BLSM
Harus Tepat Sasaran
Abraham Fanggidae, PEMBINA UTAMA MADYA, WIDYASWARA UTAMA
PUSDIKLAT KESEJAHTERAAN SOSIAL, KEMENTERIAN SOSIAL
PUSDIKLAT KESEJAHTERAAN SOSIAL, KEMENTERIAN SOSIAL
SUMBER : SUARA KARYA, 14 Maret 2012
Mulai 1 April 2012, pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Harga premium diperkirakan naik menjadi Rp 6.000, per
liter. Jika harga BBM jenis premium tidak dinaikkan, subsidi BBM akan terus
bertambah dan kian memberatkan APBN, apalagi harga minyak dunia pun terus
merangkak. Kebijakan ini diambil karena sekitar 70 persen BBM bersubsidi
dinikmati orang berduit, khususnya pemilik mobil dan motor pribadi.
Pemerintah mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM terhadap daya
beli rakyat miskin. Pemerintah menetapkan opsi seperti tahun 2005 dan 2008,
yaitu mengalokasikan bantuan uang tunai (cash transfer) dalam bentuk bantuan
langsung tunai (BLT). Tahun 2012, prktram macam ini disebut bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM).
Dampak kenaikan BBM akan memicu kenaikan harga barang dan jasa,
terutama harga kebutuhan pokok pasti meroket. Rakyat miskin akan terpukul
karena daya beli mereka yang rapuh akan makin lemah. Mereka makin tidak mampu
membeli berbagai kebutuhan pokok, tidak mempunyai banyak pilihan atau solusi
memperkuat daya beli. Mereka hanya bisa pasrah, menjalani kehidupan seperti
yang dilakoni setiap hari, "mengikuti air mengalir". Pasrah pada
situasi dan kondisi yang terjadi.
Ketika masalah sosial yang terkait dengan kemiskinan, kerentanan
ekonomi belum mampu ditangani dengan baik, justru terdorong makin eskalatif.
Kita amat mengkhawatirkan, maraknya peristiwa perampokan, penjambretan,
pencurian, pelacuran, kelaparan, putus sekolah, premanisme, yang tak terlepas
akibat kemiskinan. Kemudian, banyak keluarga miskin yang sakit kesulitan
menebus obat.
BLSM sebenarnya hanya "ganti baju" dari BLT yang pernah
ada pada 2005, dan 2008 karena substansi kedua program ini persis sama.
Pemerintah memberikan bantuan kepada keluarga miskin yang terdaftar sebagai
rumah tangga miskin (RTM), dalam bentuk uang tunai (cash).
Pemerintah menetapkan anggaran BLSM 2012 sekitar Rp 25 triliun,
lebih besar ketimbang BLT tahun 2005 (Rp 4, 6 tiriliun), dan BLT 2008 (Rp 14,1
triliun). BLT memberikan uang tunai Rp 100 ribu/RTM/bulan, sedangkan BLSM
mengalokasikan Rp 150 ribu/Rumah Tangga Sasaran (RTS)/ bulan. BLT 2005 dan 2008
hanya diberikan selama tiga bulan, sedangkan BLSM tahun 2012 terjadi
peningkatan bantuan selama sembilan bulan.
Pemerintah jangan tergesa-gesa, tetapi perlu memperhitungkan
permasalahan BLT 2005, 2008. Agar pelaksanaan BLSM 2012 lebih baik, dan tidak
ada friksi, gejolak, keresahan pada akar rumput atau di kalangan rakyat miskin,
seperti yang terjadi pada BLT itu. Tahapan persiapan perlu lebih matang agar
kekurangan pada 2005 dan 2008 tidak terulang kembali. Apalagi, kini birokrasi pengelola
BLSM pada umumnya pejabat atau pengelola baru. Pengelola BLT 2005, 2008 banyak
yang sudah dimutasikan ke bagian lain atau pensiun. Maka, diprediksi pengola
BLSM 2012 sebagian besar adalah muka baru yang start dari "kilometer
nol" .
Pengelola BLSM harus mau belajar dari berbagai sumber dan sudah
menganalisis cukup komprehensif permasalahan BLT 2005, 2008, agar BLSM 2012
tidak tersandung kesalahan yang sama. Identifikasi masalah BLT jilid I, II,
terbagi dalam dua bagian. Pertama, masalah yang bersumber dari lapangan/dalam
masyarakat. Kedua, masalah yang bersumber dari internal pengelola, yaitu
pemerintah. Termasuk kritikan BLT sebagai suap politik kepada rakyat, dan ini
menguntungkan partai penguasa.
Pertama, BLT I, II menuai banyak protes bahkan ditolak banyak
pejabat daerah. Ada bupati dan kepala desa menolak BLT 2008 dengan alasan
rakyat miskin yang berhak, justru tidak terdaftar dalam BLT. Ada bupati, kepala
desa mengkhawatirkan kemungkinan timbul bibit-bibit kesenjangan sosial di
antara RTM di pedesaan atau di perkotaan. Tahun 2012 penerima BLSM, ada
sebanyak 18,5 juta Rumah Tangga Sasaran (RTS). Tiap RTS terdata lengkap by name
by address.
Persoalan krusial, keluarga miskin sungguh-sungguh miskin namun
nama dan alamat tidak masuk RTS, alias tidak diikutkan program BLSM. Mereka
tinggal menyebar dari kota metropolitan Jakarta sampai desa terpencil di
pulau-pulau terluar. Mereka tunawisma, hidup di sekitar rel kereta api, kolong
jembatan, pemulung di lapak kontrakan, janda miskin, lansia miskin. Jika data
RTS tidak menjangkau populasi tersebut maka berpotensi memicu keresahan.
Karena itu, subyek persoalan kedua terletak pada birokrasi
pemerintah. BLT jilid I dan II disinyalir sebagai suap politik untuk kemenangan
partai politik tertentu. Kritikan keras datang dari elite politik, khususnya
politisi. Puluhan triliunan rupiah sebetulnya bisa digunakan untuk membangun
infrastruktur yang membuka isolasi atau menolong rakyat miskin di bidang
kesehatan, atau pendidikan. Toh, rakyat miskin mempunyai kekuatan, hanya
pemerintah saja yang menganggap enteng kekuatan rakyat miskin, dan cenderung
melihat kelemahan mereka.
Namun, jika BLSM diluncurkan, pemerintah tidak perlu meniru-niru
"semangat" BLT. Terkesan terburu-buru menggulirkan, dengan alasan
rakyat miskin mengalami shock, daya beli terpukul hebat, dan berada pada jurang
kesulitan ekonomi yang berat. Pemerintah jangan cepat menyimpulkan BLT
merupakan alat terapi yang manjur untuk mengatasi rakyat miskin yang sedang
shock. Karena, dampaknya bisa bagaikan bumerang, pengelola kewalahan, rakyat
resah di "akar rumput".
Masalah BLT I, II terkait data RTM yang masih data kasar. Proses
memperoleh RTM kurang obyektif, banyak petugas lapangan tidak profesional,
gampang terpengaruh tekanan tokoh formal dan non formal pada tingkat
desa/kelurahan.
Dalam hal ini pemerintah perlu mempersiapkan diri, agar mekanisme
BLSM tidak mengulangi kesalahan masa lalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar