Sabtu, 17 Desember 2011

Penyandang Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama


Penyandang Disabilitas juga Memiliki Hak yang Sama
Ramadhani Ray, PENYANDANG DISABILITAS, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG; AKTIF DI YAYASAN MITRA NETRA JAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 17 Desember 2011



Peringatan Hari Penyandang Cacat pada 3 Desember telah berlalu. Gemanya kurang terasa. Padahal momentum itu dapat mengingatkan kita mengenai hak-hak penyandang disabilitas di negeri ini yang masih terabaikan. Bagaimanapun, penyandang disabilitas juga ciptaan Tuhan serta bagian dari warga negara.
Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam berbagai hal. Mereka berhak menikmati fasilitas umum, memperoleh pendidikan, serta memiliki pekerjaan.Tetapi, apakah semua itu sudah benar-benar dapat dinikmati oleh para penyandang disabilitas?

Kita tengok saja sarana transportasi di negeri ini. Jembatan penyeberangan yang
berundak-undak, atau terlalu curam, tentu sangat sulit dilewati oleh para  pengguna kursi roda.Tombol navigasi lift di gedung-gedung bertingkat pun masih jarang yang dilengkapi dengan huruf Braille, sehingga menyulitkan tunanetra untuk menggunakan fasilitas tersebut secara mandiri.Walhasil, mereka harus bergantung pada orang-orang normal yang ada di sekeliling mereka. Namun agaknya sebagian besar dari orang-orang tersebut tak terlalu peduli kepada kesulitan yang dialami penyandang disabilitas. Kalaupun di dalam hati ingin membantu, terkadang mereka segan, malu, atau tidak tahu bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas.

Dari segi pendidikan, masih banyak penyandang disabilitas yang masih sulit memperoleh pendidikan. Minimnya jumlah sekolah luar biasa (SLB) dan tidak siapnya infrastruktur sekolah umum untuk menerima murid penyandang disabilitas menjadi kendala. Padahal pada dasarnya siswa-siswi penyandang disabilitas pun dapat mengikuti pelajaran di sekolah regular bersama siswa normal, serta mengenyam pendidikan hingga jenjang sarjana.

Sebagai contoh, saat ini penyandang tunanetra telah dapat mengoperasikan komputer secara mandiri dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar. Dengan demikian, siswa tunanetra tersebut dapat mencatat materi pelajaran serta menyerahkan tugas kepada guru mereka dalam bentuk print out. Siswa tunanetra juga menggunakan tape recorder untuk merekam penjelasan guru atau dosen untuk kemudian disalin kembali ke dalam catatan, baik dalam bentuk tulisan Braille maupun dokumen di komputer. Sejauh pengetahuan penulis, SMAN 66 Jakarta, yang telah banyak menerima siswa tunanetra, memberi pinjaman fasilitas laptop dan tape recorder kepada siswa tunanetra yang kurang mampu agar dapat mengikuti pelajaran. Fasilitas tersebut harus dikembalikan kepada sekolah jika mereka lulus, agar dapat dimanfaatkan kembali oleh adik-adik kelas mereka. 

Agaknya, tindakan semacam ini perlu ditiru oleh sekolah-sekolah lain. Di samping siswa penyandang disabilitas dapat memperoleh pengetahuan dan pergaulan yang lebih luas, hal ini dapat mendidik siswa-siswa normal agar dapat berinteraksi dengan teman-teman mereka yang memiliki  keterbatasan, sehingga tumbuh kepedulian dan pengertian dalam diri mereka sejak dini terhadap penyandang disabilitas.

Setelah menempuh pendidikan, penyandang disabilitas pun membutuhkan pekerjaan untuk menafkahi diri dan keluarga. Tetapi masih sangat banyak perusahaan yang enggan menerima karyawan penyandang disabilitas. Hal ini mungkin karena paradigma masyarakat yang masih menganggap penyandang disabilitas adalah orang cacat. Kata cacat tentu mengacu kepada sesuatu yang rusak dan layak untuk dibuang. Padahal penyandang disabilitas hanya memerlukan sarana pendukung. Misalnya, dengan menyediakan komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar, tunanetra akan dapat bekerja layaknya orang normal.Tetapi sepertinya masih sangat banyak perusahaan yang enggan mengeluarkan dana untuk memberikan fasilitas tambahan tersebut.

Stasiun televisi Indosiar memiliki karyawan penyandang disabilitas yang cukup banyak. Mereka menerima berbagai jenis disabilitas yang ditempatkan di berbagai divisi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi disabilitas mereka. Beberapa perusahaan lain juga turut berpartisipasi meski dengan jumlah karyawan disabilitas yang tidak terlalu banyak. Tetapi, sejauh pengamatan penulis, kesempatan-kesempatan kerja semacam ini justru lebih banyak dibuka oleh pihak swasta. Lantas, ke mana pemerintah kita? Penyandang disabilitas tak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial. Alangkah baiknya jika departemen-departemen lain juga turut berpartisipasi dengan membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, karyawan-karyawan di lembaga pemerintah pun akan terbiasa berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

Masyarakat inklusif yang mampu menerima segala bentuk perbedaan tidak akan terwujud tanpa peran masyarakat itu sendiri. Percuma saja jika pemerintah hanya berceloteh tanpa melakukan tindakan apa pun. Mulailah dengan melakukan penyuluhan kepada anggota masyarakat, seperti pendidik dan pemilik perusahaan, untuk memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas. Berikan pengetahuan kepada mereka mengenai apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh setiap penyandang disabilitas. Perbaikan fasilitas umum yang accessible juga sangat diperlukan. Para pejabat negara yang telah sering bepergian ke luar negeri tentu cukup mengetahui seperti apa fasilitas umum di mancanegara, yang amat memperhatikan penyandang disabilitas. Selain itu, pemerintah perlu memberi pendidikan kepada masyarakat umum mengenai bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas. Jika telah ada iklan layanan masyarakat yang berkaitan dengan program KB,wajib sekolah, atau pun HIV/AIDS, mengapa iklan serupa tak dibuat untuk penyandang disabilitas? Sampaikan kepada masyarakat bagaimana cara membantu warga tunanetra menyeberang jalan, bagaimana cara berinteraksi jika bertemu dengan  penyandang tunarungu, dan sebagainya.

Jika pejabat negara mampu mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk berpesta-pora sekadar menikahkan anak-anak mereka, tentu seharusnya negara ini memiliki cukup dana untuk melakukan perbaikan demi mensejahterakan rakyatnya. Pemimpin yang baik tentu akan menjadi contoh untuk rakyatnya. Karena itu, masyarakat inklusif akan terbentuk jika pemerintah menjadi lokomotif. Pembukaan UUD ’45 menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tentu mengacu kepada seluruh warga negara, tak terkecuali para penyandang disabilitas. Semoga Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh pemerintah pada 18 Oktober lalu tak hanya menjadi janji hitam di atas putih, namun juga dapat direalisasi secepatnya dan sebaik-baiknya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar