Jumat, 16 Maret 2012

Agama di Ruang Publik


Agama di Ruang Publik
Komaruddin Hidayat, REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH
SUMBER : SINDO, 16 Maret 2012



Banyak ilmuwan sosial Barat tertarik meneliti hubungan agama dan negara di Asia Tenggara.Topik agama di ruang publik tidak habis-habisnya dikaji mengingat modernisasi dan demokrasi model Barat tidak sertamerta cocok ketika diterapkan di benua Timur.

Asia Tenggara adalah masyarakat yang memiliki tradisi dan semangat agama kental sehingga meletakkan agama ke dalam wilayah pribadi seperti di Barat pasti sulit diterapkan. Hubungan mayoritas-minoritas pemeluk agama di Filipina, Thailand, dan Indonesia selalu menimbulkan ketegangan politik dan isu pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan di atas mengemuka dalam konferensi internasional Religion in Public Spaces in Contemporary South East Asia dalam rangka memperingati 35 tahun persahabatan Pemerintah Kanada dan organisasi ASEAN, yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Hotel Sahid, 13–14 Maret 2012.

Filipina mayoritas penduduknya beragama Katolik, lalu Thailand mayoritas beragama Buddha, sementara Indonesia mayoritas Islam. Masing-masing memiliki problem hubungan mayoritasminoritas sehingga peran agama dalam wilayah publik selalu melahirkan perdebatan dan konflik antarpemeluk agama yang berbeda. Masyarakat Barat yang Nasrani memiliki tradisi agama dan sejarah yang sangat berbeda dengan dunia Islam.Merasa capai berkonflik antara tokoh gereja di satu pihak dan ilmuwan serta pejuang kebebasan di pihak lain yang berlangsung di Eropa pada abad pertengahan, Benua Amerika menawarkan kehidupan baru bagi pendukung paham liberalisme.

Di benua baru inilah paham liberalisme yang sangat menjunjung tinggi hak-hak individu diimplementasikan di bawah konstitusi negara sekuler dan sistem demokrasi. Di Amerika Serikat (AS) agama dan negara dipisah. Orang hendak beragama atau tidak beragama itu sepenuhnya urusan pribadi. Jika terjadi konflik antarwarga atau antarkomunitas, penyelesaiannya melalui meja pengadilan negara, bukan melalui tokoh dan lembaga agama.

Pengalaman di Barat, lembaga ilmu pengetahuan, industri, dan negara memiliki kepercayaan diri yang tinggi di hadapan tokoh dan lembaga agama dalam mengatur dan memajukan masyarakatnya. Agama sebatas berperan memberi layanan spiritual bagi warga negara yang berminat,tetapi semua itu merupakan hak dan pilihan pribadi. Secara teologis sikap ini memperoleh pembenaran dari Bibel yang membuat pemisahan tegas antara agama dan politik, urusan agama serahkan kepada pendeta, urusan politik serahkan kepada raja.

Doktrin, teori, dan pengalaman AS ini jelas sulit diterapkan di dunia Islam karena umat Islam memiliki ajaran, tradisi, dan pengalaman kolektif yang berbeda. Nabi Muhammad yang dijadikan model kepemimpinan agama, politik, dan sosial oleh umat Islam ketika wafat justru mewariskan kekuasaan politik yang dibangun di atas fondasi ajaran agama. Warisan tradisi ini dijaga dan bahkan dikembangkan lagi oleh khalifah berikutnya yang pada urutannya melahirkan peradaban agung yang diakui dunia.

Jadi, terdapat ingatan kolektif umat Islam yang sangat kuat bahwa agama dan negara itu tidak terpisahkan dan hubungan sinergis antara keduanya pernah melahirkan peradaban besar. Kenyataan ini jelas berbeda dari sejarah kristiani dan perkembangan modernisasi di Barat. Namun sekarang muncul persoalan baru yang mesti dipikirkan dan dipecahkan bersama, bagaimana me-mosisikan agama ketika muncul negara modern berdasarkan paham nasionalisme seperti halnya Indonesia?

Dalam konteks ini sungguh jenius ijtihad politik para pendiri bangsa yang menjembatani keduanya melalui ideologi Pancasila.Secara formal Indonesia adalah negara sekuler, dalam pengertian bukan negara teokrasi, tetapi negara memberikan proteksi dan fasilitas bagi perkembangan agama yang ada. Nilai-nilai dan norma agama boleh memasuki ruang publik, tetapi mesti melalui proses legalisasi terbuka sehingga menjadi bagian dari hukum positif. Maka muncullah produk undang-undang yang diinspirasi oleh nilai agama yang kemudian mengikat bagi warga negara.

Terdapat ruang akomodatif bagi agama untuk memperkaya hukum nasional dan etika publik sepanjang semua kelompok agama bersikap toleran, saling menghargai tradisi agama lain. Hanya saja yang tak kalah pentingnya adalah ketegasan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warganya, apa pun agamanya, sehingga etika, spirit, dan norma komunal tidak menggeser dan mengalahkan hukum positif yang telah disepakati.

Tanpa ketegasan pemerintah menegakkan hukum secara adil, keragaman komunitas di Indonesia akan hilang keindahannya, lalu berubah menjadi sumber konflik dan mengancam ketenteraman dan keutuhan berbangsa serta bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar