Senin, 02 Januari 2012

Tanggung Jawab Kaum Samurai Sejati

Tanggung Jawab Kaum Samurai Sejati
M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
Sumber : SINDO, 1 Januari 2012



Negeri Jepang, yang jauh dari sini, rasanya seperti hanya sejauh Jakarta–Surabaya. Kekaguman kita terhadap kebudayaan Jepang tampak seperti kekaguman seorang saudara muda kepada saudara tua.
Mungkin ini merupakan satu dari banyak kenangan terhadap negeri yang pernah menjajah kita itu. Sebagian kenangan itu buruk, dan menimbulkan kemarahan. Sebagian bagus, dan membuat kita agak geli ketika mereka mengaku sebagai saudara tua yang ternyata menjajah dengan berbagai kekejaman militer pendudukan yang galak melebihi singa padang pasir. Tapi selebihnya,kita respek mendalam terhadap ketegasan sikap para pejabat Jepang.

Mereka menampilkan citra dan semangat kaum samurai yang memiliki ‘diginity’ yang tinggi dan dipelihara dengan baik agar tak tercemar oleh kotoran apa pun. Inilah ‘diginity’ yang merupakan energi kebudayaan yang mengagumkan. Ketegasan sikap dan tanggung jawab publik di kalangan para pejabat negara di negeri ini mungkin masih menempati urutan pertama di dunia.

Mereka memelihara tradisi kuno di kalangan kaum samurai– ksatria sejati––yang melindungi pihak yang lemah, dan menjaga harmoni sosial sebagai kebajikan hidup utama. Boleh dikatakan,tak ada bangsa lain yang memiliki karakter sekuat bangsa Jepang dalam urusan disiplin, mengabdi bangsa dan negara, dan mempertanggungjawabkan hasil pengabdian kepada publik secara terbuka, transparan, dan akuntabel.

Kita tahu, sejak dulu nama bangsa ini harum, karena jika seorang pejabat berbuat salah dalam merumuskan kebijakan publik, atau berbuat sesuatu yang merugikan kepentingan publik, yang bersangkutan akan menyesali diri bukan sekadar dengan kata-kata kosong seperti kebiasaan para pejabat kita, melainkan dengan gagah dan anggun mereka melakukan hara kiri. Mati lebih agung––dan menjadi solusi heroik––daripada hidup tercemar.

Maka,
banyak pejabat yang mundur dari jabatan,atau—sekali lagi—bunuh diri tadi. Dulu, harakiri dilakukan karena alasan-alasan moral. Kini alasan yang lebih kuat bersifat sosial. Bila seorang pejabat melakukan kekeliruan dalam pembuatan kebijakan atau melakukan kesalahan yang membuat harmoni sosial-politiknya rusak, kawan-kawan dekatnya akan otomatis menjauhinya. Bisa saja secara biologis yang bersangkutan masih anggota masyarakat, tetapi secara kultural dan etis,sudah bukan bagian hangat dari warga masyarakat lagi.

Koruptor Dilindungi dan Dimuliakan

Terkadang kita malu memandang “wajah” kebudayaan kita sendiri. Dalam semangat melawan korupsi, semangat yang masih “mengepul” dan menjadi harapan terbesar masyarakat, kemunafikan yang muncul di sana sini. Pejabat tertinggi melindungi anggotanya yang korup,merupakan kebiasaan “terkutuk” di mata masyarakat, tetapi menjadi tradisi agung di kalangan pejabat.

Koruptor yang seharusnya diganti orang lain, tak jadi diganti. Mereka mengira, alasanalasan di balik itu semua masih merupakan rahasia di kalangan birokrasi sendiri. Mereka tak menyadari, di Republik yang “luka parah” ini tak ada lagi barang yang bernama rahasia. Para pimpinan tertinggi di berbagai tingkatan dan orangorang terdekatnya,sebenarnya sudah “telanjang” bulat, karena segenap kedurjanaan mereka sudah terbuka tapi mereka merasa aman karena mengira publik tak tahu-menahu.

Sejak lama kita menantikan munculnya seorang pejabat mundur dari jabatan, dengan alasan politik dan etika yang kuat demi membela bangsa,tapi hal itu bagaikan—kata Narto Sabdo— menanti tumbuhnya jamur di musim kemarau. Tapi tiba-tiba muncul nama Wagub DKI Jakarta Prijanto, jenderal yang menjadi bahan diskursus politik karena pengunduran dirinya dari jabatan tersebut.

Ada yang mencela, dan menyalahkannya sebagai tindakan “ngacir”, tidak etis, dan tidak bertanggung jawab. Cukup kuatkah alasan para pengamat? Ada data sahih pada mereka? Kalau hanya berdasarkan spekulasi,saya pun bisa berspekulasi. Maka saya melihatnya secara lain. Jabatan itu “empuk”,fasilitas bagus, gengsi tinggi, tapi mengapa mundur? Tentu saja ada latar belakang yang kuat: kondisi birokrasi tidak sehat.

Kalau birokrasi Pemda DKI sehat, segala hal transparan,pembagian kerja antara gubernur dan wakilnya tertata baik, dan memberi kedua belah pihak rasa hormat dan kemanusiaan yang bergengsi, mengapa terjadi perpecahan di pucuk pimpinan tertinggi? Mengapa kita ribut? Bukankah seharusnya yang mulia Pak Gubernur yang “jejeritan” karena ditinggal pasangannya? Perceraian hanya sah bila ada alasan yang kuat.

Dan, itu pun menjadi pilihan terakhir. Maka kerinduan kita akan sikap kaum samurai yang teguh memegang prinsip, nilai-nilai dan etika,memperoleh jawaban. Prijanto mundur, mengapa tak dianggap justru etis,sangat etis, dan tanda rasa tanggung jawab publik yang besar? Kalau dia tak memiliki prinsip itu, dan rela menjadi “boneka” manis, hidupnya sudah enak dan makmur. Gengsinya pun tinggi.

Maka ketika kenyataannya dia lebih memilih mundur, apakah artinya secara moral politik, bila bukan keteguhan seorang “samurai” Jawa yang memberi kita teladan laku, bahwa mundur dari jabatan itu sebuah kebajikan budaya? Saya kira saatnya sudah tiba bagi bangsa kita untuk membangun tradisi sehat dalam politik, dan dalam birokrasi,baik di lingkungan swasta maupun pemerintahan, agar generasi tua berhak merasa bangga telah mewariskan kemuliaan hidup bagi generasi muda.

Kita sibuk memberi makan badan kita, tapi kita lalai memberi makanan bagi jiwa bangsa, dengan makanan rohani yang sehat seperti itu. Kita sibuk mengejar makna “keabadian”,sebagai langkah masa depan,tapi kita tak menyadari bahwa kita sudah terjerembap dalam kefanaan yang memalukan. Mempertahankan jabatan, yang tak memberi kesempatan beribadah secara tulus, dan nyata,itu kebutaan moral yang tak akan pernah menerangi sisi-sisi gelap di dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan kita.

Ringkasnya, bagi saya, Prijanto mundur merupakan jawaban atas kehausan kultural kita untuk melihat orang terhormat, dan manusia merdeka, yang tetap merasa utuh sebagai pribadi,biarpun tak lagi punya jabatan.Ini modal kebudayaan untuk membangun karakter yang anggun,dan bermartabat. Pemimpin tulen memang harus memperlihatkan tanggung jawab kaum samurai kepada publik untuk tumbuh sebagai bangsa bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar