Sabtu, 07 Januari 2012

Kontroversi Baru Produk Tembakau


Kontroversi Baru Produk Tembakau
FS Swantoro, PENELITI DARI SOEGENG SARJADI SYNDICATE JAKARTA
Sumber : SUARA MERDEKA, 7 Januari 2012


"Kontroversi produk tembakau kini sudah memasuki babak baru, terkait dengan pembahasan RUU Pengendalian Produk Tembakau"

SEJAK DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif dan berbahaya bagi kesehatan, sejak itu pula kontroversi produk tembakau menjadi perdebatan panas. Begitu pula ketika petani tembakau dari Temanggung mengajukan judicial review UU Kesehatan dalam pertimbangan amar putusannya Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan tembakau. Akibatnya, putusan itu bisa menimbulkan konsekuensi besar, yakni hancurnya produk tembakau.

Padahal tembakau bukan zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan seperti ditekankan kalangan farmasi dan ahli kesehatan. Begitu pula peringatan dalam bungkus rokok, ''merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, serta gangguan kehamilan dan janin'' lebih bersifat potensial, bukan faktual. Faktanya ada jutaan perokok dalam waktu lama, mereka tetap sehat.

Saya tidak berpihak pada pabrik rokok dan tidak ada kaitannya. Tetapi saya melihat bahwa sulit menghindari isu produk tembakau telah masuk menjadi bagian dari isu ekonomi, politik, sosial budaya, kesehatan, dan hubungan antarnegara. Banyaknya kepentingan yang berperan, menjadikan produk tembakau menimbulkan kontroversial.

Lihat UU Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 113, Ayat (1); Ayat (2); dan Ayat (3) secara eksplisit menyebutkan tembakau mengandung zat adiktif, yang dapat mengganggu kesehatan sehingga peredarannya harus menurut standar yang ditetapkan. Adapun zat adiktif lain seperti kopi, teh, anggur, dan alkohol tidak disebutkan. Sulit dihindari kesan terjadi perang dagang antara pabrik rokok dan pabrik farmasi/ obat-obatan.

Juga terlihat kasat mata upaya pihak asing mematikan industri rokok dalam negeri me­lalui berbagai regulasi hingga UU yang mengatur produk tembakau. Saat ini pemerintah pu­sat atau daerah me­nyu­sun rancangan peraturan pemerintah (RPP) atau perda yang mengatur ketat peredaran rokok, iklan rokok, dan larangan merokok di ruang publik. Jika itu tidak disikapi hati-hati nasib produk tembakau bisa sama seperti minuman limun Saparela, yang bangkrut dan gu­lung tikar, setelah Coca-Cola masuk Indonesia.

Selain debat panas itu, kini muncul hal lain yang menimbulkan multiefek, hingga perlu dibahas seluruh komponen terkait. Rokok kretek sebagai produk warisan asli bangsa Indonesia punya arti penting bagi jutaan petani tembakau, petani cengkeh, buruh rokok, pedagang rokok, industri rokok, dunia olah raga dan hiburan, hingga iklan media.

Jangan Gegabah

Karena itu, jangan gegabah membuat kebijakan soal tembakau ini. Belum lagi bicara cukai tembakau Rp 63 triliun setahun, yang pasti bermanfaat untuk menambah pundi-pundi keuangan negara.

Selain itu, secara ekonomis rokok juga terkait erat dengan buruh pabrik kertas, lem, saus, filter, pekerja restoran, hotel, dan pariwisata. Sebagai warisan asli bangsa, rokok kretek dapat menjadi  kebanggaan nasional, seperti halnya cerutu dari Kuba, vodka dari Rusia, sake dari Jepang, wine dari Prancis/ Italia. Apalagi rokok kretek sudah menjadi aroma jiwa bangsa kita seperti; batik, keris, angklung, gamelan, dan wayang kulit.

Terlebih lagi, bangsa ini dalam sejarahnya, memandang produk tembakau sebagai konteks kultural. Meminjam ungkapan Sobary (2010), rokok dan tembakau telah menjadi tali peneguh silahturahmi dan solidaritas sosial. Dengan begitu produk tembakau telah menjadi bagian ritus kolektif budaya masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar