Penyandang
Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama
Ramadhani Ray, PENYANDANG DISABILITAS, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG;
AKTIF DI YAYASAN MITRA NETRA JAKARTA
Sumber
: KORAN
TEMPO, 17
Desember 2011
Peringatan Hari Penyandang Cacat pada 3 Desember telah berlalu.
Gemanya kurang terasa. Padahal momentum itu dapat mengingatkan kita mengenai
hak-hak penyandang disabilitas di negeri ini yang masih terabaikan.
Bagaimanapun, penyandang disabilitas juga ciptaan Tuhan serta bagian dari warga
negara.
Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam berbagai hal.
Mereka berhak menikmati fasilitas umum, memperoleh pendidikan, serta memiliki
pekerjaan.Tetapi, apakah semua itu sudah benar-benar dapat dinikmati oleh para
penyandang disabilitas?
Kita tengok saja sarana transportasi di negeri ini. Jembatan
penyeberangan yang
berundak-undak, atau terlalu curam, tentu sangat sulit dilewati
oleh para pengguna kursi roda.Tombol
navigasi lift di gedung-gedung bertingkat pun masih jarang yang
dilengkapi dengan huruf Braille, sehingga menyulitkan tunanetra untuk
menggunakan fasilitas tersebut secara mandiri.Walhasil, mereka harus bergantung
pada orang-orang normal yang ada di sekeliling mereka. Namun agaknya sebagian
besar dari orang-orang tersebut tak terlalu peduli kepada kesulitan yang dialami
penyandang disabilitas. Kalaupun di dalam hati ingin membantu, terkadang mereka
segan, malu, atau tidak tahu bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas.
Dari segi pendidikan, masih banyak penyandang disabilitas yang
masih sulit memperoleh pendidikan. Minimnya jumlah sekolah luar biasa (SLB) dan
tidak siapnya infrastruktur sekolah umum untuk menerima murid penyandang disabilitas
menjadi kendala. Padahal pada dasarnya siswa-siswi penyandang disabilitas pun dapat
mengikuti pelajaran di sekolah regular bersama siswa normal, serta mengenyam pendidikan
hingga jenjang sarjana.
Sebagai contoh, saat ini penyandang tunanetra telah dapat
mengoperasikan komputer secara mandiri dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar.
Dengan demikian, siswa tunanetra tersebut dapat mencatat materi pelajaran serta
menyerahkan tugas kepada guru mereka dalam bentuk print out. Siswa
tunanetra juga menggunakan tape recorder untuk merekam penjelasan guru
atau dosen untuk kemudian disalin kembali ke dalam catatan, baik dalam bentuk
tulisan Braille maupun dokumen di komputer. Sejauh pengetahuan penulis, SMAN 66
Jakarta, yang telah banyak menerima siswa tunanetra, memberi pinjaman fasilitas
laptop dan tape recorder kepada siswa tunanetra yang kurang mampu agar
dapat mengikuti pelajaran. Fasilitas tersebut harus dikembalikan kepada sekolah
jika mereka lulus, agar dapat dimanfaatkan kembali oleh adik-adik kelas mereka.
Agaknya, tindakan semacam ini perlu ditiru oleh sekolah-sekolah lain. Di samping siswa penyandang disabilitas dapat
memperoleh pengetahuan dan pergaulan yang lebih luas, hal ini dapat mendidik
siswa-siswa normal agar dapat berinteraksi dengan teman-teman mereka yang
memiliki keterbatasan, sehingga tumbuh
kepedulian dan pengertian dalam diri mereka sejak dini terhadap penyandang
disabilitas.
Setelah menempuh pendidikan, penyandang disabilitas pun membutuhkan
pekerjaan untuk menafkahi diri dan keluarga. Tetapi masih sangat banyak
perusahaan yang enggan menerima karyawan penyandang disabilitas. Hal ini
mungkin karena paradigma masyarakat yang masih menganggap penyandang disabilitas adalah orang cacat. Kata cacat tentu mengacu kepada sesuatu
yang rusak dan layak untuk dibuang. Padahal penyandang disabilitas hanya memerlukan
sarana pendukung. Misalnya, dengan menyediakan komputer yang dilengkapi
perangkat lunak pembaca layar, tunanetra akan dapat bekerja layaknya orang
normal.Tetapi sepertinya masih sangat banyak perusahaan yang enggan
mengeluarkan dana untuk memberikan fasilitas tambahan tersebut.
Stasiun televisi Indosiar memiliki karyawan penyandang
disabilitas yang cukup banyak. Mereka menerima berbagai jenis disabilitas yang
ditempatkan di berbagai divisi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi disabilitas
mereka. Beberapa perusahaan lain juga turut berpartisipasi meski dengan
jumlah karyawan disabilitas yang tidak terlalu banyak. Tetapi, sejauh
pengamatan penulis, kesempatan-kesempatan kerja semacam ini justru lebih banyak
dibuka oleh pihak swasta. Lantas, ke mana pemerintah kita? Penyandang
disabilitas tak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial. Alangkah
baiknya jika departemen-departemen lain juga turut berpartisipasi dengan
membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, karyawan-karyawan
di lembaga pemerintah pun akan terbiasa berinteraksi dengan penyandang
disabilitas.
Masyarakat inklusif yang mampu menerima segala bentuk perbedaan
tidak akan terwujud tanpa peran masyarakat itu sendiri. Percuma saja jika
pemerintah hanya berceloteh tanpa melakukan tindakan apa pun. Mulailah dengan melakukan
penyuluhan kepada anggota masyarakat, seperti pendidik dan pemilik perusahaan, untuk
memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas. Berikan pengetahuan kepada
mereka mengenai apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh setiap penyandang
disabilitas. Perbaikan fasilitas umum yang accessible juga sangat diperlukan.
Para pejabat negara yang telah sering bepergian ke luar negeri tentu cukup
mengetahui seperti apa fasilitas umum di mancanegara, yang amat memperhatikan
penyandang disabilitas. Selain itu, pemerintah perlu memberi pendidikan kepada
masyarakat umum mengenai bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas.
Jika telah ada iklan layanan masyarakat yang berkaitan dengan program KB,wajib
sekolah, atau pun HIV/AIDS, mengapa iklan serupa tak dibuat untuk penyandang
disabilitas? Sampaikan kepada masyarakat bagaimana cara membantu warga
tunanetra menyeberang jalan, bagaimana cara berinteraksi jika bertemu dengan
penyandang tunarungu, dan sebagainya.
Jika pejabat negara mampu mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk
berpesta-pora sekadar menikahkan anak-anak mereka, tentu seharusnya negara ini memiliki
cukup dana untuk melakukan perbaikan demi mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin
yang baik tentu akan menjadi contoh untuk rakyatnya. Karena itu, masyarakat
inklusif akan terbentuk jika pemerintah menjadi lokomotif. Pembukaan UUD ’45
menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tentu mengacu kepada seluruh warga
negara, tak terkecuali para penyandang disabilitas. Semoga Konvensi Hak Penyandang
Disabilitas yang telah diratifikasi oleh pemerintah pada 18 Oktober lalu tak
hanya menjadi janji hitam di atas putih, namun juga dapat direalisasi
secepatnya dan sebaik-baiknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar