Ada
“DOM” di Mesuji
Teuku Kemal Pasya, DOSEN
DI UNIVERSITAS SYAH KUALA, BANDA ACEH;
INISIATOR SUKARELAWAN INDONESIA UNTUK PERUBAHAN (SI PERUBAHAN)
Sumber
: SINAR
HARAPAN, 16
Desember 2011
Penggusuran, teror, dan pembantaian yang
terjadi di Mesuji betul-betul menampar wajah kemanusiaan kita.
Kasus yang merebak setelah terjadi pertemuan
para korban dengan Komisi III DPR, Rabu (14/12), dan rekaman video sadisme yang
menimpa para petani di Mesuji, telah menunjukkan ada fakta kejahatan luar luar
biasa (extraordinary crimes) yang tidak bisa ditoleransi.
Kasus ini membuka mata, bahwa di tengah alam
reformasi masih ada tradisi kekerasan di luar batas-batas kemanusiaan hanya
karena protes warga.
Dari kasus ini kita melihat resolusi konflik
(aparat) negara tidak memihak kepada warga, tapi lebih menyandarkan bahu
pembelaannya pada korporasi. Penjelasan singkat ini akan melihat tentang apa
yang sesungguhnya terjadi di Mesuji.
Mesuji adalah nama untuk dua daerah yang
berbeda. Satu adalah Kabupaten Mesuji, Lampung, dan yang lainnya adalah
Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Kasus
yang terjadi di Mesuji Lampung adalah endapan kasus lama yang dibiarkan terkait
sengketa atas tanah ulayat warga yang telah berdiam di daerah itu sejak puluhan
tahun.
Namun sejak 1997, sebagian lahan telah
dikuasai PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Lampung Inter Pertiwi
(LIP) melalui izin Hak Guna Usaha (HGU).
Sejak itu hak-hak sipil masyarakat diabaikan
pemerintah daerah, dan aparat keamanan akhirnya lebih berpihak kepada
perusahaan. Dari hasil investigasi Komnas HAM, sejak 2009, ratusan warga
mengalami kekerasan, 30 orang terbunuh, rumah-rumah mereka dirubuhkan, dan ada
juga kasus perkosaan.
Kasus di Mesuji OKI Sumatera Selatan juga
berhubungan dengan perusahaan, yaitu Silva Inhutani, perusahaan sawit yang
dikuasai pemodal Malaysia. Dengan motif serupa, hak tanah ulayat warga tergusur
konsesi bisnis perusahaan asing.
Dari publikasi video yang diperkirakan
terjadi April 2011 itu, tujuh warga dibantai dengan sadis, termasuk mayat tanpa
kepala yang digantung di atas tiang, serta mayat yang dicacah dan dibiarkan
menjadi tontonan publik.
Perilaku barbar ini juga melibatkan aparat
keamanan (TNI, polisi, dan Brimob), meskipun tindakan kekerasan langsung
dilakukan para preman yang dibiayai perusahaan (Pam Swakarsa). Namun militia
partikelir itu dibina aparat keamanan resmi negara. Bahkan perusahaan itu telah
memperluas izin usahanya hingga ke Lampung dan ikut meneror masyarakat Mesuji
Lampung.
Rakyat Tumpah Darah
Kasus yang terjadi di Mesuji memang bukan
sesuatu yang sederhana. Pertama, problem yang muncul di permukaan ini
juga endapan masalah yang disumbangkan undang-undang pokok agraria masih
menempatkan “negara” di atas “rakyat” terkait penguasaan atas tanah.
Bahkan bunyi konstitusi yang menyatakan
“Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat (3) UUD
1945) sangat bisa dimanipulasi menjadi kepentingan bisnis negara.
Bagi pengelola negara, cukup berkonsentrasi
pada frasa pertama, “dikuasai oleh negara”. Cukup sering negara dalam situasi
ini abai dan tidak menjalankan amanat spirit of a nation, yang mencakup
tumpah darah seluruh rakyat Indonesia, sebaliknya malah menjadi regulator yang
menguntungkan asing dan perusahaan swasta.
Secara praksis, frasa kedua hilang dalam
tindakan negara, “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Salah
satu bentuk penghinaan konstitusi adalah Perpu No 1/2004 yang membolehkan
penambangan di hutan lindung. Demi kepentingan eksploitasi dan devisa nasional,
hak asasi lingkungan dan masyarakat dipinggirkan.
Kedua, orientasi neoliberalisme
Kementerian Kehutanan, dengan mengubah status hutan lindung dan hutan rakyat
menjadi hutan industri atau kawasan non-hutan.
Kebijakan ini makin menyudutkan masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan dan mudah dikriminalisasi karena memanfaatkan
hutan yang telah dikuasai swasta itu. Kinerja Kementerian Kehutanan di dua
periode pemerintahan SBY ini cukup gencar merevisi status hutan di Indonesia.
Kasus terakhir adalah revisi SK Menteri
Kehutanan yang hingga November 2011 masih memberikan izin pakai kawasan hutan
di daerah yang terjadi pembantaian, baik di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumatera
Selatan, padahal konflik itu telah menumbalkan nyawa, dan berbilang tahun.
Ketiga, postur kinerja aparat
keamanan yang belum banyak berubah, terutama yang bertugas di pelosok dan jauh
dari pusat.
Peran TNI dan Polri, terutama terkait
pengamanan perusahaan transnasional, masih seperti “anjing penjaga” yang
mengamankan aset-aset perusahaan yang membayarnya, dan bukan mengedepankan
pendekatan hukum yang profesional, berbasis pada penghargaan HAM, dan
lain-lain.
Reformasi telah memisahkan Polri dari
angkatan militer, tapi tidak membantu kultur polisi semakin dekat dengan kultur
sipil.
Dalam banyak kasus, terutama di daerah
konflik, seperti Aceh, Papua, Ambon, dan Poso, Polri dan TNI membagi wilayah
kekuasaan dalam menjalankan bisnis keamanan. Kejadian di Mesuji seperti membuka
kembali memori darurat operasi militer (DOM), di mana yang berkuasa bukan
hukum, tapi yang memiliki senjata.
Terapi Khusus
Dengan terbukanya kasus Mesuji ke publik,
kiranya perlu tindakan khusus dari pemerintah pusat dalam menanganinya. Kasus
ini tidak boleh dilokalisasi dan diserahkan penanganannya pada kepolisian
daerah masing-masing.
Mungkin dapat belajar dari pendekatan
“sentralistik” di masa kepemimpinan Kapolri Sutanto yang mengambil komando
langsung pemberantasan illegal logging dan premanisme di Sumatera Utara,
Riau, dan Kalimantan Tengah, termasuk mencopot kapolda yang terlibat dalam
kejahatan sistemik itu.
Dengan implikasi pelanggaran HAM berat dan
adanya konflik kepentingan aparat negara, baik sipil maupun militer, presiden
perlu mengeluarkan peraturan presiden agar menjamin aspek legalitas untuk
penyelesaian komprehensif, baik berhubungan sengketa tanah, status usaha perusahaan
asing yang mengabaikan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility), pelanggaran HAM, dan keterlibatan aparat keamanan.
Mungkin kasus ini bukan yang terakhir.
Seperti pernyataan tim advokat masyarakat Mesuji, Mayjen (purn) Saurip Kadi,
masih banyak kasus yang serupa yang terjadi di seluruh pelosok Nusantara yang
melibatkan aparat keamanan.
Kita tak tahu, seperti membuka kotak pandora,
akan ada “Mesuji-Mesuji” lain. Namun Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan ini
harus diselesaikan secara tuntas. Prahara kemanusiaan ini tidak lebih kecil
aspek politisnya dibandingkan gonjang-ganjing politik di seputar Senayan,
Merdeka Barat, Teuku Umar, dan Cikeas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar