Jumat, 06 Januari 2012

Masa Depan Demokrasi Indonesia


Masa Depan Demokrasi Indonesia
Deny Humaedi dan Achmad El-Ghazali, PENELITI LINGKAR DEMOKRASI INSTITUTE (LIDI) DAN INDONESIAN CULTURE ACADEMY (INCA) JAKARTA
Sumber : SUARA KARYA, 6 Januari 2012


Membincang demokrasi berarti membincang rakyat. Ini ditegaskan dalam prinsip umum demokrasi; pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Maka, untuk mengejawantahkan prinsip ini, diselenggarakanlah apa yang dinamai dengan pemilihan umum secara langsung. Di Indonesia sendiri dari pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur hingga presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Dampak positif terkait keberhasilan menyelenggarakan proses pemilihan yang melibatkan partisipasi rakyat ini adalah banyak kalangan bahkan dari luar yang menilai bahwa Indonesia adalah negara paling demokratis. Ini mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dibandingkan dengan negara yang sama-sama berpenduduk Muslim lainnya yang rata-rata masih menganut sistem monarki.

Benarkah demikian?

Di satu sisi memang benar mengklaim bahwa indonesia adalah negara yang paling demokratis jika ini didasarkan atas partisipasi publik dalam sistem pemilihan. Namun, di lain sisi, kita harus mengajukan pertanyaan apakah dalam proses pemilihan ini benar-benar berlangsung demokratis. Pada praktiknya, model pemilihan langsung ini banyak meninggalkan jejak-jejak kotor yang bisa mengoyak makna dan ruh demokrasi. Manipulasi suara, politik uang, suap pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan praktik-praktik kekerasan terhadap lawan politik adalah imbas yang mengoyak makna demokrasi itu sendiri

Fakta empirik ini beriring sejalan dengan pernyataan Sarjana Australia, ED Aspinall terkait optimisme demokrasi Indonesia. Aspinall mengungkapkan bahwa demokrasi Indonesia diklaim sebagai demokrasi karena dalam praktiknya demokrasi memusuhi dirinya sendiri. Demokrasi ditunggangi oleh kekerasan atas nama agama, kelompok ber-kapital banyak yang menyandera pemilu, reposisi kaum birokrat lama, dan masih kuatnya peran militer untuk mengukuhkan kekuasaan pemimpin dengan melenyapkan asas-asas hak asasi manusia (HAM).

Dengan demikian secara perlahan-lahan demokrasi akan dimaknai sebagai proses legal-formal. Dengan kata lain, Indonesia dinilai sebagai negara demokratis dengan ukuran keberhasilan lembaga-lembaga institusional dalam menyelenggarakan proses demokrasi.
Pergeseran makna demokrasi ini kemudian akan memunculkan anggapan seperti yang ditegaskan oleh Robertus Robert bahwa demokrasi Indonesia dideterminasi oleh dua arus ganjil.

Pertama, dinamisasi demokrasi diiringi oleh kekerasan, bos lokal (pemilik modal), diskriminasi. Kedua, pemapanan demokrasi melalui formalisasi seluruh praktik politik, termasuk gaya kepemimpinannya.

Jika demokrasi dipahami dengan praktik-praktik yang menodai demokrasi sendiri, maka logika demokrasi demikianlah yang dijadikan model di Indonesia. Pada akhirnya demokrasi Indonesia tidak menyentuh persoalan fundamental; pemilu yang bersih, pengakuan HAM kelompok minoritas, terbentuknya good governance, dan memahami prinsip-prinsip keberagaman.

Ini artinya bahwa klaim Indonesia adalah negara paling demokratis akan runtuh jika didasarkan pada praktik-praktik pemilu yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip demokratis. Karena, praktik-praktik politik undemocratize inilah ada sebagian kelompok yang mengharamkan demokrasi untuk diterapkan di Indonesia. Hizbut Tahrir dan kelompok Islam fundamentalis, misalnya. Bahkan, mereka disebut-sebut ingin mengganti demokrasi dengan Khilafah Islamiyah.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana masa depan demokrasi Indonesia?

Terkait persoalan ini setidaknya ada dua faktor yang mesti digarisbawahi. Pertama, perlunya memikir ulang standarisasi demokratis atau tidaknya sebuah negara. Dalam kasus pemilihan umum di Indonesia memang banyak kalangan baik pengamat maupun praktisi politik menilai Indonesia sudah berada pada jalur negara demokratis mengingat Indonesia masih dalam level transisi demokrasi.

Kedua, perlunya reorientasi akan makna demokrasi. Reorientasi ini dimaknai sebagai penggalian makna demokrasi, yang diwariskan pada masa Yunani kuno dan abad ke-20, dengan mengkontekstualkan terhadap kondisi kekinian. Demokrasi perlu menyesuaikan dengan nilai, budaya, dan kekhasan yang dimiliki Indonesia.

Elaborasi dua faktor di atas dipertegas oleh perspektif Robert Dahl terkait demokrasi. Robert Dahl mengajukan lima kriteria untuk mencapai praktik demokratis yang akhirnya akan membawa pemahaman kita mengenai makna esensial demokrasi.

Pertama, partisipasi efektif. Warga negara harus mempunyai kesempatan setara dalam 
membuat pilihan mereka.

Kedua, warga Negara harus menikmati kesempatan yang luas dan adil untuk menemukan dan mempertahankan pilihan yang mana pilihan itu akan melayani kepentingan mereka.
Ketiga, kesetaraan dalam pemilihan. Setiap penilaian warga Negara akan dihitung sama besarnya seperti penilain warga lain.

Keempat, rakyat harus diikut sertakan dalam setiap keputusan penting mengenai agenda negara.

Kelima, ada payung hukum atau pengawasan hukum dalam kekuasaan negara.
Menurut hemat penulis, jika kelima kriteria ini diaksentuasikan dalam sistem politik kita, kita tak perlu mencemaskan masa depan demokrasi Indonesia. Namun, persoalannya adalah adakah kehendak dari elite-elite politik untuk merenungi secara mendalam terkait lima kriteria yang diajukan Robert Dahl?

Harapan kita semoga saja mereka merenungkannya. Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar