Pendekatan
Hati di Papua
W. Riawan Tjandra, DIREKTUR
PROGRAM PASCA SARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
Sumber
: SINDO, 1 Januari 2012
Mengapa Papua masih terus bergejolak meskipun sudah triliunan rupiah dana
Otonomi Khusus (Otsus) dialirkan oleh Pemerintah Pusat ke Pulau Cendrawasih
itu?
Pertanyaan tersebut sangat layak dikemukakan mengingat sejak 2001 melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,Pemerintah pusat telah menetapkan Provinsi Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus. Pengaturan mengenai penerapan Otsus di Papua merupakan kebijakan nasional yang melakukan diferensiasi kebijakan atas daerah yang memiliki kekhasan baik ditinjau dari sisi sejarah maupun budaya dengan menerapkan sistem desentralisasi asimetris.
Penerapan Otsus Papua diikuti dengan memberikan kekhususan dalam melaksanakan desentralisasi fiskal yang diatur dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2001, yang memberikan ruang terhadap adanya penerimaan provinsi dalam rangka Otonomi Khusus. Pola semacam itu dikenal dengan metode transfer antarpemerintah (intergovernmental transfers), yaitu pemindahan penerimaan umum yang berasal dari berbagai pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah/lokal untuk pembiayaan tertentu.
Hal itulah yang dikenal sebagai dana Otsus. Pemberian dana Otsus tersebut merupakan tindak lanjut dari penerapan sistem desentralisasi asimetris di Papua.Tak salah jika dikatakan bahwa desentralisasi asimetris merupakan bentuk federalisasi lunak (soft federalism) guna memberikan ruang yang lebih luas kepada suatu daerah tertentu dalam suatu negara yang mengalami krisis hubungan politik antara pusat-daerah. Model desentralisasi asimetris semacam itu mirip dengan kebijakan pemerintah pusat terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.
Sejarah Integrasi
Papua pada hakikatnya bukan hanya salah satu pulau di kawasan timur negeri ini, namun merupakan bagian yang sangat penting untuk melacak sejarah pendirian republik ini. Bahkan,ada yang mengatakan bahwa Papua merupakan tempat lahirnya ide Pendirian Republik Indonesia. Boven Digoel, salah satu wilayah di Papua yang saat ini sudah menjadi sebuah kabupaten di Papua, sebenarnya merupakan tempat yang bersejarah yang menjadi tempat pembuangan di zaman kolonialisme.
Papua juga pernah melahirkan beberapa tokoh lokal,seperti Silas Papare kelahiran Serui, 18 Desember 1918, yang memiliki jiwa kebangsaan yang tinggi. Begitu mendengar Indonesia telah merdeka, ia kemudian bersama-sama temantemannya yang tergabung dalam Batalion Papua pada Desember 1945 melakukan pemberontakan terhadap Belanda.
Ada beberapa tokoh Papua lainnya yang berperan dalam sejarah perjuangan Indonesia sebagai Pahlawan Nasional seperti Frans Kaisiepo (1921-1979) dan Marten Indey (1912-1986) yang membuktikan bahwa sejak pendudukan Belanda rakyat Papua sudah menjadi bagian dari NKRI dan berjuang bersamasama melawan Belanda. Proses integrasi Papua di pangkuan ibu pertiwi membutuhkan proses yang panjang.
Melalui proses perjuangan militer dan diplomasi yang panjang, kesepakatan RI-Belanda sedikit mencapai titik terang dengan dilaksanakannya Perjanjian New York pada tanggal 15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB.Isi dari Perjanjian New York adalah Belanda harus menyerahkan wilayah Papua Barat kepada PBB/United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang selanjutnya akan menyerahkan Papua kepada RI dengan syarat, pemerintah RI harus memberikan kesempatan referendum kepada masyarakat Papua.
Proses pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sendiri mulai dilaksanakan tanggal 24 Juli sampai dengan Agustus 1969, yang dilaksanakan di delapan kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya,Paniai, Fakfak,Sorong,Manokwari, Biak,dan Jayapura oleh 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua pada saat itu yang berjumlah 809.327 jiwa.
DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili unsur tradisional (kepala suku/adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz bersama- sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Hasil dari Pepera yang digelar di delapan kabupaten Irian Barat (Papua),
semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia.Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969.
Dana Otsus Bocor
Pertanyaan kritis yang perlu dikemukakan terkait kembali menguatnya gejolak sebagian unsur masyarakat di Papua yang konon disponsori oleh OPM adalah sejauh mana keterkaitan aksi- aksi tersebut dengan kebocoran dana Otsus yang menurut temuan BPK telah mencapai angka Rp4,2 triliun? Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan melakukan pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan di Papua yang memicu terjadinya peningkatan suhu politik di Papua.
Semakin meluasnya ketidakpuasan akibat kesenjangan ekonomi yang kian melebar di Papua kini kian berkelindan dengan isu politik yang selama ini diusung oleh para aktivis yang bernaung di bawah OPM. Bahkan, sumbu pendek sebagian besar masyarakat Papua yang merasa tidak puas atas penerapan transfer fiskal yang salah urus di Papua kini sangat mudah dinyalakan oleh siapa pun yang ingin mengail di air keruh.
Kesuksesan pemerintah dalam menggelar KTT ASEAN di Nusa Dua Bali kiranya bisa menjadi modal politik internasional yang penting untuk tetap mendapatkan dukungan internasional, sekurang-kurangnya pada level ASEAN untuk tetap memastikan bahwa pemerintah pusat tetap memegang kendali politik atas salah satu daerahnya di ujung Timur Indonesia tersebut.
Kasus penyimpangan dana Otsus Papua merupakan sebuah pelajaran sangat berharga bahwa kebijakan mengalirkan sejumlah besar dana atas nama Otsus harus berjalan seiring dengan upaya membangun transparansi, akuntabilitas dan partisipasi rakyat lokal. Dengan kondisi yang berkembang saat ini di Papua, tak ada pilihan lain selain mencoba melakukan pendekatan dengan hati melalui sistem desentralisasi berbasis empati (emphatic decentralization). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar