Berpacu
Mencekik Orang Miskin
Bambang Satriya, GURU BESAR DAN DOSEN LUAR BIASA
UNIVERSITAS
MA-CHUNG DAN UIN MALANG
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 22 Maret 2012
ATMOSFER
pengeksploitasian dan pengebirian hak hak orang miskin di negeri ini sema kin
gampang dibaca dan ditemui seiring dengan semakin dekatnya kebijakan penaikan
harga BBM diberlakukan. Mereka dijadikan korban atau tumbal kalangan pemilik
modal besar yang memanfaatkan praktik kerakusan dan ketidakcermatan manajemen
kekuasaan yang sebatas menggunakan paradigma `kacamata kuda'. Praktik dengan
basis paradigma itu dapat terbaca pada kebijakan pemerintah yang memaksa
menjadikan penaikan harga BBM sebagai solusi yang tak bisa ditawar lagi.
Beberapa pakar menilai negara (pemerintah) telah melahirkan kebijakan yang akan
menciptakan atau memproduksi banyak orang miskin.
Dengan
merujuk data pemerintah, orang miskin ialah mereka dengan pengeluaran Rp7.000
per hari per orang untuk nasional dan Rp10 ribu untuk Jakarta. Namun, ekonom
Hendri Saparini menilai ukuran kemiskinan itu tidak rasional. Berdasarkan
ukuran kemiskinan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin
di Indonesia hanya 31 juta orang. Adapun data dari Bank Dunia dengan ukuran
kemiskinan pengeluaran US$2 per hari, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai
59% atau setengah dari penduduk Indonesia.
Lewat
penaikan harga BBM itu, ongkos yang barangkali tidak terelakkan untuk `dibayar'
negara ialah keniscayaan terjadinya kompensasi atau rentannya muncul aksi-aksi
radikal, fundamentalistis, dan ekstrem, di samping terjadinya tindak kriminal
karena kesulitan ekonomi berlapis yang menderanya. Alamsyah Ratuperwiranegara
pernah mengingatkan ada dua musuh utama yang harus diwaspadai, yakni kemiskinan
dan kebodohan.
Penaikan
harga BBM memang diharapkan pemerintah akan mampu menyangga beberapa kebutuhan
fundamental rakyat seperti kebutuhan di bidang pendidikan dan kesejahteraan
`instan' (mendapatkan BLT). Akan tetapi di sisi lain, rakyat miskin bisa
semakin hidup miskin. Mereka dibuat miskin tidak hanya oleh penaikan harga BBM,
tetapi juga oleh pengusahapengusaha yang berpesta pora menyambut penaikan harga
BBM ini dengan menaikkan harga produksi mereka secara mencekik.
Bisa
saja ketidakberdayaan suatu komunitas (community
empowerment) yang menjadi korban ketidakadilan dan ketidakmanusiawian
praksis sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya secara reflektif dan
eksplosif menunjukkan kemarahan dengan mengunggulkan protes (perlawanan) yang
sangat radikal dan barbar karena mereka sudah tidak bisa menahan desakan emosi
dalam diri akibat ditindas secara berlarut-larut dan berlapis.
Sosiolog
Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, “Akar dari semua gerakan atau aksi massa
itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan.“ Hernando de Soto menguatkan,
“Rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan
tindakan ilegal yang sulit dikendalikan.“ Sejalan dengan itu, Girand dalam
Violence and Sacred (1989) mengemukakan keberingasan itu terjadi karena
perasaan tertekan yang berlangsung secara intens dan meluas dalam masyarakat.
Keberingasan atau kejahatan kekerasan bisa begitu saja terjadi akibat frustrasi
akut yang diderita seseorang dan masyarakat.
Pandangan
Hurton, Hunt, dan Girand itu menunjukkan kekerasan individual dan massal
berpotensi terjadi karena terkait secara signifikan dengan perasaan
ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil, disparitas distribusi sumber
pendapatan, serta praktik dehumanisasi atau ketidakberadaban yang berbingkai
apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budaya negara. Ketika
seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat,
bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas, dan kriminalitas.
Kerusuhan dan kekerasan pada akhirnya menjadi `ongkos' sosial (social cost) atas kesenjangan yang
terlestarikan, kemiskinan yang absolut, kemus tadh'afinan yang tidak teretas
dan terbebaskan. Mereka, orang miskin `menjawab' praktik kezaliman pasar,
bisnis, dan dehumanisasi diskresi ekonomipolitik yang diproduksi pemerintah
yang membuat komunitas miskin semakin akrab dengan penderitaan.
Bahasa
yang digunakan orang miskin ketika bahasa keadilan, kejujuran, amanah kepemimpinan
, kebijakan yang memanusiaan, dan kesungguhan mewujudkan pengabdian sedang
lenyap dari persada adalah bahasa perlawanan, antagonistis, dan paradoksal.
Mereka tidak mungkin akan bersabar terus-menerus menerima realitas ketidakadilan
dan ketidakmanusiawian yang mengamputasi dan menghegemoni.
Jika
memang merasa sudah menghitung dengan benar, jujur, adil, dan manusiawi kebijakan
menyesuaikan harga BBM ini, serta merasa tidak perlu lagi dibatalkan, pemerintah
harus terusmenerus turun kelapangan sosial atau `zona empiris' untuk melakukan
operasi pasar supaya efek domino penaikan harga BBM tidak memproduksi
penindasan gaya baru yang semakin menderitakan orang miskin.
Baik
di masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW maupun Khalifah Umar bin Khattab,
operasi pasar kerap kali dilakukan untuk mencegah dan menindak tegas oknumoknum
sosial yang menjadi spekulan (politik-ekonomi) yang mengacaukan (merusak) harga
pasar, menimbun barang, serta memonopoli atau melakukan perdagangan tidak
terpuji dan tidak manusiawi.
Apa
yang dipraksiskan Nabi dan Khalifah Umar itu sesungguhnya untuk
mengimplementasikan perlindungan hak sosial (social rights), supaya masyarakat kecil dan privilese mereka selaku
konsumen dan pedagang-pedagang kecil tidak dijadikan sebagai objek (bumper) keserakahan dan `gurita' elite
ekonomi yang hanya mengultuskan aspek materialistis. Budayawan Kuntowijoyo
(almarhum) pernah mengingatkan pengusaha itu merupakan pelaku sejarah di garis
depan yang akan banyak menyengsarakan rakyat.
Sabda
Nabi Muhammad SAW mempertegas, “Barang siapa di waktu pagi berniat untuk
membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan seorang muslim, maka
baginya ganjaran se perti ganjaran haji yang mabrur. Hamba yang paling di
cintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia. Seutama-utamanya amal
ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang beriman, melepaskan lapar,
membebaskan kesulitan, atau membayar utang.“
Hadis
itu mengajarkan supaya manusia itu berlomba jadi pengimplementasi perlindungan
(pembela) penderitaan sesamanya. Hak privasi yang dicintainya juga tak
dikultuskan untuk kepentingan pribadi, kroni, dan keluarganya, tetapi
dipersembahkan bagi publik yang sedang dihadapkan dengan ragam penderitaan.
Harga BBM belum naik, rakyat sudah dikepung atau terhegemoni penderitaan akibat
ulah spekulan politik yang sudah membikin mereka menderita.
Dengan
demikian sangat tidak manusiawi jika ada komponen bangsa yang mengeksploitasi
dan mengendarai penderitaan rakyat lagi, apalagi memproduksi aktivitas
ekonomipolitik yang membuat mereka semakin tercekik `sekarat' dan terperosok
dalam kubangan penderitaan sistemis dan berkepanjangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar