Selasa, 17 Januari 2012

Maju-Mundur Kebijakan Pembatasan BBM


Maju-Mundur Kebijakan Pembatasan BBM
Misriadi, PENELITI DI LEMBAGA STUDI HARMONI INDONESIA
Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Januari 2012


Pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dijadwalkan berlaku per 1 April mendatang bisa-bisa kandas. Sikap pemerintah yang semula menggebu-gebu bakal mengetok palu pertanda kebijakan pembatasan konsumsi itu diberlakukan pada kuartal kedua kini menciut.

Selain proses sosialisasi yang dinilai terlalu singkat, respons masyarakat yang menimbulkan pro dan kontra yang tajam membuat pemerintah menarik napas panjang lagi untuk mengatasi subsidi BBM yang terus menggerus anggaran negara.

Sikap pemerintah yang tidak tegas itu wajar kalau menimbulkan komentar bahwa pemerintah terkenal dengan strategi “maju-mundur” dalam menangani sebuah kebijakan.
Komentar ini menemukan bukti dengan seringnya pemerintah mengumbar rencana kebijakan untuk membatasi penyaluran BBM bersubsidi. Namun toh hingga kini eksekusinya masih maju-mundur, bahkan tak jelas.

Kebijakan kartu pintar alias smart card, misalnya, kian surut gaungnya. Memang uji coba sempat dilakukan, namun setelah dihitung-hitung ternyata ongkosnya kemahalan. Dengan begitu tak jarang sebuah gagasan yang dulu cukup lama ditimbang-timbang pada akhirnya ”masuk laci”.

Pemerintah kemudian ribut mempersiapkan opsi lain. Ada pilihan-pilihan kebijakan yang digadang-gadang, yakni BBM bersubsidi hanya boleh dikonsumsi angkutan umum, melarang kendaraan roda empat di atas tahun 2000 untuk menikmati Premium dan solar bersubsidi, serta melarang mobil dengan cc tertentu mengonsumsi BBM bersubsidi.

Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sempat mengeluarkan fatwa haram bagi orang mampu yang mengonsumsi BBM bersubsidi.

Pikir Jernih

Sebenarnya pemerintah tak perlu panik dan buru-buru melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Sebaiknya pemerintah memikirkan hal ini dengan jernih. Apakah rencana tersebut cukup realistis dan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi dampak terus membengkaknya subsidi?

Ada baiknya pemerintah menggali berbagai cara yang tidak menimbulkan beban baru bagi masyarakat. Dari rencana tersebut tampak pemerintah tidak ingin menanggung beban itu sendirian.

Pemerintah ingin membaginya dengan masyarakat. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan? Pemerintah kembali menekan masyarakat untuk hal yang sebenarnya secara fundamental itu menjadi kewajiban negara.

Berbagai langkah cerdas sebenarnya masih bisa ditempuh pemerintah. Ini karena dari segi teknis, pembatasan itu jelas akan sangat sulit diimplementasikan.

Logikanya, kalau harus membatasi pemakaian BBM bersubsidi per kendaraan, petugas SPBU akan kesulitan mengawasi kendaraan yang sudah mengisi atau belum. Mengatur konsumsi individual tidak akan efektif. Keruwetan mekanisme akan ditemui jika rencana itu direalisasikan.

Pemerintah seharusnya menempuh upaya yang lebih signifikan, misalnya menggunakan lebih banyak produksi minyak mentah dalam negeri untuk diolah menjadi BBM.

Kajian LP3ES menunjukkan ada kesalahan argumen pemerintah terkait kebijakan ekspor dan impor minyak mentah, yaitu kualitas minyak mentah Indonesia yang bagus lebih menguntungkan jika diekspor dan kilang di dalam negeri hanya mampu mengolah jenis minyak mentah tertentu dari Timur Tengah.

Dengan argumen itu, minyak yang kita ekspor kemudian diganti dengan minyak impor yang lebih murah. Karena lebih murah, jumlah yang diimpor juga lebih banyak.

Impor minyak mentah rata-rata lebih 40 persen dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia per tahun. Berdasarkan data LP3ES, biaya impor minyak mentah lebih mahal US$ 0,68-3,23 per barel daripada harga ekspornya.

Akibatnya, kerugian negara akibat perbedaan harga itu bisa mencapai belasan triliun. Makin lama karena konsumsi BBM yang semakin tinggi, sedangkan produksi terus turun, perbandingan antara ekspor minyak mentah dan impor semakin dekat.

Untuk itu, berbagai kebijakan ekspor-impor minyak mentah kita perlu segera dikoreksi. Kebutuhan dalam negeri harus lebih diutamakan. Ekspor hanya dilakukan ketika terdapat surplus dari selisih produksi dan kebutuhan.

Selain itu, pemerintah bisa memperbanyak pembelian minyak mentah dari kontraktor bagi hasil yang beroperasi di Indonesia. Dari sisi harga, meskipun dibeli dengan harga pasar internasional, minimal masih bisa menghemat karena ketiadaan biaya transportasi.

Pemerintah juga jangan terus-menerus terjebak pada politik minyak negara maju, khususnya Amerika Serikat. Sekadar contoh, China dengan tegas mengatakan politiknya adalah mengamankan pasokan energi. Itu sebabnya mereka menahan diri tidak mengekspor batu baranya.

Sekarang minyak mentah kita yang kualitasnya sangat baik diekspor, sedangkan kita justru mengimpor dengan harga lebih tinggi dari Saudi Aramco, yang notabene adalah perusahaan patungan Arab Saudi dan Amerika Serikat. Pemerintah seharusnya membuat rencana strategis untuk peningkatan produksi minyak mentah nasional.

Kilang Pertamina sebenarnya bisa mengolah minyak mentah produksi dalam negeri. Namun sayangnya, dari sekitar satu juta barel produksi minyak mentah kita, bagian pemerintah itu hanya sekitar 600.000 barel, sisanya milik kontraktor bagi hasil.

Sebenarnya Pertamina telah menggenggam rencana memodifikasi kilang mereka, antara lain agar bisa mengolah minyak mentah dari dalam negeri. Namun ironisnya, di saat yang sama pemerintah malah melontarkan rencana pembatasan penggunaan BBM ini.

Selain peningkatan produksi, pemerintah juga harus semakin giat mendorong diproduksinya bahan bakar alternatif. Penggalian berbagai sumber energi alternatif bisa dipikirkan lebih serius lagi.

Energi alternatif pengganti BBM persentasenya bisa mencapai 5 persen dari seluruh penggunaan BBM. Bahkan BBM untuk keperluan sarana transportasi bisa mencapai 10 persen. Jika energi alternatif pengganti BBM itu dapat direalisasi maka akan dapat menghemat dana yang cukup besar.

Selama ini pemerintah tampak kurang konsisten terhadap berbagai upaya pengembangan beberapa jenis bahan bakar alternatif. Hal ini terbukti berbagai upaya pengembangan beberapa jenis bahan bakar alternatif yang semula dicanangkan sebagai pengganti BBM, kenyataannya tidak didukung perangkat kebijakan yang jelas.

Bahan bakar alternatif, seperti biodiesel, tidak didorong produksinya. Padahal, dengan memproduksi bahan bakar alternatif itu secara massal akan mengganti penggunaan BBM meskipun pada tahap awal masih dalam jumlah sedikit.

Terakhir, pemerintah semestinya tetap konsisten menjalankan program penghematan energi. Aturan hemat energi harus benar-benar diterapkan. Dalam urusan ini pun pemerintah tampak kurang konsisten. Program penghematan energi yang digembar-gemborkan kini seolah-olah tak terdengar lagi.

Sejumlah negara sudah menerapkan pola penghematan BBM. Sayangnya lagi, di Indonesia, kendati telah lama didengungkan penghematan BBM, realisasinya tak pernah tuntas. Ketika harga minyak turun, upaya menghemat BBM pun berlalu.
Jika penghematan sudah sejak lama dilakukan secara efektif di seluruh bidang, barangkali Pertamina tak bakal babak belur setiap kali harga minyak naik. Begitu pula pemerintah, tak pusing tujuh keliling memikirkan besarnya subsidi BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar