialokasikan untuk memperbaiki ratusan
sekolah yang rusak di Tanah Air dan membangun sekolah murah dan berkualitas.
Sebab, membangun sekolah-sekolah baru yang murah, berkualitas, akan memudahkan
para anak jalanan yang miskin dan kurang mampu memiliki kesempatan yang sama
dalam bersekolah.
Oleh karena itu, paket kompensasi kenaikan harga BBM jangan sampai
menimbulkan dampak sosial yang baru di tengah masyarakat. Subsidi harus terus
dilakukan, dengan program yang cerdas, tepat sasaran dan berjangka panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar