Sentralisasi
Pendidikan
Mohammad Abduhzen, DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR
EDUCATION REFORM UNIVERSITAS PARAMADINA; VISITING SCHOLAR DI OHIO STATE
UNIVERSITY COLUMBUS, AMERIKA SERIKAT
Sumber
: KOMPAS, 10 Desember 2011
Mengatasi
masalah distribusi dan peningkatan mutu pendidikan, pemerintah memutuskan
menyentralisasi pengelolaan guru. Sesederhana inikah solusinya?
Masalah
ketidakmerataan guru muncul sebelum dan bukan disebabkan oleh desentralisasi,
melainkan sikap pemerintah yang sering kali menggampangkan urusan pendidikan.
Pemerintah jarang melihat pendidikan dalam perspektif yang lebih substansial.
Sentralisasi mestinya dikaitkan dengan ide reformasi pendidikan yang total,
fundamental, dan gradual.
Rencana
kebijakan untuk menyentralisasi pengelolaan guru, melalui surat keputusan
bersama (SKB) lima menteri terkait, juga menunjukkan ”cara mudah” menangani
pendidikan.
Sebelumnya,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengutak-atik mekanisme penyaluran dana
bantuan operasional sekolah (BOS) dari model tahun 2010, yang tanpa melibatkan
pemerintah daerah, ke mekanisme 2011 melalui pemerintah kabupaten/kota. Tahun
2012 mendatang, mekanisme itu dikembalikan seperti 2010 dengan alasan yang
sama: untuk mengatasi keterlambatan.
Begitu
pula dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang lama dipersiapkan, tanpa
”ba-bi-bu”, pada 2006 pemerintah malah memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Manajemen manasuka telah membuat pendidikan kita jalan di
tempat, tetapi mengigau tentang sekolah bertaraf internasional.
Memang
Dibutuhkan
Sentralisasi
pendidikan memang dibutuhkan, pertama, karena posisi strategis pendidikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan bukan hanya untuk pemberantasan
buta huruf atau sekadar sekolah seperti yang dipahami kebanyakan orang. Lebih
dari itu, pendidikan adalah upaya mempertahankan eksistensi: cara menyelesaikan
berbagai persoalan dan jalan utama menuju terwujudnya kesejahteraan,
kecerdasan, dan martabat bangsa.
Sensitivitas
bidang pendidikan setidaknya setara dengan (atau malah lebih) dari 6 bidang
yang kini jadi urusan pemerintah (pusat), yaitu politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, hukum, moneter, dan fiskal. Namun, resentralisasi
menuntut pendidikan masuk urusan pemerintah harus merevisi UU Pemerintahan
Daerah.
Kedua,
pilihan desentralisasi pendidikan dalam situasi kebangsaan dan kenegaraan yang
belum memiliki pola-pola efektif serta baik seperti sekarang tidak hanya
menghambat kemajuan, tetapi juga melahirkan berbagai efek destruktif. Janji
desentralisasi akan membawa berbagai inovasi dan akselerasi melalui otoritas
pemerintah daerah ternyata tak terbukti. Modal kemanusiaan kita sangat terbatas
dan masih dalam fantasi sentralistis sehingga ketika desentralisasi dipaksakan
yang terjadi hanyalah eror. Bahwa selama Orde Baru pendidikan kita sentralistis
dan tidak mengalami kemajuan, penyebabnya bukan sentralisasi, melainkan lebih
karena mentalitas birokrasi kita.
Ketiga,
selama ini desentralisasi pendidikan kita sebetulnya semu. Praktis sebagian
besar urusan pendidikan dijalankan secara sentralistis. Pembelajaran, misalnya,
meskipun ada KTSP yang seyogianya memberi otoritas lebih luas kepada sekolah,
komite sekolah, dan pemerintah daerah dalam menentukan apa yang seharusnya
diajarkan, kenyataannya waktu yang disediakan cuma dua jam pelajaran
(masing-masing 40 menit) pada muatan lokal. Selebihnya, mata pelajaran, materi,
dan jam pelajaran ditetapkan dari pusat melalui Kepmen No 23-24/2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Kurikulum, gaji guru, BOS,
sertifikasi, infrastruktur, ujian nasional, dan buku pelajaran juga ditetapkan
pusat. Jadi, gagasan resentralisasi pendidikan sesungguhnya hanyalah sebuah
penegasan, formalitas yang memang diperlukan.
Keempat,
sentralisasi pendidikan dibutuhkan untuk menggalakkan reformasi yang secara
normatif telah dimulai sejak amendemen UUD 1945, di mana anggaran pendidikan
ditetapkan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Kemudian
berlanjut dengan perubahan diametral tentang definisi pendidikan dalam UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengutamakan peran aktif murid
dalam pembelajaran. Lalu, masalah profesionalisme guru dalam UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen.
Perlunya
Reformasi Pendidikan
Gagasan
pembaruan ini seharusnya menjadikan pendidikan kita secara operasional lebih
baik. Namun, sayangnya, arah dan gejala perbaikan itu sampai kini belum tampak
jelas sehingga reformasi di bidang pendidikan perlu dipacu kembali.
Reformasi
pendidikan adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia jika ingin menangkap
peluang di tengah pergeseran kekuatan ekonomi yang pendulumnya tengah berayun
dari Barat ke Timur/Asia.
Tak
ada negara di dunia ini yang mengalami akselerasi kemajuan tanpa terlebih
dahulu membenahi sistem pendidikannya. Negara-negara yang memahami formula
kemajuan dan konstelasi perubahan global ini dengan serius berinvestasi pada
bidang pendidikan, di antaranya dengan mengirimkan mahasiswa ke sentra-sentra
kemajuan iptek dunia.
Peluang
Indonesia untuk maju dan berperan dalam globalisasi yang cepat dan dahsyat ini
terbuka lebar. Potensi sumber daya manusia, alam, dan budaya kita sangat
menjanjikan. Namun, semua itu perlu perombakan serius, terutama dalam bidang
pendidikan. Sistem pendidikan kita terlalu usang dan tidak kompatibel untuk
mengantarkan bangsa ini masuk dan bermain pada lingkaran tengah kemajuan.
Latar
pendidikan kita adalah situasi terjajah 100 tahun lalu ketika pemerintah
kolonial menerapkan politik etisnya. Kendati bangsa ini telah merdeka, realitas
pendidikan kita belum beranjak dari menyiapkan calon pegawai sipil pribumi
(sekarang PNS) dan tenaga kerja murah.
Reformasi
harus menjadikan pendidikan sebagai wahana pemerdekaan dan perwujudan cita-cita
kemerdekaan. Untuk itu, pendidikan perlu disentralisasikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar