Telisik
Brutalisme Mesuji
Herie Purwanto, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEKALONGAN
(UNIKAL)
Sumber
: SUARA
MERDEKA, 17
Desember 2011
APA yang harus segera diperbuat pemerintah
bila benar ada pembunuhan 30 petani di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung oleh
personel pamswakarsa PT Silva Inhutani yang dibekingi polisi? Pengaduan warga
Mesuji dan keluarga korban tidak main-main mengingat mereka membawa rekaman
video kekerasan itu sebagai bukti di hadapan anggota Komisi III DPR. Mereka
juga didampingi mantan Aster KSAD Mayjen (Purn) Saurip Kadi dan aktor-politikus
Pong Harjatmo
Pembantaian di Mesuji bermula dari keinginan PT Silva membuka lahan perkebunan kepala sawit dan karet pada 2003. Namun penduduk menetangnya. Perusahaan kemudian membentuk pamswakarsa dan dengan beking polisi, mengusir penduduk dari lahan yang akan dijadikan perkebunan. Konflik pun pecah, hingga menewaskan 30 petani dan melukai sejumlah warga (SM, 15/12/11)
Dalam tayangan di televisi, termasuk di Youtube, terlihat petugas keamanan (ada yang berseragam polisi) bertindak arogan. Yang menjadi pertanyaan, apakah tindakan polisi itu sudah sepengetahuan atasan? Apakah pelaksanaan tugas perbantuan mengamankan sebuah kegiatan atau objek itu sudah melalui tahapan sebagaimana standard operating procedure(SOP)? Secara khusus di internal kepolisian, apakah sudah menyusun rencana pengamanannya lebih dulu?
Rangkaian pertanyaan itu perlu dikemukakan mengingat muncul tuduhan dari beberapa pihak, seakan-akan ada pembiaran dalam kasus tersebut. Setiap muncul tindakan anarkis oleh polisi di lapangan sebagai bentuk reaksi atas aksi dari masyarakat, memunculkan pertanyaan tadi. Padahal, pembiaran merupakan bentuk kesengajaan atau mengetahui konspirasi atau tindakan inkonstitusional namun tidak berusaha mencegah.
Bagaimana menakar sebuah perbuatan bisa dikategorikan pembiaran? Pertama; perbuatan yang dilakukan di lapangan dan berbenturan dengan massa hingga menimbulkan korban dilakukan bukan oleh perorangan melainkan dalam ikatan pasukan, walaupun setingkat regu. Mereka ada yang memimpin dan memegang kendali perintah di lapangan. Pemimpin lapangan ini, punya jalur kendali dengan pimpinan di atasnya. Jadi logikanya, ada rentang kendali tanggung jawab antara pemberi perintah dan operator di lapangan.
Seandaianya terjadi eskalasi di luar perkiraan pemberi perintah, pemimpin atau operator di lapangan, tidak bisa keluar dari SOP atau rencana pengamanan yang sudah disusun. Pasalnya SOP sudah menguraikan beberapa alternatif solusi bila terjadi kontijensi atau kejadian luar biasa. Semua ini masuk ranah HAM. Seandainyapun harus dilakukan tindakan polisional yang mengarah pada kekerasan fisik maka harus dilakukan secara terukur dan sesuai dengan keadaan (asas nesesitas).
Kebenaran Sejati
Kedua; sekecil apa pun tindakan kepolisian harus dipertanggungjawabkan kepada komandan yang berwenang menilai apakah tindakan tadi sesuai prosedur atau tidak. Bila terbukti tindakan itu di luar ketentuan maka polisi bisa diajukan ke sidang disiplin, bahkan sidang kode etik profesi sampai sidang umum yang digelar pengadilan negeri. Sebuah pembiaran membawa konsekuensi tanggung jawab berjenjang dari pelaksana di lapangan hingga dua tingkat atasannya.
Logikanya, mungkinkah pejabat setingkat kepala satuan kerja (kapolres atau komandan batalyon) membiarkan anak buahnya yang notebenenya pangkatnya dua tingkat di bawahnya sebagai pelaksana di lapangan, demi sejumlah kompensasi dari pihak pengguna jasa pengamanan polisi?
Dalam konteks kasus Mesuji, sangkaan kepada polisi yang menjadi beking PT itu pasti terkait dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak yang dilibatkan dalam proses pengamanan tersebut. Terlebih perusahaan itu membentuk pamswakarsa, yang belakangan dipertanyakan dari mana sumber perekrutannya, apakah murni dari lingkungan warga sekitar atau merekrut preman jalanan?
Tindakan brutal ala premanisme di Mesuji harus diusut tuntas. Dua fakta yang berbeda, yaitu versi Polri dan temuan Komnas HAM, harus ditarik ke ranah kesepahaman untuk menemukan kebenaran sejati. Jangan mencari pembenaran sendiri-sendiri karena akhirnya kembali masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan. ●
Pembantaian di Mesuji bermula dari keinginan PT Silva membuka lahan perkebunan kepala sawit dan karet pada 2003. Namun penduduk menetangnya. Perusahaan kemudian membentuk pamswakarsa dan dengan beking polisi, mengusir penduduk dari lahan yang akan dijadikan perkebunan. Konflik pun pecah, hingga menewaskan 30 petani dan melukai sejumlah warga (SM, 15/12/11)
Dalam tayangan di televisi, termasuk di Youtube, terlihat petugas keamanan (ada yang berseragam polisi) bertindak arogan. Yang menjadi pertanyaan, apakah tindakan polisi itu sudah sepengetahuan atasan? Apakah pelaksanaan tugas perbantuan mengamankan sebuah kegiatan atau objek itu sudah melalui tahapan sebagaimana standard operating procedure(SOP)? Secara khusus di internal kepolisian, apakah sudah menyusun rencana pengamanannya lebih dulu?
Rangkaian pertanyaan itu perlu dikemukakan mengingat muncul tuduhan dari beberapa pihak, seakan-akan ada pembiaran dalam kasus tersebut. Setiap muncul tindakan anarkis oleh polisi di lapangan sebagai bentuk reaksi atas aksi dari masyarakat, memunculkan pertanyaan tadi. Padahal, pembiaran merupakan bentuk kesengajaan atau mengetahui konspirasi atau tindakan inkonstitusional namun tidak berusaha mencegah.
Bagaimana menakar sebuah perbuatan bisa dikategorikan pembiaran? Pertama; perbuatan yang dilakukan di lapangan dan berbenturan dengan massa hingga menimbulkan korban dilakukan bukan oleh perorangan melainkan dalam ikatan pasukan, walaupun setingkat regu. Mereka ada yang memimpin dan memegang kendali perintah di lapangan. Pemimpin lapangan ini, punya jalur kendali dengan pimpinan di atasnya. Jadi logikanya, ada rentang kendali tanggung jawab antara pemberi perintah dan operator di lapangan.
Seandaianya terjadi eskalasi di luar perkiraan pemberi perintah, pemimpin atau operator di lapangan, tidak bisa keluar dari SOP atau rencana pengamanan yang sudah disusun. Pasalnya SOP sudah menguraikan beberapa alternatif solusi bila terjadi kontijensi atau kejadian luar biasa. Semua ini masuk ranah HAM. Seandainyapun harus dilakukan tindakan polisional yang mengarah pada kekerasan fisik maka harus dilakukan secara terukur dan sesuai dengan keadaan (asas nesesitas).
Kebenaran Sejati
Kedua; sekecil apa pun tindakan kepolisian harus dipertanggungjawabkan kepada komandan yang berwenang menilai apakah tindakan tadi sesuai prosedur atau tidak. Bila terbukti tindakan itu di luar ketentuan maka polisi bisa diajukan ke sidang disiplin, bahkan sidang kode etik profesi sampai sidang umum yang digelar pengadilan negeri. Sebuah pembiaran membawa konsekuensi tanggung jawab berjenjang dari pelaksana di lapangan hingga dua tingkat atasannya.
Logikanya, mungkinkah pejabat setingkat kepala satuan kerja (kapolres atau komandan batalyon) membiarkan anak buahnya yang notebenenya pangkatnya dua tingkat di bawahnya sebagai pelaksana di lapangan, demi sejumlah kompensasi dari pihak pengguna jasa pengamanan polisi?
Dalam konteks kasus Mesuji, sangkaan kepada polisi yang menjadi beking PT itu pasti terkait dengan pemberian sejumlah uang kepada pihak yang dilibatkan dalam proses pengamanan tersebut. Terlebih perusahaan itu membentuk pamswakarsa, yang belakangan dipertanyakan dari mana sumber perekrutannya, apakah murni dari lingkungan warga sekitar atau merekrut preman jalanan?
Tindakan brutal ala premanisme di Mesuji harus diusut tuntas. Dua fakta yang berbeda, yaitu versi Polri dan temuan Komnas HAM, harus ditarik ke ranah kesepahaman untuk menemukan kebenaran sejati. Jangan mencari pembenaran sendiri-sendiri karena akhirnya kembali masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar