Jumat, 13 Januari 2012

Eutanasia Vs Etika

Eutanasia Vs Etika
Joseph Henricus Gunawan,  PEMERHATI MASALAH ETIKA MEDIS,
ALUMNUS UNIVERSITY OF SOUTHERN QUEENSLAND (USQ), AUSTRALIA
Sumber : SINAR HARAPAN, 13 Januari 2012


Permohonan suntik mati (eutanasia) keluarga miskin Kardjali Karsoud (69) berkaitan dengan sakit kanker payudara yang diderita istrinya, Samik (52), tidak terkabul dan tidak terwujud karena pada tanggal 12 Desember 2011, akhirnya Pemerintah Kota Surabaya mengangsur tunggakan jamkesda berobat warga miskin ke RSUD Dr Soetomo senilai Rp 38 miliar.

Pemkot Surabaya berutang Rp 58 miliar. Kasus ini menarik, karena di dunia eutanasia masih menjadi perdebatan etika dan moral,  tidak terkecuali di Indonesia. Permohonan eutanasia pertama di Indonesia diajukan kepada negara pada tahun 2004.
Hippocrates (460-370 SM) adalah ahli fisika dari Yunani kuno dan dikenal sebagai Bapak Kedokteran, pertama kali menggunakan istilah eutanasia pada Sumpah Hippocrates (Hippocratic Oath) pada tulisan dan risalahnya yang berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun, meskipun telah dimintakan untuk itu.”

Dalam bukunya De Vita Caesarum (The Lives of the Caesars atau The Twelve Caesars), sejarawan dan penulis biografi Romawi, Gaius Suetonius Tranquillus (69-122) menguraikan secara terperinci bahwa eutanasia adalah “mati cepat tanpa derita”. Sementara itu, Philo (20-50 SM), filsuf kelahiran Alexandria menginterpretasikan eutanasia sebagai mati dengan tenang dan baik.

Terminologi eutanasia berasal dari bahasa Yunani ?? (eu) yang artinya baik, indah, bagus, dan q?natoV (thanatos) berarti kematian. Dipandang dari segi etimologis, eutanasia berarti kematian yang baik, menyenangkan atau bahagia. 

Eutanasia atau mercy killing yang berarti pembunuhan secara sengaja atas pasien yang sakit sangat parah, menderita, tanpa harapan hidup, dan menjelang maut menjemput untuk mengakhiri hidup pasien atas permintaannya sendiri atau bantuan yang diberikan kepada pasien untuk mati dengan tenang atas permintaannya sendiri, dengan menggunakan zat-zat yang mematikan atau sarana-sarana lain, seperti menghentikan mesin penunjang dan penyambung kehidupan (alat-alat life support) dengan teknologi medis yang canggih, seperti alat pernapasan (respirator), ventilator, mesin jantung, dan paru-paru. 

Alasan yang paling mendasar untuk eutanasia adalah menghindari rasa sakit serta membebaskan penderitaan akut yang biasanya dari natur fisik.

Hak Legal

Samuel D Williams (1870) dan Lionel Tollemache (1873) telah menerbitkan dua karangan yang berisikan argumentasi bahwa ketika pasien menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan meminta agar kehidupan pasien diakhiri, dokter mempunyai hak legal untuk membantu pasien yang kesakitan.  

Profesor hukum di The University of San Diego, Yale Kamisar, menemukan kontradiksi bahwa pasien dalam keadaan kesakitan yang tak tertahankan tidak cukup rasional berpikir jernih untuk memilih kematian dirinya sendiri.

Pandangan itu berkesesuaian dengan Olga Lelacic, profesor hukum dari University of Split, Kroasia dalam karyanya, L eutanasie demande, bahwa: “Dalam kenyataannya seorang pasien yang meminta kepada dokter untuk memperpendek atau mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, namun ingin menghentikan dan lepas dari penderitaan karena penyakitnya.”

Menurut Bonnie Steinbock, profesor bioethics dan filsafat dari Universitas Albany, New York, terdapat dua keadaan ketika penghentian dan pengakhiran perawatan untuk mempertahankan kehidupan tidak dapat disamakan dengan membiarkan mati secara sengaja.

Pertama, berkaitan dengan penghargaan dokter terhadap hak pasien untuk menolak perawatan dan untuk bebas dari campur tangan yang tidak dapat dibenarkan.
Kedua, terkait dengan mengakhiri perawatan alat bantu khusus yang dianggap memberikan keuntungan sedikit saja bagi si pasien. Keputusan juga tergantung dari harapan akan manfaat sesungguhnya bagi pasien, karena dokter tidak dimandati tugas untuk melakukan apa yang tidak bermanfaat. 

Tepatlah pandangan Margaret Mead (1901-1978), antropolog yang mendalami budaya Amerika: “it is the duty of society to protect the physicians from such requests” (eutanasia maupun aborsi). Artinya, kemajuan teknis biomedis dan teknologi kedokteran harus membantu meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup individu bukan malah mengaburkan batas antara hidup dan mati. 

Patut diteladani gerakan klinik kematian atau hospice care movement yang dipelopori Dame Cicely Mary Saunders (1918-2005) dengan merintis dan mendirikan St Christopher’s Hospice di London pada 1967 termasuk perawatan paliatif (palliative care) dalam modern medicine, clinical care, penanganan nyeri telah menyiapkan dan menyediakan suatu jalan keluar dan solusi.

Adrian Holderegger, profesor moral theology and ethics dari Universite de Fribourg menilai manusia harus menghadapi kesulitan, situasi malang, sakit, penderitaan yang bisa mendorong melakukan bunuh diri sebab kehidupan fisik manusia selalu ditopang dan dilindungi Allah yang menjamin hidup dan manusia wajib memaksimalkan kemampuan potensi dirinya.

Ini harus dilihat sebagai tahap proses pematangan, pendewasaan diri tertinggi dan tidak boleh diperpendek manusia. Ini berarti termasuk pelarangan tindakan memperpendek umur serta mempersingkat hidup secara langsung maupun tidak langsung. 

Dalam pandangan kristiani, penderitaan mempunyai makna dan arti khusus dalam rencana keselamatan Allah. Manusia dapat belajar dari penderitaan, karena akan menguatkan manusia dan dapat memperkaya hidup rohaninya.

Penderitaan bukan untuk dihindari, tetapi bisa menjadi ujian demi  membangun karakter. Manusia harus selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi dan meringankan penderitaan.

Penyebab kematian manusia melalui eutanasia tidak dapat diterima dengan alasan apa pun, karena hal itu menolak kedaulatan Allah atas maksud dan tujuan pemberian hidup kepada manusia serta bertentangan dengan prinsip pro-life.

Eutanasia melihat manusia sebagai tuan atas kehidupan dirinya sendiri, padahal kehidupan manusia sebagai anugerah dari Allah, dipelihara dalam perwalian sepanjang kehidupan manusia di bumi. 

Menentukan saat kematian adalah hak prerogatif Allah, bukan manusia. Hak mutlak yang ada pada Allah atas hidup dan mati manusia. Manusia tidak memiliki hak mutlak untuk memutuskan tentang hidup atau matinya manusia.

Tugas manusia bukanlah mengambil keputusan menggantikan Allah, tetapi menunggu keputusan Allah Sang Pencipta. Dia yang berhak mengambil kembali nyawa manusia, kalau saatnya tiba.

Pendeta Dr Stephen Tong pernah berkata bahwa identitas manusia ditetapkan sedemikian tinggi, anggun, hormat, dan mulia karena rencana dan kehendak Allah yang kekal menjadikan manusia dicipta mirip Allah menurut peta dan teladan-Nya sendiri (imago Dei), Allah memberikan tanggung jawab kepada manusia atas hidup manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar