Merespon
Keragaman dalam Bingkai Mazhab
Husein Ja’far Al Hadar, DIREKTUR LEMBAGA STUDY OF PHILOSOPHY
(SOPHY) JAKARTA
Sumber
: JIL, 5 Januari 2012
“...sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad
at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis)
bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga
pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga
menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga
pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah).”
Ironi! Di penghujung 2011, kita harus
menutupnya dengan satu kasus kekerasan bermotif agama. Bahkan, yang ini, bukan
lagi isu satu agama vis a vis agama lain, tapi dalam internal Islam, yakni
antara madzhab Sunni dan Syiah. Sekelompok oknum yang mengklaim Sunni (ahlussunnah
wal jammaah) melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap pondok pesantren
beraliran Islam-Syiah di Sampang, Madura. Akhirnya, kita pun harus menambah
satu lagi daftar catatan kekerasan atas nama agama di negeri ini yang oleh
Setara Institute baru-baru ini dilaporkan statistiknya mencapai 244 kasus
selama 2011.
Menurut penulis, sebenarnya pada tingkat
keyakinan dan ajaran (keislaman), apa yang terjadi di Madura seharusnya tak
terjadi. Sebab, masalah perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam Islam sudah
diklarifikasi dan dituntaskan dengan utuh dan tepat oleh tokoh-tokoh Islam di
negeri ini. Salah satu yang tepat untuk disebutkan di sini, misalnya, M.
Quraish Shihab (pakar tafsir di Indonesia) dengan karyanya yang berjudul
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas Konsep Ajaran dan
Pemikiran (2007). Dalam karyanya itu, Quraish Shihab yang memang memiliki
kredibilitas dan otoritas dalam membicarakan isu ini, mengawali pembicaraannya
tentang keniscayaan sebuah perbedaan yang diakui secara langsung oleh Allah
dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 48) sekaligus kepatutan dirajutnya persatuan
(ukhuwah) karena pada dasarnya manusia adalah umat yang satu (QS. Al-Baqarah:
213). Pembacaan, pemahaman dan penafsiran atas realitas dan ayat tentang keniscayaan
perbedaan dan kepatutan persatuan menjadi sangat signifikan guna membangun
paradigma dan sikap yang bijak menanggapi isu-isu seputar keberagaman.
Kesalahan memahami realitas atau ayat (dan juga hadis) yang terkesan paradoks
seperti di atas akan berdampak negatif berupa timbulnya konflik horisontal di
antara umat yang keduanya sama-sama membawa nama Islam.
Umat Islam kerap memposisikan perbedaan dan
persatuan sebagai dua hal yang paradoks. Sehingga, berpegang pada salah satunya
otomatis berarti menafikan yang lainnya; berbeda berarti berselisih-pecah dan
bersatu berarti tak mentoleransi –apalagi menerima- perbedaan. Sehingga,
perbedaan dan persatuan pun menjadi ‘buah simalakama’ bagi umat Islam; pilihan
atas salah satunya akan menimbulkan bencana berupa perselisihan dan konflik.
Padahal, pada dasarnya, perbedaan dalam Islam justru patut dipahami sebagai
rahmat Allah sebagai bentuk kekayaan khazanah intelektual sekaligus pilihan dan
alternatif bagi kesulitan yang dihadapi umat. Sedangkan persatuan sebenarnya
berarti kepatutan untuk saling berbagi, mengisi dan menyempurnakan di tengah
perbedaan, bukan berarti menyamakan sesuatu yang berbeda dan mustahil untuk
disatukan. Pada titik ini, maka peran keterbukaan, dialog dan kedewasaan dalam
menyikapi perbedaan menjadi sangat mendasar. Ketiga komponen guna membentuk
perbedaan menjadi rahmat itulah yang seringkali hilang dari paradigma umat
Islam, khususnya di Indonesia.
Dalam karya monumentalnya yang berjudul
al-Milal wa an-Nihal, Al-Syahrastani bukan lagi mendokumentasikan perbedaan
pada tingkat furu’ al-din (cabang agama) dalam internal ulama Islam. Namun, ia
mendokumentasikan beragam perbedaan pendapat pada tingkat ushul al-din (dasar
agama) di internal ulama Islam yang sudah ada bahkan sejak Nabi Muhammad sedang
sakit. Quraish Shihab mencatat setidaknya sepuluh perbedaan teologis itu.
Namun, patut dipahami dan disadari bahwa perbedaan itu adalah perbedaan sudut
pandang yang dibenarkan dalam Islam yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan,
keikhlasan dan kedewasaan dalam ber-Islam sebagai upaya bersama untuk
berlomba-lomba dalam mendekati (bukan mencapai) kebenaran, dan sama sekali
bukan bertendensikan egoisme atau ambisi pribadi atau golongan untuk mengklaim
–apalagi memonopoli- kebenaran. Sehingga, perbedaan pun menjadi rahmat bagi
persatuan umat.
Filosofi dan pemahaman akan hakikat perbedaan
dan persatuan seperti di zaman ulama klasik itulah yang belum ada dan perlu
ditumbuhkan di zaman ini. Oleh karena itu, sampai di sini penulis mengapresiasi
sikap petinggi (ulama) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat, Nahdhatul Ulama
(NU) dan Muhamadiyah yang sangat terbuka dan dewasa menyikapi kasus Sampang
dengan menegaskan bahwa kasus Sampang terjadi akibat provokasi atas perbedaan
di antara Sunni-Syiah yang sesungguhnya tak berarti dan sudah disepakati bahwa
itu bagian dari rahmat dalam Islam. Pernyataan ini sejalan dengan kesepakatan
ulama besar dunia –dari berbagai madzhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah- di
berbagai konferensi dan kesepakatan dalam dialog dan pendekatan antar madzhab.
Misalnya Konferensi Doha 2002, Draft ISESCO yang dibentuk di pertemuan puncak
OKI 2003 di Malaysia hingga Kesepakatan Ulama Sunni-Syiah di Makkah pada 2006
hingga Muktamar Doha yang diselenggarakan oleh Universitas Qatar bersama
Universitas Al-Azhar-Mesir dan Lembaga Internasional untuk Pendekatan
Madzhab-madzhab Islam pada 2007. Secara umum, disepakati bahwa pertama, Muslim
adalah siapa saja yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
rasul-Nya.
Kedua, darah, harta dan kehormatan Muslim haram (diganggu). Ketiga,
tempat peribadatan umat Muslim suci, yang artinya haram untuk diserang,
dibakar, apalagi diambil alih.
Penyatuan madzhab-madzhab menjadi satu
madzhab dalam Islam merupakan sesuatu yang mustahil, sebab keberagaman dalam
memahami dan menafsirkan teks dan ajaran merupakan keniscayaan. Bahkan dalam
internal Sunni dan Syiah pun terdapat keragaman: ada Sunni-Syafi’i, Sunni
Hanafi, Sunni Maliki, Sunni Hambali; Syi’ah-Ja’fari, Syiah-Ismailiyah,
Syiah-Zaidiyah, dll. Karenanya, yang patut diagendakan dan diupayakan saat ini
dan ke depan dalam Islam yakni persatuan umat dalam arti membiarkan
madzhab-madzhab dalam Islam yang ada tumbuh-berkembang sembari bergandengan
tangan, berjalan seiring, bekerja sama untuk menghadapi musuh bersama Islam
serta mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebagai salah satu penopang
peradaban dunia.
Terkait upaya itu, maka upaya membersihkan
dan menjauhkan umat dari fanatisme dalam beragama –apalagi bermadzhab- harus
juga menjadi agenda utama. Sebab, agama dengan sederet ajaran, ritual dan
simbolnya merupakan isu yang sangat sensitif. Jika fanatisme telah menjadi
bagian dari corak keberagamaan umat, maka provokasi sedikit saja (seperti yang
terjadi di Sampang) niscaya akan menyulut ketegangan dan bahkan konflik yang
membahayakan umat. Apalagi jika isu agama telah ditumpangi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh karena itu, corak masyarakat beragama
yang harus dibentuk adalah masyarakat yang terbuka, damai dan dialogis. Sebab,
ketegangan dan konflik sering kali terjadi hanya karena ke-jumud-an dan
ketidaktahuan (ke-jahiliyah-an) kita akan keyakinan dan ajaran umat lain. Oleh
karena itu, mengutip penyataan Quraish Shihab, semakin tinggi pengetahuan
(keagamaan) seseorang, maka semakin tinggi pula semangat toleransinya.
Akhirnya, sebagaimana dikemukakan Dr.
Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne,
Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu
sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun
harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu
sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar