Jumat, 09 Maret 2012

Hakim atau Guru Biologi?

Hakim atau Guru Biologi?
M Arqom Pamulutan, HAKIM PENGADILAN AGAMA PANGKALAN KERINCI RIAU
SUMBER : REPUBLIKA, 8 Maret 2012



Belum pupus dari ingatan publik betapa hebohnya tanggapan berbagai         kalangan terutama para ulama dan ormas Islam terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis yang beranggotakan sembilan orang Hakim MK telah memutus perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 yang diajukan Aisyah alias Machica Mochtar dan M Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono, sebagaimana putusan No 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan Jumat (17/2) lalu.

Putusan ini seolah melegitimasi anggapan sebagian besar orang bahwa seorang laki-laki dapat disebut sebagai `ayah' bagi anak dengan segenap hak keperdataannya jika terbukti secara biologis merupakan orang yang punya hubungan darah meski tidak menikah dengan ibu yang melahirkannya. Dampaknya, mungkin tidak lama lagi anakanak yang lahir di luar nikah atau perempuan yang melahirkan anak di luar nikah akan berbondong-bondong membawa laki-laki mana saja untuk diperiksa. Jika laki-laki itu terbukti punya hubungan darah, itulah ayahnya.

Hal tersebut tergambar secara gamblang dalam salah satu amar putusan yang berbunyi, Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya“ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Sehingga, ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“

Pertimbangan Hukum

Jika lebih teliti membaca pertimbangan hukum putusan MK No 46/PUUVIII/2010 tersebut, maka terlihat jelas MK terlalu menganggap enteng bahkan mengabaikan alasan-alasan hukum yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR.
Pertimbangan itu intinya menjelaskan pentingnya lembaga perkawinan untuk memperjelas status seorang anak dan pentingnya perkawinan diatur oleh negara guna ketertiban dan keteraturan hukum.

Sehingga, tanpa adanya sebuah pernikahan yang sah, anak itu tidak berayah dan hanya dapat dihubungkan secara hukum dengan ibunya. Karena, dalam kehidupan manusia, seseorang dapat menjadi ayah melalui dua cara. Pertama, ia menghamili ibu sang anak setelah terlebih dahulu menikahinya secara sah.
Kedua, karena ditetapkan atau diakui secara hukum maupun adat menjadi ayah (baca: ayah angkat, ayah baptis, dan sebagainya).

Ironisnya, dengan `mengabaikan' semua alasan itu, justru Hakim MK membuat pertimbangan hukum yang insya Allah dapat diduga mengutip materi pelajaran biologi di sekolah. Argumentasi yang diberikan adalah argumen yang biasa dijelaskan guru atau dosen biologi ketika menjelaskan tentang ketidakmungkinan kucing betina dapat hamil jika tidak ada kucing jantan yang menghamilinya. Lalu, jika dapat dibuktikan secara ilmiah, maka kucing jantan itu dapat disebut ayah bagi anak kucing dan harus ikut bertanggung jawab terhadap sang anak kucing.

Dengan dalih bahwa untuk kepentingan anak maka seorang laki-laki yang telah menghamili ibu anak tersebut dapat disebut ayah meskipun keabsahan perkawinannyadipersengketakan. Lalu, dengan berbekal pertimbangan hukum ala guru biologi tersebut, MK membuat amar yang sulit dimengerti (obscure).

Sikap para hakim MK ini boleh dikatakan terlalu berani dan gegabah sehingga di satu sisi keberanian itu dinilai sebagian orang sebagai `terobosan hukum' karena muatannya seolah membela kepentingan anak dan perempuan. Sementara di sisi lain, mengandung kegegabahan dan dinilai sebagian yang lain sebagai sebuah `kecelakaan hukum' yang dapat mengancam eksistensi lembaga perkawinan.

Tawaran Solusi

Seperti halnya kebanyakan orang, penulis yakin bahwa tujuan hakim MK membuat putusan sedemikian rupa adalah baik. Yakni, untuk memberikan keadilan dan persamaan perlakuan bagi semua anak agar mendapat pengakuan di tengah masyarakat, tidak peduli anak hasil pernikahan ataupun luar nikah. Dan, untuk memberikan perlin dungan hukum serta meringankan beban bagi ibu yang melahirkan anak tanpa sekaligus tidak membiarkan laki-laki lari dari tanggung jawab.

Akan tetapi, dengan pertimbangan hukum dan bunyi amarnya justru dikhawatirkan akan merusak tatanan hidup bermasyarakat. Sebagai produk hukum, putusan hakim menjadi media untuk merekayasa sosial yang bisa membangun tata nilai bahwa seorang laki-laki secara perdata dapat jadi ayah karena ia terbukti secara ilmiah atau bukti lain.

Menurut penulis, ada cara lain yang bisa dilakukan, yaitu dengan memperkaya pertimbangan hukum dan mengubah redaksi amar putusan hingga berbunyi        “ ... mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dikategorikan sebagai anak telantar yang ditanggung oleh negara yang dalam hal berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum telah diketahui siapa laki-laki yang menghamili ibu anak tersebut maka tanggungan negara dapat dibebankan kepadanya.“

Hal ini karena sejak awal, ibu dan orang yang menghamilinya sudah berniat menelantarkan anak itu. Jika tidak, sudah barang tentu sebelumnya mereka akan menikah dulu sehingga menghasilkan anak yang sah dan tidak akan telantar. Lalu, dalam hal ini negara dan lingkungan sosial ikut bertanggung jawab atas adanya anak yang lahir di luar nikah karena negara dan lingkungan sosial telah gagal mendidik dan membina manusia untuk taat hukum dan menghargai etika kemanusiaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar