Aceh,
Banten, dan Mindanao
Oman Fathurahman, DOSEN FAH UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA,
KETUA
UMUM MASYARAKAT PERNASKAHAN NUSANTARA
SUMBER : REPUBLIKA, 9 Maret 2012
Siapa
mengira bahwa seorang ulama penting Kesultanan Banten pada abad ke-18, Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani,
adalah ternyata guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao, Filipina
Selatan, pada masa lalu? Dan, siapa sangka, bagi Muslim Mindanao, Aceh pernah
menjadi kiblat keilmuan Islam sejak ratusan tahun lalu?
Nyatanya,
begitulah yang terekam dalam beberapa manuskrip Islam Melayu di Marawi City,
sebuah kota berpenduduk 90 persen Muslim di Pulau Mindanao. Ini baru terungkap
setelah ratusan tahun terkubur dalam sejarah masyarakat Melayu di wilayah
tersebut.
Perjalanan
udara dan darat yang cukup melelahkan dari Manila ke Kota Marawi City pada
Sabtu (25/2) lalu seakan terbayar ketika saya bersama sejarawan dari Sophia
University, Profesor Kawashima Midori, dan Ervan Nurtawab dari STAIN Jurai Siwo
Metro Lampung, akhirnya dapat membuka-buka 12 manuskrip Islam berbahasa Melayu.
Naskah
itu teronggok tak terawat dalam karung plastik di Shiek Ahmad Basher Memorial
Research Library, Jamiat Muslim Mindanao di Matampay, Marawi City, Filipina.
Sehari sebelumnya, Alim Usman Imam membawa kami ke Maktabat al-Imam Assadiq,
Masjid Karbala, tempat tersimpannya 49 manuskrip Islam Melayu dan Arab warisan
Haji Muhammad Said atau Sayyidna. Dia adalah ulama pengembara abad ke-19 asal
Magonaya, Mindanao, yang pernah singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang
sebelum tujuh tahun belajar di Haramayn.
Kondisi
manuskrip di tempat ini sudah lebih tertata berkat ‘sentuhan’ filolog dari
Universitas Indonesia, Tommy Christomy. Dia sudah datang beberapa tahun
sebelumnya bersama Kawashima Midori.
Jaringan yang Terlupakan
Sejauh
ini, “Jaringan Ulama“ Azyumardi Azra (1994) dianggap sebagai kajian terlengkap
saling silang hubungan keilmuan antarulama Melayu-nusantara dan Haramayn. Tapi,
keterlibatan ulama Melayu-Mindanao ternyata masih luput dari pengamatannya. Itu
mungkin karena sulitnya akses terhadap khazanah naskah Melayu di wilayah
konflik ini. Menyimak lembar demi lembar manuskrip yang ham pir seluruhnya
berbahasa Melayu dan Arab tersebut, membawa saya pada satu asumsi bahwa
hubungan keilmuan Muslim Mindanao dengan ulama-ulama nusantara di Aceh dan
Banten telah terjalin cukup kuat pada masa lalu.
Salah
satu manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma’arif karangan ulama Mindanao,
Syekh Ihsan al-Din, misalnya, menyebutkan, “… bahwasanya Syekh ki ta, Syekh
Haji Abdullah ibn Abdul Qahhar al-Syattari al-Syafi’i Banten telah mengambil
Tarekat al-Syattari ja lan kepada Allah ….” Seperti kita mafhum, Abdul Qahhar
al-Bantani yang disebut sebagai ‘Syekh kita’ itu adalah mursyid Tarekat
Syattariyah pada masa Sultan Zain al-Asyiqin, penguasa Kesultanan Banten abad
ke-18.
Nama-nama
guru yang disebut dalam silsilah ulama Mindanao ini ujung-ujungnya ternyata
juga terhubungkan kepada Ahmad al-Qusyasyi. Dia adalah guru bagi ulama Aceh
terkemuka pada abad ke-17, Abdurrauf al-Jawi al-Sinkili.
Bukti
hubungan intelektual Muslim Maranaos dengan Aceh juga dapat ditemukan dalam
beberapa manuskrip koleksi Shiek Ahmad Basher di Jamiat Muslim Mindanao. Dalam
manuskrip ter sebut, antara lain, disebutkan kitab tasawuf Umdat al-muhtajin
karya alSinkili dan kitab hadis Hidayat alHabib fi al-Targhib wa al-Tarhib
karya Nuruddin al-Raniri sebagai rujukan da lam karya-karyanya.
Bahkan,
di Perpustakaan Nasional Jakarta, kita menjumpai sebuah naskah Melayu ML 361
berjudul Bidayat al-Mubadi ‘ala ‘Aqidat al-Mubtadi karangan “…Abdul Majid
Mindanawi pada nama negerinya, Syafi’i pada mazhabnya …” Di akhir halaman,
Abdul Majid menjelaskan bahwa ia menulis karyanya ini fi balad al-Asyi (Aceh)
pada Jumat, 6 Rajab masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1767-1787), pewaris
takhta dari Sultan Johan Syah. Bisa jadi, Abdul Majid pernah belajar langsung
kepada ulama-ulama terkemuka di Aceh masa itu dan cukup dekat dengan kalangan
istana.
Akses dan Konflik
Sulitnya
akses terhadap bukti-bukti tertulis sejarah Melayu Islam di Mindanao memang
menjadi masalah tersendiri. Konflik etnis dan politis yang berlarut-larut
mengakibatkan setiap orang cenderung curiga dan hati-hati kepada setiap
pendatang. Andai tidak ditemani Alim Usman Imam, alumni Universitas Al-Azhar
yang sangat mengagumi Soekarno itu, tak terbayangkan kami dengan mudah bisa
melewati puluhan titik checkpoint
yang dikawal tentara dengan senjata berlaras panjang ini.
Akses
terhadap jejak-jejak intelektual Muslim di bagian lain Melayu-nusantara pun
kini telah terbuka. Bukan hanya Koleksi Haji Muhammad Said dan Shiek Ahmad
Basher, melainkan juga koleksi-koleksi lain yang mulai terkuak, seperti Koleksi
Gurosa Masiu, Ismael Yahya, Nuska Alim, Abdulmajeed Ansano, Guro Alim
Saromantang, dan Sheikh Abdul Ghani.
Manuskrip
di Marawi City adalah representasi sejarah dan identitas Muslim Melayu Maranos.
Jika tidak ada tindakan cepat untuk melestarikan dan kemudian mengkajinya, ia
sangat rapuh dan akan segera musnah dari memori kolektif kita. Irina Bokova,
direktur jenderal UNESCO, saat terbakarnya hampir 70 persen koleksi Manuskrip the Institute of Egypt akibat konflik
dan gejolak politik di Kairo mengatakan, “…this
is an irreversible loss to Egypt and to the world…these ma nuscripts represent
the history and iden tity of a people. I call for light to be shed on the
causes of the fire, and for serious measures to be taken quickly to sa ve what
can be saved…” (UN News Centre, 20/12/11).
Masyarakat
Muslim Maranaos kini sudah hampir tidak mengenal lagi bahasa Melayu yang pada
200 tahun lalu menjadi bahasa intelektual leluhurnya. Salah satu manuskrip
dalam Koleksi Shiek Ahmad Basher berisi pernyataan penulisnya bahwa ia sangat
bangga dan telah berusaha keras menulis menggunakan bahasa Melayu agar
terhubung kan dengan masyarakat Muslim lain di nusantara meski bahasa ibunya
sendiri adalah Maranao. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar