Senin, 16 Januari 2012

Kedaulatan Migas Indonesia 2012


Kedaulatan Migas Indonesia 2012
Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012


Hakikat kedaulatan migas sebagai bagian dari kedaulatan energi adalah kemampuan memenuhi seluruh kebutuhan minyak dan gas bumi nasional. Berarti, secara neto tak ada lagi impor minyak dan BBM.

Namun, sejak menjadi negara pengimpor neto minyak tahun 2004, Indonesia bergantung kepada negara lain dan tidak lagi memiliki kadaulatan energi.
Kedaulatan atas penguasaan volume produksi di dalam negeri menjadi sangat strategis karena terkait langsung besaran volume impor minyak (dan BBM) serta besaran subsidi BBM yang bermuara pada defisit APBN.

Bagi negara dengan tingkat ketergantungan energi relatif tinggi kepada negara lain, kedaulatan atau penguasaan volume migas menjadi sangat strategis karena langsung terkait hajat hidup rakyat.

Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, kedaulatan energi Indonesia jauh lebih rentan. Malaysia melalui Petronas mempunyai akses penguasaan migas di 30 negara di luar Malaysia. Untuk meningkatkan kedaulatan energi, Indonesia diharapkan mampu mengembangkan volume cadangan migas dalam negeri melalui akselerasi kegiatan kebumian, baik kelengkapan data geologi dan geofisika—terutama di Indonesia timur dan wilayah perbatasan—maupun sarana penunjang non-kebumian untuk memperbaiki iklim investasi. Untuk penguasaan migas di luar negeri, pemerintah perlu segera memfasilitasi Pertamina agar memperoleh konsesi lapangan migas di luar negeri.

Bagaimana dengan sektor gas? Beruntung Indonesia belum menjadi negara net-pengimpor gas. Walau kekurangan gas untuk memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia masih dianggap mempunyai kedaulatan energi dari sektor gas. Saat ini Indonesia belum punya beban impor gas dan belum punya beban langsung subsidi gas sehingga pemerintah tampaknya belum berniat mengangkat lifting gas menjadi asumsi dasar APBN.

Apabila Menteri Keuangan memutuskan menggabung lifting minyak dengan lifting gas sebagai asumsi makro APBN, tingkat keberhasilan lifting pemerintah akan lebih baik. Namun, sejauh model kontrak production sharing contract (PSC) yang terkait penguasaan volume tak direvisi, hal ini tidak banyak memengaruhi kedaulatan migas dan pengurangan defisit APBN.

Jalan Pintas

Sejak dulu kedaulatan Indonesia terhadap volume lifting migas nasional hanya separuh, separuh lagi dikuasai oleh kontraktor. Padahal, model PSC memungkinkan para investor meminta pengembalian biaya pemulihan (cost recovery) dalam bentuk volume minyak dan gas.

Fasilitas ini menguntungkan investor. Pertama, investor mempunyai akses penguasaan volume yang dapat dibawa langsung ke negerinya. Kedua, investor mempunyai akses untuk menjual volume tersebut dengan harga premium. Ketiga, investor memiliki akses untuk tukar guling (swap) antarpemangku kepentingan dalam dan luar negeri.

Sebelum menjadi negara net-pengimpor minyak, model PSC tidak menjadi masalah. Namun, sebagai negara net-pengimpor minyak, pemerintah perlu mempertimbangkan model kontrak yang lebih berdaulat.

Besarnya volume migas Indonesia yang dikuasai kontraktor tergantung dua variabel utama, yaitu harga minyak dan biaya pemulihan. Semakin tinggi biaya pemulihan, semakin banyak volume yang harus diserahkan kepada kontraktor sehingga pengendalian dan pengawasan biaya perlu lebih ditingkatkan. Namun, semakin tinggi harga minyak dunia, volume yang diserahkan mengecil karena harga minyak jadi faktor pembagi.

Penguasaan volume oleh kontraktor atas pengembalian biaya pemulihan sebesar 30-35 persen volume lifting jelas mengurangi akses Indonesia untuk kedaulatan migas di dalam negeri.

Guna mengangkat kedaulatan migas nasional, ke depan pemerintah perlu merevisi model kontrak migas agar formula pengembalian biaya pemulihan tidak lagi dalam bentuk volume, tetapi diganti dengan dollar; tidak lagi dalam bentuk inkind, tetapi tunai (cash) dengan patokan harga pasar atau Indonesia Crude Price (ICP). Yang penting investor tetap diuntungkan.

Keuntungan bagi Indonesia adalah jika volume migas untuk kilang BBM dan sektor pengguna migas di dalam negeri bertambah, jumlah impor minyak dan BBM berkurang, jumlah subsidi untuk BBM berkurang yang semuanya akan bermuara pada pengurangan defisit APBN. Yang paling penting adalah kedaulatan energi nasional meningkat sejalan dengan berkurangnya tingkat ketergantungan impor dari negara lain.

Pada kontrak-kontrak migas ke depan, seyogianya pemerintah mempertimbangkan model kerja sama yang tidak harus menyerahkan volume sebagai bagi hasil atau keuntungan usaha investor. Lebih baik diganti dalam bentuk pembayaran tunai. Volume lifting minyak dan gas bumi sebanyak mungkin harus tetap berada di Bumi Pertiwi, terutama jenis-jenis minyak yang dapat diolah kilang minyak dalam negeri.

Cara lain menahan volume lebih banyak di dalam negeri terkait kontrak ekspor gas dengan formula harga ”kurang menguntungkan” adalah dengan mengirim gas ke luar negeri sebatas volume gas bagian kontraktor. Sedangkan volume gas bagian pemerintah ditahan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik yang membengkak.

Penghitungan Akuntansi

Walaupun secara fisik sulit membagi gas menjadi dua bagian, pemisahan volume gas bagian kontraktor dengan bagian pemerintah sangat dimungkinkan melalui model penghitungan akuntansi. Dengan demikian, dapat dipastikan berapa gas bagian kontraktor yang boleh diekspor.

Secara kontraktual memang perlu dicermati hubungan dengan pihak pembeli yang mungkin saja menuntut karena volume berkurang dan dianggap sebagai pelanggaran kontrak jual-beli gas, tetapi demi kedaulatan migas model ini pantas untuk dikaji lebih saksama.

Beberapa cara lain untuk menguasai volume yang relatif lebih kecil adalah penyerahan hak royalti FTP (first tranche petroleum). Bagian kontraktor tidak lagi menggunakan volume migas, tetapi dibayar tunai. Demikian juga keuntungan bagian BUMD atau perusahaan daerah pada lapangan migas, sebaiknya dibayar dengan dollar (cash).
Tentu saja semua opsi masih harus dipertimbangkan untung ruginya bagi iklim investasi hulu migas di Indonesia, tetapi selama investor masih memiliki portofolio keuntungan yang wajar, tidak perlu terlalu khawatir mereka akan kabur meninggalkan Indonesia.

Hal utama terkendalanya iklim investasi hulu migas di Indonesia adalah menumpuknya hambatan ”nonteknis” yang harus segera diselesaikan secara lintas sektor, baik di pusat maupun daerah, mulai dari perizinan, pembebasan lahan, hingga masalah otonomi daerah.

Hal lain yang tidak kalah penting dalam penegakan kedaulatan migas adalah mempersempit ruang gerak para pemburu rente yang menjadi parasit di lingkaran elite politik yang justru berupaya melanggengkan impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar