Kamis, 19 Januari 2012

Negara Penuh Stigma Buram


Negara Penuh Stigma Buram
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
Sumber : KOMPAS, 19 Januari 2012


Begitu mudah stigma buram disematkan bagi negara ini: negara centeng, negara makelar, negara predator, negara mafia, dan negara kartel. Stigma itu akan terus bertambah seiring praktik salah urus negara.

Stigma negara centeng lahir ketika negara justru memosisikan diri sebagai ”jago kepruk” atau ”tukang pukul” bayaran para pemodal kuat dalam sengketa dengan rakyat terkait eksploitasi bumi. Dalam konteks ini, negara juga hadir sebagai makelar dan predator bagi hak-hak rakyat.

Stigma negara mafia muncul ketika para penyelenggara negara secara sadar melakukan praktik-praktik mafia untuk menguras kekayaan negara. Mereka hadir sebagai entitas yang tak tersentuh hukum karena hukum telah mereka taklukkan dengan uang dan kekuasaan. Istilah negara kartel lahir dari praktik- praktik politik oligarki dalam tata kelola kekuasaan. Negara dikuasai kelompok elite politik dan ekonomi, menyerupai penguasa kartel dalam dunia bisnis hitam.

Atas penguatan pelbagai stigma itu, kita pun khawatir, jangan-jangan predikat Negara Kesatuan Republik Indonesia kelak akan hilang dari ingatan kolektif dan praksis sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Maka, wajar pula jika suatu ketika dalam peristirahatan abadi, pendiri negara-bangsa ini kaget dan menggugat: ”Kami hanya mendirikan NKRI. Kami tak pernah mendirikan negara centeng, negara makelar, negara predator, negara mafia, atau negara kartel!”

Dapat dimaklumi jika para pendiri negara-bangsa Indonesia itu nelangsa dan marah. Maklum, istilah centeng, makelar, mafia, predator, dan kartel hanya dikenal di jagat kriminal yang penuh kekerasan/kebiadaban. Tentu saja ini sangat bertentangan dengan ideologi yang melandasi berdirinya negara-bangsa ini, tempat solidaritas kebangsaan/kerakyatan dimuliakan.

Degradasi Negara

Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat (Gramedia, 1996) mengartikan negara sebagai entitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan organisasi politik yang menjalankan kekuasaan secara berdaulat. Penguatan negara centeng, negara makelar, negara kartel, negara mafia, dan negara predator menunjukkan terjadinya degradasi makna, peran, dan fungsi negara, terutama terkait makna kekuasaan yang berdaulat, tempat rakyat berposisi sebagai pemilik sah kedaulatan. Rakyat bukan lagi produsen kedaulatan, melainkan hanya menjadi konsumen kekuasaan.

Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang semestinya merepresentasikan kedaulatan rakyat telah mengalami pembengkokan orientasi. Tiga lembaga itu akhirnya jadi mesin kepentingan aktor-aktor kekuasaan yang sibuk memperjuangkan agenda domestiknya. Negara sebagai entitas kolektif (kedaulatan rakyat) tereduksi jadi entitas elitis (oligarki, kartel, mafia). Entitas elitis inilah yang menguasai negara-bangsa dengan seluruh asetnya. Mereka mengeksploitasi negara secara sistemis sesuai dengan kehendak pasar bebas. Praktik-praktik makelar dan mafia pun tidak terhindarkan.

Negara penuh stigma adalah negara yang sarat noda dan cacat akibat berbagai penyimpangan konstitusional. Negara semacam ini sesungguhnya telah mengalami kebangkrutan kepercayaan atas rakyat. Dalam kondisi bangkrut itu, negara gagal memfungsikan dirinya jadi pusat orientasi nilai bagi rakyat. Negara pun terkucil dan terasing di tengah rakyatnya. Aktor-aktor kekuasaan negara tak lebih dari entitas yang terasing dari rakyat. Di sini, negara menjelma menjadi ”rumah yang dikuburkan” oleh para penyelenggaranya sendiri.

Menjadi aneh jika para anggota legislatif masih merasa mewakili rakyat. Menjadi ganjil jika aktor-aktor eksekutif masih merasa abdi rakyat. Menjadi janggal jika aktor-aktor yudikatif masih merasa jadi penegak hukum yang membela kepentingan rakyat.

Kini, seluruh makna gagah tentang peran dan fungsi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang mengayomi dan menyejahterakan rakyat telah menjadi mitos. Dalam kenyataan, rakyat sulit merasakan makna kehadiran negara!

Di ruang batin yang sunyi, rakyat akan terus menulis berbagai stigma negara beserta narasi-narasi kepedihannya. Stigma-stigma itu jauh lebih buram dibandingkan dengan stigma negara centeng, negara mafia, negara predator, dan negara kartel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar