Jumat, 13 Januari 2012

Jangan Pernah Lupa Semangat Rekonsiliasi

Jangan Pernah Lupa Semangat Rekonsiliasi
Ferry Mursyidan Baldan,  KETUA PANSUS RUU PEMERINTAHAN ACEH TAHUN 2006
Sumber : SINAR HARAPAN, 13 Januari 2012


Perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, disambut gempita seluruh rakyat Aceh. Perjanjian ini sekaligus menutup periode kelam konflik berdarah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melawan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kondisi damai ini pada kenyataannya memang dirasakan rakyat Aceh. Namun, perdamaian itu kini terusik pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Bahkan, kondisi Aceh kini semakin mencemaskan.

Apa artinya ini semua? Ini semakin menegaskan proses Pilkada tidak ditempatkan sebagai bagian dari proses rekonsiliasi yang memperkokoh perdamaian di Aceh.
Sejak awal persiapan pelaksanaan pilkada sudah diingatkan, untuk membentuk qanun sebagai landasan hukum pelaksanaan pilkada, sebagaimana diamanatkan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Secara norma, hal tersebut menjadi penting karena terdapat pengaturan yang bersifat khusus yang memerlukan wadah. Selain itu, jika ada norma dalam UU lain yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UU PA dapat dimuat dalam qanun sebagai pengaturan yang melengkapinya.

Amanat yang sesuai UU PA ini penting karena sejak awal UU itu sudah menempatkan secara proporsional semangat untuk mufakat dari banyak elemen masyarakat Aceh. 
Oleh karena itu, pengabaian pembentukan qanun menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan, ditambah lagi ketika ada uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) Pasal 256 UU PA yang tentang Calon Independen. Ini kemudian ditambah lagi dengan gugatan TA Khalid ke MK tentang SK Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh.

Bahkan, dalam putusan sela MK atas gugatan TA Khalid tersebut, dalam pertimbangannya MK menyebut, "adanya ketidakpastian hukum" berkaitan belum dibentuknya qanun yang baru. Seharusnya semua putusan tersebut menjadi bahan permufakatan untuk diakomodasi dalam qanun tentang pilkada.

Pembentukan qanun baru yang menggantikan Qanun No7/2006 menjadi semakin penting dan mendesak karena prosesnya dilakukan DPRA dan gubernur. Namun, elemen masyarkat Aceh dapat memberi masukan. Dengan demikian, pilkada sejak awal pembentukan aturan mainnya, tetap menjalankan spirit rekonsiliasi bagi kokohnya perdamaian di Aceh.

Namun, keengganan untuk membentuk qanun baru pilkada dan semata melandaskan pada SK KIP (yang sering kali berubah), memberi gambaran tidak kokohnya pelaksanaan pilkada di Aceh.

Belum lagi para pihak senantiasa mengutip Pasal 2 dalam UU lain yang terkait dengan pilkada berdasarkan versi masing-masing. Dalam keterangan saya di MK, pasal ini saya sebut sebagai "potensi konflik regulasi". Kondisi ini tentu semakin tegang karena hajat pilkada tentu menghendaki para pihak tetap terjaga peluangnya untuk ikut, bahkan tidak dirugikan dalam pelaksanaan pilkada.

Keliru

Permohonan pemerintah yang diwakili Mendagri untuk dapat mengakomodasi Partai Aceh (PA) dalam pilkada adalah keliru. Apalagi, keterangan pemerintah dalam sidang-sidang di MK terkait Pilkada Aceh tidak menunjukkan semangat yang kuat untuk menengahi pro-kontra yang ada.

Jadi, ini bukan soal waktu pendaftaran pilkada. Jika hanya terkait pendaftaran calon, sejak awal PA sebagai pemenang pemilu di Aceh sudah dapat mendaftarkan diri.
Namun, PA menginginkan adanya pengaturan pelaksanaan pilkada yang semuanya dituangkan dalam qanun, sebagaimana diamanatkan UU Aceh. Meski belum dapat dikatakan sempurna, UU Aceh setidaknya sudah menampung dan dibahas dalam spirit terbangunnya rekonsiliasi serta langkah-langkah reintegrasi masyarakat Aceh pascaperdamaian Helsinki.

Jika Pilkada bertujuan menciptakan Aceh yang damai, maju, dan sejahtera, pilkada harus ditempatkan dalam spirit rekonsiliasi. Jangan pula dilupakan, damai di Aceh baru berjalan enam tahun setelah konflik puluhan tahun. 

Untuk itu, saatnya semua kembali pada spirit damai dan rekonsiliasi dalam mewujudkan Aceh sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Bukan pelaksanaan pilkada yang menjadi tujuan, namun proses dan hasil pilkada yang harus tetap dalam koridor penguatan rekonsiliasi yang mengokohkan perdamaian Aceh. 

Untuk itu, segera akhiri ketidakpastian regulasi dalam pelaksanaan pilkada karena jika tetap dilaksanakan tanpa landasan qanun baru, sesungguhnya "kekerasan"  regulasi telah dibiarkan untuk menciptakan kerumitan dalam pelaksanaan pilkada.

Tokoh dan masyarakat Aceh memiliki kemauan dan kemampuan untuk bermufakat, maka lakukan itu untuk tetap menjaga perdamaian Aceh. Tidak ada yang harus dimenangkan, sebaliknya juga tidak ada yang harus dikalahkan. Hal yang harus dilakukan adalah memberi hak hidup wajar dan damai dalam rajutan rekonsiliasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar