Kamis, 19 Januari 2012

Capres 2014, Monopoli Parpol

Capres 2014, Monopoli Parpol
Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG
Sumber : KOMPAS, 19 Januari 2012


Dua tahun sebelum Pemilihan Umum Presiden 2014 mulai muncul sejumlah nama yang ingin maju sebagai calon presiden atau yang dianggap sebagai tokoh yang layak ditampilkan. Mereka datang dari dalam ataupun dari luar partai. Siapa yang betul-betul akan muncul menjadi calon?

Kita bisa belajar dari Pilpres 2004 dan 2009. Pada pertengahan 2003, Kompas memuat dua halaman foto puluhan tokoh yang dianggap punya potensi jadi capres/cawapres. Dari sepuluh capres dan cawapres, hanya satu nama yang tak tercantum dalam daftar itu. Dalam Pilpres 2009, jumlah calon berkurang jadi enam, empat di antaranya tokoh Pilpres 2004.

Tokoh baru adalah Prabowo dan Boediono. Dari 12 nama capres/cawapres, ada yang pernah jadi jenderal TNI AD, pernah jadi menteri, pernah jadi pejabat tinggi negara, dan ada tokoh ormas Islam.

Tiga Partai

Dalam Pilpres 2014 diperkirakan batas minimal perolehan suara untuk bisa mengajukan 
capres tetap 20 persen. Diduga tiga partai yang akan mendapat suara tinggi, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, dan PDI-P. Kalau dua dari tiga partai itu bergabung, hanya akan ada dua pasang calon. Peluang PD dan PDI-P bergabung amat kecil.

Kalau ambang batas minimal jumlah perolehan suara partai untuk masuk DPR dipatok lima persen, tidak banyak partai menengah yang bisa lolos, apalagi partai-partai kecil. Kalau ambang batas itu diturunkan menjadi empat persen, akan lebih banyak yang lolos.

Tampaknya partai-partai yang bisa mengajukan capres/cawapres tidak punya tokoh yang menjadi idaman masyarakat luas. Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar tampaknya akan menjadi capres dari partai berlambang pohon beringin ini. Masyarakat tidak banyak tahu apa prestasi Aburizal Bakrie yang menonjol untuk bangsa dan negara sehingga dapat diharapkan akan menjadi presiden yang memihak rakyat. Hal yang diingat oleh masyarakat adalah sikap tidak menepati janji terhadap korban Lapindo.

Megawati masih menjadi andalan PDI-P karena dalam jajak pendapat masih mendapat suara tertinggi kalau tidak ada Susilo Bambang Yudhoyono. Kita tidak mencatat prestasi yang menonjol selama Megawati menjadi presiden 2001-2004. Dengan usia yang meningkat, kita tidak banyak bisa berharap dari Megawati. Di dalam PDI-P ada sejumlah 
tokoh muda berpotensi, tetapi tidak bisa muncul karena adanya politik dinasti.

PD tidak punya tokoh internal yang layak ditampilkan. Anas Urbaningrum, walaupun secara hukum tidak atau belum terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi, secara politis sudah sulit menjadi capres/cawapres. Ada kelompok internal PD yang ingin mengajukan Ny Ani Yudhoyono, tetapi tampaknya Presiden Yudhoyono tidak mendukung. Mungkinkah PD mencari tokoh di luar partai yang layak menjadi capres dari berbagai segi: kemampuan, integritas, dan tingkat keterpilihan (elektabilitas)?

Calon dari Luar Partai

Di luar ketiga parpol itu, ada sejumlah tokoh parpol yang secara terbuka sudah menyatakan ingin jadi capres, yaitu Prabowo (Partai Gerindra), Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional), dan Suryadharma Ali (Partai Persatuan Pembangunan). Ketiganya akan mendapati hambatan dalam hal minimnya dukungan masyarakat terhadap partai dan pribadi. Mereka harus kerja keras dan cerdas meningkatkan dukungan masyarakat, tetapi tidak mudah bagi mereka untuk melakukannya.

Penting untuk dicatat bahwa di luar parpol ada tokoh yang oleh banyak pihak dianggap punya potensi menjadi cawapres, bahkan menjadi capres walaupun peluang untuk dicalonkan kecil. Tokoh itu ialah Jusuf Kalla (JK), Mahfud MD, Jenderal Pramono Edhie, dan yang terakhir muncul adalah Dahlan Iskan. Fenomena kemunculan Dahlan Iskan menegaskan pola 2004 dan 2009: bahwa untuk menjadi capres/cawapres harus menjadi menteri atau unsur pimpinan lembaga tinggi negara. Tanpa menjadi Menteri BUMN, tidak mungkin nama Dahlan Iskan melejit.

Tentu potensi itu akan tetap jadi potensi kalau tidak ada dasar kuat memunculkan mereka. Namun, yang paling penting adalah tingkat keterpilihan (elektabilitas) mereka yang perlu diukur secara berkala. Tiga dari empat tokoh itu dikenal luas oleh masyarakat dan sering tampil di media cetak dan elektronik. JK telah terbukti menjadi pemimpin yang efektif, tetapi punya kelemahan dalam masalah usia walaupun kesehatannya masih cukup baik. Dahlan Iskan perlu membuktikan dulu kinerjanya sebagai Menteri BUMN. Dari segi usia tidak terlalu tua, tetapi faktor kesehatannya perlu mendapat perhatian.

Jenderal Pramono Edhie yang mulai disebut-sebut sejumlah tokoh PD juga harus membuktikan dulu prestasinya. Rakyat tidak banyak mengenal tokoh ini karena jarang muncul di media. Keberadaan sebagai ipar Yudhoyono bisa bernilai positif, tetapi bisa juga sebaliknya. Mahfud MD sudah cukup baik menunjukkan kinerja sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia dikenal sebagai tokoh yang punya kemampuan, berani, dan berintegritas.

Mungkinkah Calon non-Partai?

Memang masih ada satu-dua tokoh yang menjanjikan. Namun, rasanya sulit untuk mengharap mereka muncul sebagai tokoh baru yang layak ditampilkan sebagai capres/cawapres. Berarti capres/cawapres yang bisa muncul adalah monopoli parpol besar. Kalau tidak ada hal-hal luar biasa atau adanya ”langkah kuda” sejumlah parpol menengah untuk berani menampilkan capres di luar partai, kita akan mempunyai pilihan yang tidak menyenangkan.

Besar kemungkinan kita terpaksa memilih capres yang belum jelas seberapa besar sumbangsihnya bagi rakyat, tetapi bisa menjadi capres hanya karena dia mempunyai dana besar untuk membuat dirinya terpilih sebagai ketua umum partai besar. Atau mungkin kita terpaksa memilih capres karena dia adalah ketua umum partai besar tetapi tidak jelas benar apa kemampuannya untuk bisa memikul tanggung jawab berat memimpin negara dengan 240 juta rakyat yang punya segudang masalah.

Semoga masih ada hati nurani di antara pemimpin partai-partai menengah untuk mau bersama-sama mencari calon yang memenuhi kriteria kemampuan, karakter, dan integritas, serta tingkat keterpilihan tinggi. Kalau mau membuka mata, pikiran, dan hati, masih cukup waktu untuk mencari tokoh tersebut. Kalau partai-partai itu lebih memikirkan kepentingan sendiri daripada kepentingan bangsa dan negara, dikhawatirkan tidak akan mampu membawa rakyat kecil menuju kesejahteraan yang merata sesuai janji kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar