Senin, 16 Januari 2012

Jangan Bergantung pada Keberuntungan


Jangan Bergantung pada Keberuntungan
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE DAN DOSEN FEUI
Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012


”Yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai sudut benak kita.”

Kalimat kuno dari Keynes itu masih terasa benar hari ini, saat dunia yang cemas bicara soal rentannya ekspor terhadap fluktuasi ekonomi global.
Begitu juga kita. Kita mulai bicara gejala pelambatan ekspor sejak September lalu. Kita bicara tentang perlunya diversifikasi ekspor. Ini bukan hal baru, ironisnya, tetapi kita tetap bergantung pada ekspor primitif kita.

Saya ingat pertemuan National Bureau of Economic Research (NBER) untuk Asia Timur tahun 2010. Dalam konferensi NBER—yang dianggap sebagai lembaga riset ekonomi paling bergengsi di dunia—Joshua Aizenman melihat integrasi global mempercepat anjloknya ekspor secara tajam.

Aizenman benar. Dampak krisis global tahun 2008 relatif minim terhadap Indonesia karena kombinasi dari antisipasi kebijakan yang baik dan nasib yang baik. Antisipasi kebijakan oleh pemerintah dan Bank Indonesia telah menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Namun, kita juga beruntung karena ekonomi kita didominasi konsumsi domestik. 
Akibatnya, dampak pelemahan ekonomi global terbatas. Sebaliknya, negara yang terintegrasi dalam jaringan produksi atau yang berorientasi ekspor, seperti Singapura, terpukul.

Karena itu, dalam pertemuan NBER itu saya sampaikan bahwa strategi orientasi ekspor harus diikuti oleh diversifikasi terhadap produk dan negara tujuan. Inilah yang akan menyelamatkan suatu negara dari fluktuasi global.

Mengapa kita tidak fokus saja pada pasar domestik? Hati-hati, kita harus memanfaatkan keduanya! Dalam bab pada buku Managing Openness: Trade and Outward-Oriented Growth After the Crisis, yang diterbitkan Bank Dunia (2011), saya dan Sjamsu Rahardja menunjukkan bahwa salah satu alasan mengapa konsumsi domestik Indonesia tetap kuat dalam krisis 2008—selain stimulus fiskal dengan potongan pajak—adalah akumulasi tabungan akibat kenaikan harga komoditas ekspor primer beberapa tahun lalu. Eksporlah yang menyelamatkan konsumsi domestik!

Di sini ada dilema: menggantungkan diri pada ekspor dapat membuat ekonomi Indonesia rentan, tetapi meninggalkan ekspor akan melemahkan konsumsi. Apa pilihannya? Pertahankan strategi ekspor, tetapi diversifikasi produk dan negara tujuan. Tanpa itu, kita rentan terhadap fluktuasi global.

Sayangnya, produk dan pasar ekspor kita masih primitif. Diversifikasi relatif terbatas. Dalam buku itu saya dan Rahardja menunjukkan bahwa pendorong ekspor Indonesia dalam 18 tahun terakhir adalah produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama.

Penemuan baru (new discovery)? Kurang dari 5 persen. Bahkan kontribusi dari produk baru di pasar yang baru hampir tidak ada! Sangat berbahaya apabila tidak ada perbaikan dalam soal ini. Tahun 2008 kita beruntung. Apakah tahun 2012 ini kita beruntung lagi? Don't push your luck too far.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, diversifikasi ekspor membutuhkan inovasi. Inovasi membutuhkan penelitian dan pengembangan (litbang). Sayangnya, litbang kita lemah. Teknologi tidak begitu saja diperoleh dari negara maju. Dibutuhkan insentif agar litbang berjalan.

Di sini peran pemerintah dibutuhkan. Berikan potongan pajak untuk aktivitas litbang dan pelatihan. Dalam pertanian, misalnya, kita butuh inovasi dalam varietas baru (termasuk agrobioteknologi), pendekatan baru dalam pengelolaan air dan lingkungan, dan infrastruktur yang mendukung pertanian.

Kedua, inovasi tak bisa bergantung pada bank komersial karena adanya ketidaksesuaian di dalam sumber pembiayaan dan waktu proyek yang sifatnya jangka panjang. Di sini penguatan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia bisa menjadi opsi.

Ketiga, eksperimen dengan produk baru hanya bisa dilakukan apabila ada keuntungan. Biaya logistik yang tinggi mengurangi keuntungan sehingga insentif untuk melakukan inovasi produk baru terhalang. Karena itu, perbaikan dalam logistik, melalui pembangunan infrastruktur, tidak bisa ditawar.

Keempat, juga ditunjukkan bahwa ekspor kita kian terkonsentrasi pada ekspor primer karena apresiasi riil nilai tukar rupiah. Karena itu, nilai tukar harus dijaga agar kompetitif. Caranya: jaga inflasi tetap rendah.

Kelima, promosi dan pemasaran merupakan salah satu kendala yang menghambat ekspor kita. Diversifikasi ekspor harus didukung pemasaran dan promosi yang kuat. Jika Indonesia mulai masuk ke dalam struktur pasar yang monopolistik, maka eksportir harus mampu bersaing bukan hanya dalam harga, melainkan juga dalam merek dan promosi.

Keenam, kembangkan ekspor jasa. Sektor jasa mempekerjakan hampir separuh dari pekerja Indonesia. Kita punya potensi besar dalam pariwisata dan juga tenaga kerja. Apalagi tahun 2025, banyak negara di Asia punya persoalan orang berusia lanjut. Dengan bonus demografi, kita bisa memasok tenaga kerja. Syaratnya: kualitas sumber daya manusia harus baik.

Pemikiran ini jelas bukan hal yang terlalu sulit. Kesulitannya bukan dalam ide baru, melainkan bagaimana meninggalkan cara berpikir lama yang selama ini menguasai benak kita. Persis seperti kata Keynes lebih dari 75 tahun silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar