Hakim
atau Guru Biologi?
M Arqom Pamulutan, HAKIM PENGADILAN AGAMA PANGKALAN
KERINCI RIAU
SUMBER : REPUBLIKA, 8 Maret 2012
Belum
pupus dari ingatan publik betapa hebohnya tanggapan berbagai kalangan terutama para ulama dan ormas
Islam terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis yang beranggotakan
sembilan orang Hakim MK telah memutus perkara permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945 yang diajukan
Aisyah alias Machica Mochtar dan M Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono, sebagaimana
putusan No 46/PUU-VIII/2010 yang dibacakan Jumat (17/2) lalu.
Putusan
ini seolah melegitimasi anggapan sebagian besar orang bahwa seorang laki-laki
dapat disebut sebagai `ayah' bagi anak dengan segenap hak keperdataannya jika
terbukti secara biologis merupakan orang yang punya hubungan darah meski tidak
menikah dengan ibu yang melahirkannya. Dampaknya, mungkin tidak lama lagi
anakanak yang lahir di luar nikah atau perempuan yang melahirkan anak di luar
nikah akan berbondong-bondong membawa laki-laki mana saja untuk diperiksa. Jika
laki-laki itu terbukti punya hubungan darah, itulah ayahnya.
Hal
tersebut tergambar secara gamblang dalam salah satu amar putusan yang berbunyi,
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya“ tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan lakilaki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya.
Sehingga,
ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.“
Pertimbangan Hukum
Jika
lebih teliti membaca pertimbangan hukum putusan MK No 46/PUUVIII/2010 tersebut,
maka terlihat jelas MK terlalu menganggap enteng bahkan mengabaikan
alasan-alasan hukum yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR.
Pertimbangan itu intinya menjelaskan pentingnya lembaga perkawinan untuk memperjelas status seorang anak dan pentingnya perkawinan diatur oleh negara guna ketertiban dan keteraturan hukum.
Pertimbangan itu intinya menjelaskan pentingnya lembaga perkawinan untuk memperjelas status seorang anak dan pentingnya perkawinan diatur oleh negara guna ketertiban dan keteraturan hukum.
Sehingga,
tanpa adanya sebuah pernikahan yang sah, anak itu tidak berayah dan hanya dapat
dihubungkan secara hukum dengan ibunya. Karena, dalam kehidupan manusia,
seseorang dapat menjadi ayah melalui dua cara. Pertama, ia menghamili ibu sang
anak setelah terlebih dahulu menikahinya secara sah.
Kedua, karena ditetapkan atau diakui secara hukum maupun adat menjadi ayah (baca: ayah angkat, ayah baptis, dan sebagainya).
Kedua, karena ditetapkan atau diakui secara hukum maupun adat menjadi ayah (baca: ayah angkat, ayah baptis, dan sebagainya).
Ironisnya,
dengan `mengabaikan' semua alasan itu, justru Hakim MK membuat pertimbangan
hukum yang insya Allah dapat diduga mengutip materi pelajaran biologi di
sekolah. Argumentasi yang diberikan adalah argumen yang biasa dijelaskan guru
atau dosen biologi ketika menjelaskan tentang ketidakmungkinan kucing betina
dapat hamil jika tidak ada kucing jantan yang menghamilinya. Lalu, jika dapat
dibuktikan secara ilmiah, maka kucing jantan itu dapat disebut ayah bagi anak
kucing dan harus ikut bertanggung jawab terhadap sang anak kucing.
Dengan
dalih bahwa untuk kepentingan anak maka seorang laki-laki yang telah menghamili
ibu anak tersebut dapat disebut ayah meskipun keabsahan
perkawinannyadipersengketakan. Lalu, dengan berbekal pertimbangan hukum ala
guru biologi tersebut, MK membuat amar yang sulit dimengerti (obscure).
Sikap
para hakim MK ini boleh dikatakan terlalu berani dan gegabah sehingga di satu
sisi keberanian itu dinilai sebagian orang sebagai `terobosan hukum' karena
muatannya seolah membela kepentingan anak dan perempuan. Sementara di sisi
lain, mengandung kegegabahan dan dinilai sebagian yang lain sebagai sebuah
`kecelakaan hukum' yang dapat mengancam eksistensi lembaga perkawinan.
Tawaran Solusi
Seperti
halnya kebanyakan orang, penulis yakin bahwa tujuan hakim MK membuat putusan
sedemikian rupa adalah baik. Yakni, untuk memberikan keadilan dan persamaan
perlakuan bagi semua anak agar mendapat pengakuan di tengah masyarakat, tidak
peduli anak hasil pernikahan ataupun luar nikah. Dan, untuk memberikan perlin
dungan hukum serta meringankan beban bagi ibu yang melahirkan anak tanpa
sekaligus tidak membiarkan laki-laki lari dari tanggung jawab.
Akan
tetapi, dengan pertimbangan hukum dan bunyi amarnya justru dikhawatirkan akan
merusak tatanan hidup bermasyarakat. Sebagai produk hukum, putusan hakim
menjadi media untuk merekayasa sosial yang bisa membangun tata nilai bahwa
seorang laki-laki secara perdata dapat jadi ayah karena ia terbukti secara
ilmiah atau bukti lain.
Menurut
penulis, ada cara lain yang bisa dilakukan, yaitu dengan memperkaya
pertimbangan hukum dan mengubah redaksi amar putusan hingga berbunyi “ ... mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dikategorikan sebagai anak telantar yang
ditanggung oleh negara yang dalam hal berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum telah diketahui siapa
laki-laki yang menghamili ibu anak tersebut maka tanggungan negara dapat
dibebankan kepadanya.“
Hal ini karena sejak awal, ibu dan orang yang
menghamilinya sudah berniat menelantarkan anak itu. Jika tidak, sudah barang
tentu sebelumnya mereka akan menikah dulu sehingga menghasilkan anak yang sah
dan tidak akan telantar. Lalu, dalam hal ini negara dan lingkungan sosial ikut
bertanggung jawab atas adanya anak yang lahir di luar nikah karena negara dan
lingkungan sosial telah gagal mendidik dan membina manusia untuk taat hukum dan
menghargai etika kemanusiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar