Selasa, 13 Maret 2012

Gerakan Revolusi Biru Menuju Indonesia Baru ( Bag-2 )

Gerakan Revolusi Biru Menuju Indonesia Baru
( Bag-2 )
Parni Hardi, WARTAWAN SENIOR
SUMBER : JAWA POS, 13 Maret 2012



DULU pelaut-pelaut Nusantara berlayar sampai ke Madagaskar dan wilayah Afrika Selatan. Keunggulan nenek moyang kita itulah yang kemudian mengilhami lahirnya lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut. Sayang, lagu itu sekarang jarang diperdengarkan. Padahal, katanya kita bangsa bahari. Alih-alih pahlawan laut yang dielu-elukan, yang muncul banyak "buaya darat".

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas 17 ribu pulau lebih dengan lautan dangkal yang menyatukannya, menurut Badan Kelautan Amerika Serikat (NOA) adalah sebuah benua maritim (maritime continent). Saya dapat informasi mengenai ini kali pertama waktu ikut Menristek B.J. Habibie ke AS tiga dasawarsa lalu.

Indonesia adalah negara terkaya dalam keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) di dunia. Jika digabung dengan keanekaragaman hayati daratan, Brazil berada di urutan pertama dan Indonesia kedua.

Posisi geografisnya yang strategis dan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah telah menjadikan Indonesia sebagai Lebensraum (ruang hidup) masa depan terbesar umat manusia sedunia. Itu bukan mustahil. Apalagi, akhir-akhir ini mulai diungkapkan temuan bahwa Benua Atlantis yang hilang itu sebenarnya adalah wilayah Nusantara atau NKRI sekarang ini. Tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia kecuali segera melancarkan Revolusi Biru (Blue Revolution) yang mulai saya perkenalkan saat saya berbicara di Lanudal Juanda beberapa tahun silam.

Dunia pernah melancarkan Revolusi Hijau (Green Revolution) pada 1970-an dalam upaya mencukupi kebutuhan pangan manusia. Indonesia berkat revolusi itu pernah berhasil mencapai swasembada beras, yakni zaman Pak Harto pada 1985. Saat mendapat penghargaan Food and Agriculture Organization (FAO) PBB di Roma, saya meliputnya sebagai wartawan Antara di Eropa.

Namun, Revolusi Hijau telah mendorong pembukaan hutan sebagai lahan pertanian dan penggunaan bahan-bahan kimia untuk pupuk dan pestisida secara berlebihan. Bersamaan itu, eksploitasi energi fosil yang bersumber di daratan telah merusak lingkungan hidup.

Jadi, singkat kata, jika kita tidak ingin kehilangan kedaulatan, kehormatan, dan hidup miskin, mari kita ubah mind set: dari terlalu berorientasi daratan menjadi lebih ke laut.

TNI-AL sebagai salah satu stakeholder penting negeri ini sudah lama giat melakukan berbagai diskusi dan kajian tentang upaya memanfaatkan potensi maritim Indonesia. Dari KSAL ke KSAL hal itu diangkat ke permukaan, tapi gaungnya dan lebih-lebih lagi dampaknya kok belum banyak tampak. Padahal, kertas-kertas makalah tentang itu (termasuk tulisan ini), jika disusun, saya tidak tahu sudah setinggi gedung berapa tingkat.

Ada angin baru waktu Gus Dur menjadi presiden. Dia membentuk Departemen Eksplorasi Kelautan yang kemudian menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sampai sekarang. Para menteri kelautan kita tentu sudah berupaya dan ada hasilnya, tapi masih jauh dari yang kita harapkan.

Untuk memimpin Revolusi Biru perlu pemimpin besar yang visioner dan bersemangat revolusioner. Ini karena yang diubah adalah cara pandang dan mitos, yang diidap hampir kita semua, mulai para pemimpin penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengusaha, pendidik, pimpinan media massa, LSM, nelayan, dan rakyat.

Revolusi Biru adalah urusan sangat besar, urusan hari depan, hidup dan mati, terhormat atau terhina. Karena itu, ini bukan hanya urusan Dispenal, TNI-AL, TNI secara keseluruhan, dan Menteri Kelautan dan Perikanan sekalipun. Ini urusan nasional dan global. Perlu seorang pemimpin besar yang visioner dan bersemangat revolusioner. Idealnya, presiden RI setelah Pak SBY nanti adalah tokoh besar yang visioner, revolusioner, dan berorientasi ke laut.

Apa ada? Pasti ada.

Saya berharap pemimpin visioner dan revolusioner yang prolaut itu segera muncul dan dengan gagah berani memproklamasikan Revolusi Biru: menyatakan Indonesia sebagai negara maritim. Alangkah membanggakannya, jika proklamasi itu bisa dikumandangkan dalam rangka memaknai HUT Ke-70 Proklamasi RI, 17 Agustus, 2015.

Memang mengolah potensi laut lebih sulit dan lebih mahal daripada mengolah daratan. Tapi, di situ terletak tantangannya. Justru karena itulah, Indonesia perlu pemimpin yang visioner dan revolusioner, yang dengan gagah berani melakukan lompatan jauh ke depan!

Revolusi Biru tentu perlu biaya besar untuk menyiapkan SDM melalui pendidikan, diklat, litbang, dan investasi untuk membangun infrastruktur untuk industri maritim, pangan, energi, pertahanan/keamanan, dan pelestarian lingkungan hidup.

Dengan anggaran pendidikan yang jumlahnya sudah lumayan besar, tentu mulai sekarang pendidikan SDM bidang kelautan harus diberi alokasi yang lebih besar. Sekolah-sekolah kejuruan (SMK) kelautan, perguruan tinggi, pusat-pusat litbang kelautan perlu lebih banyak dibangun.

Tentu saja, prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan laut, terutama TNI-AL, harus diperkuat berlipat ganda agar kita tidak diremehkan oleh negara tetangga dan kekayaan laut kita tidak dicuri orang asing.

Selain diancam, seseorang mau berubah jika melihat peluang keuntungan. Jika dikelola dengan betul, pemanfaatan potensi kelautan kita menjanjikan keuntungan besar bagi para pihak yang bergerak di bidang pangan, ener­gi, perdagangan, pariwisata, industri perkapalan, lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan, serta kemakmuran bagi SDM yang bekerja di laut, nelayan, dan rakyat pada umumnya.

Seiring dengan perubahan mind set melalui jalur pendidikan, yang tak kalah penting adalah peran media massa dalam melakukan kampanye penyadaran (awareness campaign) serta sosialisasi melalui media massa (cetak dan elektronika), media sosial (Facebook, Twitter, Youtube) dan kegiatan seni-budaya secara gencar dan terarah. Juga melalui kegiatan yang bersifat informatif, edukatif, rekreatif, advokatif, mencerah­kan, dan memberdayakan.

Masa depan, kedaulatan, kemakmuran, dan harga diri kita sebagai bangsa ditentukan oleh keunggulan kita di laut. "Jalesveva Jayamahe!" harus mewujud, bukan dalam semboyan dan patung di pangkalan TNI-AL Surabaya itu saja. (Habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar