Kamis, 22 Maret 2012

Berpacu Mencekik Orang Miskin


Berpacu Mencekik Orang Miskin
Bambang Satriya, GURU BESAR DAN DOSEN LUAR BIASA
UNIVERSITAS MA-CHUNG DAN UIN MALANG
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 22 Maret 2012



ATMOSFER pengeksploitasian dan pengebirian hak hak orang miskin di negeri ini sema kin gampang dibaca dan ditemui seiring dengan semakin dekatnya kebijakan penaikan harga BBM diberlakukan. Mereka dijadikan korban atau tumbal kalangan pemilik modal besar yang memanfaatkan praktik kerakusan dan ketidakcermatan manajemen kekuasaan yang sebatas menggunakan paradigma `kacamata kuda'. Praktik dengan basis paradigma itu dapat terbaca pada kebijakan pemerintah yang memaksa menjadikan penaikan harga BBM sebagai solusi yang tak bisa ditawar lagi. Beberapa pakar menilai negara (pemerintah) telah melahirkan kebijakan yang akan menciptakan atau memproduksi banyak orang miskin.

Dengan merujuk data pemerintah, orang miskin ialah mereka dengan pengeluaran Rp7.000 per hari per orang untuk nasional dan Rp10 ribu untuk Jakarta. Namun, ekonom Hendri Saparini menilai ukuran kemiskinan itu tidak rasional. Berdasarkan ukuran kemiskinan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia hanya 31 juta orang. Adapun data dari Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan pengeluaran US$2 per hari, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 59% atau setengah dari penduduk Indonesia.

Lewat penaikan harga BBM itu, ongkos yang barangkali tidak terelakkan untuk `dibayar' negara ialah keniscayaan terjadinya kompensasi atau rentannya muncul aksi-aksi radikal, fundamentalistis, dan ekstrem, di samping terjadinya tindak kriminal karena kesulitan ekonomi berlapis yang menderanya. Alamsyah Ratuperwiranegara pernah mengingatkan ada dua musuh utama yang harus diwaspadai, yakni kemiskinan dan kebodohan.

Penaikan harga BBM memang diharapkan pemerintah akan mampu menyangga beberapa kebutuhan fundamental rakyat seperti kebutuhan di bidang pendidikan dan kesejahteraan `instan' (mendapatkan BLT). Akan tetapi di sisi lain, rakyat miskin bisa semakin hidup miskin. Mereka dibuat miskin tidak hanya oleh penaikan harga BBM, tetapi juga oleh pengusahapengusaha yang berpesta pora menyambut penaikan harga BBM ini dengan menaikkan harga produksi mereka secara mencekik.

Bisa saja ketidakberdayaan suatu komunitas (community empowerment) yang menjadi korban ketidakadilan dan ketidakmanusiawian praksis sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya secara reflektif dan eksplosif menunjukkan kemarahan dengan mengunggulkan protes (perlawanan) yang sangat radikal dan barbar karena mereka sudah tidak bisa menahan desakan emosi dalam diri akibat ditindas secara berlarut-larut dan berlapis.

Sosiolog Hurton dan Hunt (1987) membenarkan, “Akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan.“ Hernando de Soto menguatkan, “Rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan.“ Sejalan dengan itu, Girand dalam Violence and Sacred (1989) mengemukakan keberingasan itu terjadi karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens dan meluas dalam masyarakat. Keberingasan atau kejahatan kekerasan bisa begitu saja terjadi akibat frustrasi akut yang diderita seseorang dan masyarakat.

Pandangan Hurton, Hunt, dan Girand itu menunjukkan kekerasan individual dan massal berpotensi terjadi karena terkait secara signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil, disparitas distribusi sumber pendapatan, serta praktik dehumanisasi atau ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budaya negara. Ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas, dan kriminalitas. Kerusuhan dan kekerasan pada akhirnya menjadi `ongkos' sosial (social cost) atas kesenjangan yang terlestarikan, kemiskinan yang absolut, kemus tadh'afinan yang tidak teretas dan terbebaskan. Mereka, orang miskin `menjawab' praktik kezaliman pasar, bisnis, dan dehumanisasi diskresi ekonomipolitik yang diproduksi pemerintah yang membuat komunitas miskin semakin akrab dengan penderitaan.

Bahasa yang digunakan orang miskin ketika bahasa keadilan, kejujuran, amanah kepemimpinan , kebijakan yang memanusiaan, dan kesungguhan mewujudkan pengabdian sedang lenyap dari persada adalah bahasa perlawanan, antagonistis, dan paradoksal. Mereka tidak mungkin akan bersabar terus-menerus menerima realitas ketidakadilan dan ketidakmanusiawian yang mengamputasi dan menghegemoni.

Jika memang merasa sudah menghitung dengan benar, jujur, adil, dan manusiawi kebijakan menyesuaikan harga BBM ini, serta merasa tidak perlu lagi dibatalkan, pemerintah harus terusmenerus turun kelapangan sosial atau `zona empiris' untuk melakukan operasi pasar supaya efek domino penaikan harga BBM tidak memproduksi penindasan gaya baru yang semakin menderitakan orang miskin.
Baik di masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW maupun Khalifah Umar bin Khattab, 
operasi pasar kerap kali dilakukan untuk mencegah dan menindak tegas oknumoknum sosial yang menjadi spekulan (politik-ekonomi) yang mengacaukan (merusak) harga pasar, menimbun barang, serta memonopoli atau melakukan perdagangan tidak terpuji dan tidak manusiawi.

Apa yang dipraksiskan Nabi dan Khalifah Umar itu sesungguhnya untuk mengimplementasikan perlindungan hak sosial (social rights), supaya masyarakat kecil dan privilese mereka selaku konsumen dan pedagang-pedagang kecil tidak dijadikan sebagai objek (bumper) keserakahan dan `gurita' elite ekonomi yang hanya mengultuskan aspek materialistis. Budayawan Kuntowijoyo (almarhum) pernah mengingatkan pengusaha itu merupakan pelaku sejarah di garis depan yang akan banyak menyengsarakan rakyat.

Sabda Nabi Muhammad SAW mempertegas, “Barang siapa di waktu pagi berniat untuk membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan seorang muslim, maka baginya ganjaran se perti ganjaran haji yang mabrur. Hamba yang paling di cintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia. Seutama-utamanya amal ialah memasukkan rasa bahagia pada hati orang beriman, melepaskan lapar, membebaskan kesulitan, atau membayar utang.“

Hadis itu mengajarkan supaya manusia itu berlomba jadi pengimplementasi perlindungan (pembela) penderitaan sesamanya. Hak privasi yang dicintainya juga tak dikultuskan untuk kepentingan pribadi, kroni, dan keluarganya, tetapi dipersembahkan bagi publik yang sedang dihadapkan dengan ragam penderitaan. Harga BBM belum naik, rakyat sudah dikepung atau terhegemoni penderitaan akibat ulah spekulan politik yang sudah membikin mereka menderita.

Dengan demikian sangat tidak manusiawi jika ada komponen bangsa yang mengeksploitasi dan mengendarai penderitaan rakyat lagi, apalagi memproduksi aktivitas ekonomipolitik yang membuat mereka semakin tercekik `sekarat' dan terperosok dalam kubangan penderitaan sistemis dan berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar