Selasa, 17 Januari 2012

Krisis untuk PSSI


Krisis untuk PSSI
Halim Mahfudz, CEO HALMA STRATEGIC DAN PENGAJAR CRISIS MANAGEMENT DI PASCASARJANA UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber : KORAN TEMPO, 17 Januari 2012


Sejak kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) periode 2011-2015 terpilih dalam kongres yang sah pada 9 Juli tahun lalu, persepakbolaan Indonesia belum menikmati suasana tenang untuk meningkatkan kualitas. Krisis kembali menghantam organisasi nasional milik bangsa ini. Berbeda dengan krisis sebelumnya, krisis yang sekarang adalah krisis yang sengaja dirancang untuk mengambil alih kontrol organisasi dengan menggulingkan pengurus, bukan krisis karena ketidakmampuan organisasi memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas sepak bola. Mengikuti teori krisis (Coombs, 2006), krisis yang sekarang adalah krisis yang terjadi akibat serangan dari luar atas sebuah organisasi, dalam hal ini organisasi sepak bola terbesar di negeri ini.

Sepak bola adalah cabang olahraga paling digemari di Indonesia. Cabang inilah yang mampu menarik perhatian dan menyedot penggemar. Ini menjadikan sepak bola sebagai cabang olahraga yang seksi dan menarik minat serta kepentingan di luar olahraga itu sendiri, seperti kepentingan politik dan duit. Jumlah penggemar sepak bola dan penontonnya yang jauh di atas olahraga mana pun merupakan sebuah gelanggang yang sangat menimbulkan berahi politik partai. Jumlah dana yang berputar di olahraga ini pun, jika dikelola secara profesional, adalah jumlah yang menggiurkan untuk diselewengkan.

Dalam hal suap dan pengaturan skor sepak bola, Indonesia bukan satu-satunya negara yang tertimpa. Dugaan terakhir yang tak terungkap adalah pertandingan Indonesia versus Malaysia yang berbau skandal. Di Italia, kasus suap terkuak pada Juni 2011 ketika beberapa mantan pemain nasional diperiksa, masuk tahanan rumah, atau telah ditahan akibat suap pengaturan skor atau pengaturan transfer pemain yang bertentangan dengan peraturan. Di Inggris, FA harus membentuk tim investigasi yang dipimpin Lord Stevens untuk menyelidiki berbagai dugaan kasus sogok dan pengaturan skor sepak bola tahun 2006. Bagusnya, di Inggris, peran media sangat membantu membongkar manipulasi dan korupsi. Penyelidikan di sana terbantu oleh peran penting BBC yang jujur sebagai media. BBC sempat memfilmkan beberapa orang yang sedang melakukan transaksi ilegal.

Indonesia tak perlu lagi tertular kesalahan yang sama dengan memanipulasi olahraga menjadi ladang perolehan uang haram dan memperlakukan sepak bola sebagai komoditas politik. Kegagalan prestasi dan krisis di era kepengurusan yang lalu seharusnya sudah cukup memberi pembelajaran bagi para pengelola sepak bola, pemain, wasit, penggemar, serta pendukung klub dan media massa agar hal itu tidak terulang. Sekarang kita hanya butuh satu saja: prestasi!

Negeri ini butuh sesuatu yang lebih berarti untuk membangun nama baik bangsa, wadah penyaluran bakat anak muda yang konstruktif yang dikelola dengan transparan, dan sinergi seluruh komponen bangsa, daripada sekadar keributan pengelolaan sepak bola. Yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah jangan lagi memberi contoh buruk kepada orang lain dan generasi muda dengan memaksakan kepentingan kelompok dan dengan cara menutupi kebenaran dan melanggar aturan.

Tantangan

Ketika terpilih dalam Kongres 9 Juli 2011, tidak pernah tersirat di kalangan pengurus yang sekarang tantangan seperti apa saja yang akan mereka hadapi. Mereka berfokus pada lima pilar pengembangan sepak bola, yaitu pembenahan organisasi, peningkatan kualitas kompetisi, pembinaan dini, sports science, dan pembentukan timnas yang kuat. Tetapi gejala munculnya krisis atau disebut dengan prodromes (Coombs, Barton, Fearn-Banks) mulai tampak ketika mereka melihat kondisi nyata.

Setelah unggul dalam Kongres, beberapa hal yang ditinggalkan pengurus lama mulai terasa mengganggu kinerja, sementara program-program yang terkait dengan lima pilar terus mendesak untuk ditangani. Hanya dua pekan setelah terpilih dalam Kongres, Indonesia harus menghadapi pertandingan melawan Turkmenistan, padahal tim pemain belum disiapkan oleh pengurus lama. Pengurus baru juga mendapati kenyataan PSSI seperti ditinggalkan dalam keadaan terbengkalai, kas kosong, bahkan menunggak pembayaran. Ini hanya sebagian dari beberapa prodromes. Juga, PSSI bisa jadi satu-satunya organisasi yang membutuhkan lima kali kongres untuk memilih seorang ketua umum, wakil ketua umum, dan sembilan anggota Komite Eksekutif. Ini menunjukkan pengelompokan yang tajam antara status quo dan reformis dalam pengelolaan sepak bola di Indonesia.

Pengelompokan antara status quo dan kelompok reformis makin jelas dalam perkembangan pengelolaan PSSI. Makin banyak isu yang dimunculkan dan makin lebar jarak di antara dua kelompok ini. Isu-isu sengaja dimunculkan, termasuk antara lain tudingan bahwa pengurus melanggar Statuta, pengurus tidak melaksanakan amanat Kongres Bali, meski tidak jelas item yang mana, dan ternyata proses Kongres Bali itu sendiri cacat.

Tommy Hilfiger-Oprah

Krisis yang ditujukan untuk menyerang organisasi atau perorangan pernah terjadi atas diri desainer Tommy Hilfiger dan Oprah Winfrey. Pada 1996, rumor beredar di Internet bahwa Tommy pernah memberikan pernyataan dalam Oprah Winfrey Show bahwa dia tidak ingin pakaian rancangannya dikenakan oleh orang keturunan Afro-Amerika, Hispanik, dan Asia. Oprah dirumorkan bertanya kepada Tommy apa benar pernyataan tersebut, dan Tommy menjawab “yes”. Saat itulah, kata rumor tersebut, Oprah mengusir Tommy dari show-nya. Maka, dunia media sosial pun heboh tentang rumor tersebut. Apa yang diperoleh Tommy dari kasus tersebut? Boikot!

Untuk mengatasi rumor yang mengarah menjadi krisis dan meruntuhkan reputasi tersebut, kedua orang itu menemukan cara masing-masing. Tommy dengan hati-hati menyusun pernyataan “I want you to know the facts so that you are not the victim of a classic ‘urban myth’ that perpetuates untruths and has no basis in reality”. Oprah bahkan lebih kuat dengan menyatakan, “Tommy Hilfiger has never appeared on this show. Read my lips..., Tommy Hilfiger has never appeared on this show.” Pernyataan tersebut disampaikan live dan disiarkan oleh televisi.

PSSI juga harus menemukan cara yang kuat untuk meluruskan persepsi keliru tentang rumor dan krisis yang diarahkan ke organisasi ini. Misalnya saja, menghadapi permintaan KLB dengan alasan yang tidak jelas, PSSI mengungkapkan jumlah total anggota adalah 588 dan yang diklaim mengajukan KLB 460 anggota. Tetapi hasil verifikasi tahap I menunjukkan, dari 460 anggota tersebut, 11 adalah data ganda, 80 bukan anggota atau masih calon, dan 49 sudah menandatangani pakta integritas, sehingga hanya 320 yang sungguh-sungguh anggota sah, kurang dari dua pertiga seperti disyaratkan oleh Statuta. Ini baru dari verifikasi tahap pertama, belum dilanjutkan dengan verifikasi tahap II, sebuah langkah verifikasi forensik yang lebih cermat.

Itu hanya salah satu cara keluar dari krisis, yaitu menyampaikan yang benar dengan jujur. Isu-isu lain yang ditimpakan bisa dicermati, dan ditemukan cara efektif untuk dituntaskan dan dimatikan. Dan landasan paling penting dalam mengatasi krisis dan tetap menjaga reputasi PSSI adalah transparansi dan komunikasi yang jernih ke semua stakeholders (pemangku kepentingan). Banyak stakeholders yang kurang mendapat informasi atau yang punya kepentingan, seperti politikus. Mereka butuh pencerahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar