Jumat, 06 Januari 2012

Merespon Keragaman dalam Bingkai Mazhab


Merespon Keragaman dalam Bingkai Mazhab
Husein Ja’far Al Hadar, DIREKTUR LEMBAGA STUDY OF PHILOSOPHY (SOPHY) JAKARTA
Sumber : JIL, 5 Januari 2012


“...sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah).”

Ironi! Di penghujung 2011, kita harus menutupnya dengan satu kasus kekerasan bermotif agama. Bahkan, yang ini, bukan lagi isu satu agama vis a vis agama lain, tapi dalam internal Islam, yakni antara madzhab Sunni dan Syiah. Sekelompok oknum yang mengklaim Sunni (ahlussunnah wal jammaah) melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap pondok pesantren beraliran Islam-Syiah di Sampang, Madura. Akhirnya, kita pun harus menambah satu lagi daftar catatan kekerasan atas nama agama di negeri ini yang oleh Setara Institute baru-baru ini dilaporkan statistiknya mencapai 244 kasus selama 2011.

Menurut penulis, sebenarnya pada tingkat keyakinan dan ajaran (keislaman), apa yang terjadi di Madura seharusnya tak terjadi. Sebab, masalah perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam Islam sudah diklarifikasi dan dituntaskan dengan utuh dan tepat oleh tokoh-tokoh Islam di negeri ini. Salah satu yang tepat untuk disebutkan di sini, misalnya, M. Quraish Shihab (pakar tafsir di Indonesia) dengan karyanya yang berjudul Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (2007). Dalam karyanya itu, Quraish Shihab yang memang memiliki kredibilitas dan otoritas dalam membicarakan isu ini, mengawali pembicaraannya tentang keniscayaan sebuah perbedaan yang diakui secara langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 48) sekaligus kepatutan dirajutnya persatuan (ukhuwah) karena pada dasarnya manusia adalah umat yang satu (QS. Al-Baqarah: 213). Pembacaan, pemahaman dan penafsiran atas realitas dan ayat tentang keniscayaan perbedaan dan kepatutan persatuan menjadi sangat signifikan guna membangun paradigma dan sikap yang bijak menanggapi isu-isu seputar keberagaman. Kesalahan memahami realitas atau ayat (dan juga hadis) yang terkesan paradoks seperti di atas akan berdampak negatif berupa timbulnya konflik horisontal di antara umat yang keduanya sama-sama membawa nama Islam.

Umat Islam kerap memposisikan perbedaan dan persatuan sebagai dua hal yang paradoks. Sehingga, berpegang pada salah satunya otomatis berarti menafikan yang lainnya; berbeda berarti berselisih-pecah dan bersatu berarti tak mentoleransi –apalagi menerima- perbedaan. Sehingga, perbedaan dan persatuan pun menjadi ‘buah simalakama’ bagi umat Islam; pilihan atas salah satunya akan menimbulkan bencana berupa perselisihan dan konflik. Padahal, pada dasarnya, perbedaan dalam Islam justru patut dipahami sebagai rahmat Allah sebagai bentuk kekayaan khazanah intelektual sekaligus pilihan dan alternatif bagi kesulitan yang dihadapi umat. Sedangkan persatuan sebenarnya berarti kepatutan untuk saling berbagi, mengisi dan menyempurnakan di tengah perbedaan, bukan berarti menyamakan sesuatu yang berbeda dan mustahil untuk disatukan. Pada titik ini, maka peran keterbukaan, dialog dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan menjadi sangat mendasar. Ketiga komponen guna membentuk perbedaan menjadi rahmat itulah yang seringkali hilang dari paradigma umat Islam, khususnya di Indonesia.

Dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Milal wa an-Nihal, Al-Syahrastani bukan lagi mendokumentasikan perbedaan pada tingkat furu’ al-din (cabang agama) dalam internal ulama Islam. Namun, ia mendokumentasikan beragam perbedaan pendapat pada tingkat ushul al-din (dasar agama) di internal ulama Islam yang sudah ada bahkan sejak Nabi Muhammad sedang sakit. Quraish Shihab mencatat setidaknya sepuluh perbedaan teologis itu. Namun, patut dipahami dan disadari bahwa perbedaan itu adalah perbedaan sudut pandang yang dibenarkan dalam Islam yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan, keikhlasan dan kedewasaan dalam ber-Islam sebagai upaya bersama untuk berlomba-lomba dalam mendekati (bukan mencapai) kebenaran, dan sama sekali bukan bertendensikan egoisme atau ambisi pribadi atau golongan untuk mengklaim –apalagi memonopoli- kebenaran. Sehingga, perbedaan pun menjadi rahmat bagi persatuan umat.

Filosofi dan pemahaman akan hakikat perbedaan dan persatuan seperti di zaman ulama klasik itulah yang belum ada dan perlu ditumbuhkan di zaman ini. Oleh karena itu, sampai di sini penulis mengapresiasi sikap petinggi (ulama) Majelis Ulama Indonesia (MUI) 
Pusat, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah yang sangat terbuka dan dewasa menyikapi kasus Sampang dengan menegaskan bahwa kasus Sampang terjadi akibat provokasi atas perbedaan di antara Sunni-Syiah yang sesungguhnya tak berarti dan sudah disepakati bahwa itu bagian dari rahmat dalam Islam. Pernyataan ini sejalan dengan kesepakatan ulama besar dunia –dari berbagai madzhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah- di berbagai konferensi dan kesepakatan dalam dialog dan pendekatan antar madzhab. Misalnya Konferensi Doha 2002, Draft ISESCO yang dibentuk di pertemuan puncak OKI 2003 di Malaysia hingga Kesepakatan Ulama Sunni-Syiah di Makkah pada 2006 hingga Muktamar Doha yang diselenggarakan oleh Universitas Qatar bersama Universitas Al-Azhar-Mesir dan Lembaga Internasional untuk Pendekatan Madzhab-madzhab Islam pada 2007. Secara umum, disepakati bahwa pertama, Muslim adalah siapa saja yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. 

Kedua, darah, harta dan kehormatan Muslim haram (diganggu). Ketiga, tempat peribadatan umat Muslim suci, yang artinya haram untuk diserang, dibakar, apalagi diambil alih.

Penyatuan madzhab-madzhab menjadi satu madzhab dalam Islam merupakan sesuatu yang mustahil, sebab keberagaman dalam memahami dan menafsirkan teks dan ajaran merupakan keniscayaan. Bahkan dalam internal Sunni dan Syiah pun terdapat keragaman: ada Sunni-Syafi’i, Sunni Hanafi, Sunni Maliki, Sunni Hambali; Syi’ah-Ja’fari, Syiah-Ismailiyah, Syiah-Zaidiyah, dll. Karenanya, yang patut diagendakan dan diupayakan saat ini dan ke depan dalam Islam yakni persatuan umat dalam arti membiarkan madzhab-madzhab dalam Islam yang ada tumbuh-berkembang sembari bergandengan tangan, berjalan seiring, bekerja sama untuk menghadapi musuh bersama Islam serta mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebagai salah satu penopang peradaban dunia. 

Terkait upaya itu, maka upaya membersihkan dan menjauhkan umat dari fanatisme dalam beragama –apalagi bermadzhab- harus juga menjadi agenda utama. Sebab, agama dengan sederet ajaran, ritual dan simbolnya merupakan isu yang sangat sensitif. Jika fanatisme telah menjadi bagian dari corak keberagamaan umat, maka provokasi sedikit saja (seperti yang terjadi di Sampang) niscaya akan menyulut ketegangan dan bahkan konflik yang membahayakan umat. Apalagi jika isu agama telah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh karena itu, corak masyarakat beragama yang harus dibentuk adalah masyarakat yang terbuka, damai dan dialogis. Sebab, ketegangan dan konflik sering kali terjadi hanya karena ke-jumud-an dan ketidaktahuan (ke-jahiliyah-an) kita akan keyakinan dan ajaran umat lain. Oleh karena itu, mengutip penyataan Quraish Shihab, semakin tinggi pengetahuan (keagamaan) seseorang, maka semakin tinggi pula semangat toleransinya. 

Akhirnya, sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar