Sabtu, 17 Desember 2011

Ada “DOM” di Mesuji


Ada “DOM” di Mesuji
Teuku Kemal Pasya, DOSEN DI UNIVERSITAS SYAH KUALA, BANDA ACEH;
INISIATOR SUKARELAWAN INDONESIA UNTUK PERUBAHAN (SI PERUBAHAN)
Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Desember 2011


Penggusuran, teror, dan pembantaian yang terjadi di Mesuji betul-betul menampar wajah kemanusiaan kita.

Kasus yang merebak setelah terjadi pertemuan para korban dengan Komisi III DPR, Rabu (14/12), dan rekaman video sadisme yang menimpa para petani di Mesuji, telah menunjukkan ada fakta kejahatan luar luar biasa (extraordinary crimes) yang tidak bisa ditoleransi.

Kasus ini membuka mata, bahwa di tengah alam reformasi masih ada tradisi kekerasan di luar batas-batas kemanusiaan hanya karena protes warga.

Dari kasus ini kita melihat resolusi konflik (aparat) negara tidak memihak kepada warga, tapi lebih menyandarkan bahu pembelaannya pada korporasi. Penjelasan singkat ini akan melihat tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Mesuji.

Mesuji adalah nama untuk dua daerah yang berbeda. Satu adalah Kabupaten Mesuji, Lampung, dan yang lainnya adalah Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kasus yang terjadi di Mesuji Lampung adalah endapan kasus lama yang dibiarkan terkait sengketa atas tanah ulayat warga yang telah berdiam di daerah itu sejak puluhan tahun.

Namun sejak 1997, sebagian lahan telah dikuasai PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Lampung Inter Pertiwi (LIP) melalui izin Hak Guna Usaha (HGU).
Sejak itu hak-hak sipil masyarakat diabaikan pemerintah daerah, dan aparat keamanan akhirnya lebih berpihak kepada perusahaan. Dari hasil investigasi Komnas HAM, sejak 2009, ratusan warga mengalami kekerasan, 30 orang terbunuh, rumah-rumah mereka dirubuhkan, dan ada juga kasus perkosaan.

Kasus di Mesuji OKI Sumatera Selatan juga berhubungan dengan perusahaan, yaitu Silva Inhutani, perusahaan sawit yang dikuasai pemodal Malaysia. Dengan motif serupa, hak tanah ulayat warga tergusur konsesi bisnis perusahaan asing.

Dari publikasi video yang diperkirakan terjadi April 2011 itu, tujuh warga dibantai dengan sadis, termasuk mayat tanpa kepala yang digantung di atas tiang, serta mayat yang dicacah dan dibiarkan menjadi tontonan publik.

Perilaku barbar ini juga melibatkan aparat keamanan (TNI, polisi, dan Brimob), meskipun tindakan kekerasan langsung dilakukan para preman yang dibiayai perusahaan (Pam Swakarsa). Namun militia partikelir itu dibina aparat keamanan resmi negara. Bahkan perusahaan itu telah memperluas izin usahanya hingga ke Lampung dan ikut meneror masyarakat Mesuji Lampung.

Rakyat Tumpah Darah

Kasus yang terjadi di Mesuji memang bukan sesuatu yang sederhana. Pertama, problem yang muncul di permukaan ini juga endapan masalah yang disumbangkan undang-undang pokok agraria masih menempatkan “negara” di atas “rakyat” terkait penguasaan atas tanah.

Bahkan bunyi konstitusi yang menyatakan “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945) sangat bisa dimanipulasi menjadi kepentingan bisnis negara.

Bagi pengelola negara, cukup berkonsentrasi pada frasa pertama, “dikuasai oleh negara”. Cukup sering negara dalam situasi ini abai dan tidak menjalankan amanat spirit of a nation, yang mencakup tumpah darah seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya malah menjadi regulator yang menguntungkan asing dan perusahaan swasta.

Secara praksis, frasa kedua hilang dalam tindakan negara, “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Salah satu bentuk penghinaan konstitusi adalah Perpu No 1/2004 yang membolehkan penambangan di hutan lindung. Demi kepentingan eksploitasi dan devisa nasional, hak asasi lingkungan dan masyarakat dipinggirkan.
Kedua, orientasi neoliberalisme Kementerian Kehutanan, dengan mengubah status hutan lindung dan hutan rakyat menjadi hutan industri atau kawasan non-hutan.

Kebijakan ini makin menyudutkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan mudah dikriminalisasi karena memanfaatkan hutan yang telah dikuasai swasta itu. Kinerja Kementerian Kehutanan di dua periode pemerintahan SBY ini cukup gencar merevisi status hutan di Indonesia.

Kasus terakhir adalah revisi SK Menteri Kehutanan yang hingga November 2011 masih memberikan izin pakai kawasan hutan di daerah yang terjadi pembantaian, baik di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera Selatan, padahal konflik itu telah menumbalkan nyawa, dan berbilang tahun.

Ketiga, postur kinerja aparat keamanan yang belum banyak berubah, terutama yang bertugas di pelosok dan jauh dari pusat.

Peran TNI dan Polri, terutama terkait pengamanan perusahaan transnasional, masih seperti “anjing penjaga” yang mengamankan aset-aset perusahaan yang membayarnya, dan bukan mengedepankan pendekatan hukum yang profesional, berbasis pada penghargaan HAM, dan lain-lain.

Reformasi telah memisahkan Polri dari angkatan militer, tapi tidak membantu kultur polisi semakin dekat dengan kultur sipil.

Dalam banyak kasus, terutama di daerah konflik, seperti Aceh, Papua, Ambon, dan Poso, Polri dan TNI membagi wilayah kekuasaan dalam menjalankan bisnis keamanan. Kejadian di Mesuji seperti membuka kembali memori darurat operasi militer (DOM), di mana yang berkuasa bukan hukum, tapi yang memiliki senjata.

Terapi Khusus

Dengan terbukanya kasus Mesuji ke publik, kiranya perlu tindakan khusus dari pemerintah pusat dalam menanganinya. Kasus ini tidak boleh dilokalisasi dan diserahkan penanganannya pada kepolisian daerah masing-masing.

Mungkin dapat belajar dari pendekatan “sentralistik” di masa kepemimpinan Kapolri Sutanto yang mengambil komando langsung pemberantasan illegal logging dan premanisme di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Tengah, termasuk mencopot kapolda yang terlibat dalam kejahatan sistemik itu.

Dengan implikasi pelanggaran HAM berat dan adanya konflik kepentingan aparat negara, baik sipil maupun militer, presiden perlu mengeluarkan peraturan presiden agar menjamin aspek legalitas untuk penyelesaian komprehensif, baik berhubungan sengketa tanah, status usaha perusahaan asing yang mengabaikan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), pelanggaran HAM, dan keterlibatan aparat keamanan.
Mungkin kasus ini bukan yang terakhir. Seperti pernyataan tim advokat masyarakat Mesuji, Mayjen (purn) Saurip Kadi, masih banyak kasus yang serupa yang terjadi di seluruh pelosok Nusantara yang melibatkan aparat keamanan.

Kita tak tahu, seperti membuka kotak pandora, akan ada “Mesuji-Mesuji” lain. Namun Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan ini harus diselesaikan secara tuntas. Prahara kemanusiaan ini tidak lebih kecil aspek politisnya dibandingkan gonjang-ganjing politik di seputar Senayan, Merdeka Barat, Teuku Umar, dan Cikeas. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar