Besaran
Subsidi BBM
Arif Budimanta, KOORDINATOR KAUKUS EKONOMI KONSTITUSI
SUMBER : KOMPAS, 14 Maret 2012
Pemerintah secara resmi telah menyampaikan
Nota Keuangan serta Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara Perubahan Tahun
Anggaran 2012 kepada DPR.
Usulan ini merupakan yang tercepat lima tahun
terakhir mengingat biasanya perubahan diusulkan dan dibahas pemerintah bersama
DPR pada bulan Mei sampai Agustus tahun fiskal berjalan. Ada dua alasan utama
pengajuan disampaikan di awal tahun: dinamika krisis keuangan global yang belum
menyurut dan kenaikan harga minyak dunia yang berdampak pada rencana kenaikan
harga BBM bersubsidi.
Tanpa kenaikan harga BBM, kian berat beban
anggaran yang dirasakan pemerintah. Dari rancangan yang diajukan pemerintah,
ada peningkatan subsidi Rp 8 triliun lebih, sementara kenaikan harga tetap
dilaksanakan.
Komponen Alpha
Pada RAPBN-P, pemerintah menetapkan asumsi
harga minyak mentah 105 dollar AS per barrel (setara 158,9 liter). Nilai tukar
rupiah dipatok Rp 9.000 per dollar AS. Harga BBM bersubsidi diusulkan naik Rp
1.500 dari Rp 4.500 jadi Rp 6.000 per liter, seperti sudah disampaikan
pemerintah pada rapat kerja dengan DPR, 7 Maret 2012.
Seperti kita ketahui, pemerintah menggunakan
formula penetapan harga BBM bersubsidi melalui harga pokok yang dipengaruhi
perkembangan harga minyak mentah dunia ditambah komponen alpha—biasanya sekitar
10 persen dari harga nonsubsidi—dan pajak 15 persen. Komponen alpha merupakan
biaya distribusi dan keuntungan Pertamina, perusahaan milik negara yang
diamanatkan memenuhi kebutuhan BBM bersubsidi dalam negeri.
Tahun ini, sesuai RUU APBN-P 2012 Pasal 7,
total BBM yang harus disubsidi 40 juta kiloliter atau setara 40 miliar liter,
dengan anggaran sekitar Rp 133 triliun, setara Rp 3.325 per liter.
Berdasarkan asumsi yang sudah ditetapkan
pemerintah, harga BBM jika tak disubsidi mencapai Rp 9.325 per liter (rencana
kenaikan harga BBM menjadi Rp 6.000 ditambah subsidi per liter Rp 3.325).
Sementara dalam hitungan sederhana, ongkos produksi dari bahan mentahnya saja
mencapai Rp 5.947 per liter jika harga minyak mentah Indonesia (ICP) 105 dollar
AS per barrel. Antara harga seharusnya yang Rp 9.325 dan biaya produksi ada
selisih Rp 3.378 per liter.
Untuk apa sebenarnya ada perbedaan sebesar
ini? Itulah komponen alpha (biaya distribusi, keuntungan Pertamina) dan pajak,
yang besarannya mencapai 36 persen. Padahal, di permukaan disebutkan, kisaran
total komponen alpha dengan pajak seharusnya hanya 25 persen sehingga ada
selisih 11 persen. Dengan model perhitungan ini, patutlah kita mengharapkan
pemerintah dapat menjelaskan ke mana larinya selisih ini.
Besaran Subsidi
UUD 1945 Pasal 23 menyebutkan APBN harus
dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jika selisih 11 persen yang setara Rp 1.025 per liter kita kalikan total BBM
yang disubsidi, yaitu 40 miliar liter, berarti nilainya lebih dari Rp 40
triliun. Apalagi, selain komponen alpha yang perlu dipertanyakan lantaran
besarnya menakjubkan, ada subsidi yang juga besar.
Dengan asumsi di atas, tambahan subsidi per
liter dalam hitungan sederhana tadi hanya Rp 1.989 per liter, yakni selisih
antara harga jual baru dan harga produksi plus alpha dan pajak. Total sebesar
Rp 79,5 triliun, bukan Rp 133 triliun seperti tercantum dalam pengajuan RUU
RAPBN-P 2012. Apalagi kalau kita mengacu pada best practice yang berlaku di AS.
Seperti terlihat dalam publikasi US
Energy Information Administration, besaran komponen alpha dan pajak hanya
24 persen.
Transparansi menyangkut dua hal—besaran komponen
alpha yang misterius dan nilai subsidi yang membengkak jauh lebih besar dari
angka yang seharusnya—inilah yang harus bisa dijelaskan oleh pemerintah dalam
proses pembahasan RUU APBNP-2012 dengan DPR. Hal ini penting karena persoalan
BBM ini terkait dengan hajat hidup rakyat secara langsung dan dampak sosial
ekonomi jangka panjang. Tak cukup pemerintah hanya memberikan pemanis bantuan
langsung tunai yang berdampak jangka pendek. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar